Kasus kekerasan seksual yang melibatkan terduga pelaku dari mahasiswa FEB UI angkatan 2018, yakni Egit dan Gagah akan disidangkan pada Rabu (12/8) oleh pihak Dekanat FEB UI. Di lain pihak, BPM FEB UI dan BEM FEB UI telah melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Selasa (4/8) untuk membahas penanganan kasus Egit lebih lanjut. Ketiadaan peraturan yang spesifik mengenai penanganan kasus kekerasan seksual di tingkat kampus menjadi batu sandungan bagi pihak yang berwenang dalam mengusut kasus ini.
Sejak mencuatnya kasus pelecehan seksual oleh Egit dalam sebuah utas di Twitter, Economica mencoba untuk menghubungi penyintas, pelaku, dan pihak-pihak yang berwenang dalam penyelesaian kasus ini. Dekanat FEB UI berkoordinasi dengan BEM FEB UI dan HopeHelps UI menyatakan pihaknya tengah melakukan investigasi. Terduga pelaku pun juga telah menyampaikan hak jawab terkait kasusnya meskipun enggan mengklarifikasi isi dan bukti-bukti dalam utas tersebut. Namun, hingga berita ini ditulis, penyintas mengaku enggan berkomentar tentang kasusnya hingga proses investigasi pada tingkat Dekanat selesai. Lalu, sampai di manakah penyelesaian kasus ini berjalan?
Rapat Dengar Pendapat (RDP) BEM FEB UI dan BPM FEB UI
BPM FEB UI dan BEM FEB UI mengadakan RDP pada Selasa (4/8) lalu untuk membahas kelanjutan kasus kekerasan seksual. RDP dihadiri pengurus dari kedua organisasi di antaranya adalah Ketua Umum BPM FEB UI Yosia Setiadi, Ketua Umum BEM FEB UI Akbar Muhammad, Wakil Ketua Umum Hanny Fitri Halimah, dan Kepala Bidang Sosial Politik BEM FEB UI Gingin Rahman Hakim.
“Hari Selasa, sekitar pukul 7, itu (RDP) memang cukup kondusif pelaksanaannya dan cukup dua arah,” ujar Yosia memberikan keterangan pada Jumat (7/8). “Kita (BPM) menanyakan tindakan-tindakan apa yang mereka (BEM) ambil, baik yang sudah maupun belum, dalam mengatasi permasalahan ini,” tambahnya. Alur diskusi dalam RDP dilakukan secara terstruktur, mulai dari pembahasan rilis pers yang dikeluarkan BEM, tindakan apa saja yang telah mereka lakukan, dan langkah kedepannya yang akan dilakukan.
“Berdasarkan press release yang mereka keluarkan dan pernyataan tindakan yang mereka telah lakukan, ada beberapa hal yang cukup berbeda,” ujar Yosia, “Misalnya laporan yang masuk ke dekanat hanya satu orang, padahal yang dilaporkan oleh BEM dua orang. Selain itu, di poin kedua press release disebutkan bahwa BEM yang memberikan surat aduan kepada Dekanat terkait dengan dugaan pelecehan seksual, tetapi setelah kami (BPM) selidiki lebih lanjut, ternyata yang memberikan surat aduan tersebut adalah HopeHelps,” jelas Yosia.
Ketua Umum BEM FEB UI Akbar Muhammad juga memberikan gambaran jalannya RDP kepada Economica pada hari ini (8/8). Akbar menggambarkan RDP berjalan cukup kooperatif antara BPM dengan BEM. “Kita saling memberikan saran dan masukan,” tambah Akbar. Terkait diksi rilis pers, Akbar menjelaskan bahwa peran BEM FEB UI tidak mengajukan surat aduan secara langsung, melainkan berkoordinasi dengan HopeHelps dan Dekanat FEB UI untuk pengajuan surat aduan.
“Itu sebenarnya yang salah sih, jadi kita lebih ke mengkoordinasikan terkait surat-surat. Karena ada diksi-diksi yang di berbagai dekanat itu beda. Misalnya, ada dekanat yang lebih terbuka terhadap kasus ini, jadi kita bisa pakai bahasa-bahasa (dalam laporan surat aduan) yang lebih confront dan eksplisit. Intinya peran BEM dan HopeHelps lebih ke koordinasi dan menakar kultur-kultur yang ada di FE,” jelas Akbar.
Mekanisme pengusutan kasus dinilai tidak efektif
Dalam RDP tersebut, dibahas juga mengenai mekanisme pengusutan kasus yang akan dijalani. “Mekanisme (pelaporan kasus kekerasan seksual) di FE sendiri awalnya dari laporan. Bisa laporan dari penyintas ke gue, atau dari HopeHelps ke gue,” jelasnya. Terkait kasus kekerasan seksual, Akbar sendiri mengatakan bahwa setiap laporan yang masuk akan langsung dinaungi olehnya selaku ketua BEM. Hal ini dikarenakan sifat kasus yang sangat sensitif, sehingga baik penyintas dan pelaku ingin sama-sama terjaga privasinya.
Setelah pelaporan kepada BEM, laporan akan diteruskan kepada Dekanat atas persetujuan penyintas. Mulai dari situ, wakil dekan yang membawahi kemahasiswaan akan membentuk tim investigasi, mengumpulkan bukti-bukti serta kronologi kasus tersebut, dan memberi pernyataan dari pihak yang berwenang baik itu pelaku, penyintas, maupun saksi yang ada. Setelah cukup banyak mendapatkan gambaran, barulah dibuktikan melalui persidangan untuk menentukan sanksi akademis.
Akan tetapi, saat ini FEB UI belum mempunyai mekanisme penyelesaian kasus kekerasan seksual yang spesifik. Sehingga saat ini penyelesaiannya masih menggunakan mekanisme SIPDUGA UI—mekanisme pelaporan tindakan atau perbuatan yang diduga melanggar kode etik dan perilaku UI—yang berada pada tingkat universitas. SIPDUGA UI dinilai kurang efektif karena tidak memiliki perangkat khusus yang terintegrasi dalam menangani korban kekerasan seksual di kampus. Terlebih lagi, SIPDUGA UI memiliki banyak kasus berbeda yang harus diurus setiap harinya, seperti plagiarisme, pemalsuan dokumen, dan lain lain.
“Sebenarnya mekanismenya pun ada banyak (gak cuma dekanat aja). Kalau ini kita (FEB) pakai sidang kode etik. Yang lainnya itu ada P3T3—panitia penyelesaian di tingkat rektorat, Panitia Penyelesaian Tata Tertib (P2T2) di tingkat dekanat (fakultas), dan ada SIPDUGA UI. Kita itu pakai sidang kode etik (bukan P2T2). Yang P2T2 itu baru ada di FH, di FE belum ada,” jelas Akbar. P2T2 di tingkat fakultas itu sendiri memungkinkan penyelesaian kasus yang lebih cepat dan mekanismenya didasari oleh hukum tertulis yang dikeluarkan oleh fakultas, sehingga mempercepat penyelesaian kasus.
Meski begitu, Akbar menyatakan bahwa Dekanat FEB UI telah cukup responsif dalam pengusutan kasus ini. Ia juga berharap kepada para penyintas yang sudah berani untuk speak up atau masih trauma, agar dapat menghubungi HopeHelps untuk mendapat bantuan piskologis atau dengan melaporkannya kepada BEM untuk bantuan advokasi.
Pelurusan rumor terkait penanganan kasus
Dalam kesempatan yang sama, Akbar meluruskan beberapa rumor terkait dengan penyelesaian kasus kekerasan seksual. Terkait rumor penanganan kasus Egit terkesan lambat karena penanganan kasus Gagah, Akbar menjelaskan bahwa penanganan kasus Egit saat ini tergolong cepat dibandingkan penanganan kasus serupa di fakultas lain. “Gak sepenuhnya benar (penanganan kasus Egit lambat). Seinget gue kan kasus ini laporannya masuk 20 Juli. Jadi ini baru 17 hari, dan menurut gue ini termasuk cepet sih, karena ini kan lagi peak season; input nilai SIAK, penyesuaian kurikulum PJJ, dll.” terang Akbar. Saat ini penanganan kasus Egit sudah memasuki fase investigasi.
Sedangkan untuk kasus Gagah, Akbar menjelaskan bahwa penanganan di tingkat Dekanat yang memakan waktu lebih dari 1 bulan diakibatkan oleh penanganan yang kurang terstruktur dibandingkan dengan kasus Egit. “Kalau kemarin (kasus Gagah) tuh lebih less structured penanganannya daripada kasus yang sekarang (kasus Egit), karena ini kayaknya kasus pertama yang terjadi dan diproses di FE.” jelas Akbar.
Terkait rumor salah seorang pengurus inti BEM FEB UI telah mengetahui kasus Egit sebelum kasus resmi dilaporkan, Akbar menjelaskan bahwa ia perlu mengonfirmasi kembali rumor tersebut kepada pihak terkait. “Gue mau nambahin perspektif aja sih, either mungkin PI gue atau PI sebelumnya ada yang tahu, yang sebenarnya perlu kita pastikan apakah penyintas menyetujui untuk cerita tersebut diteruskan ke orang lain (PI yang diceritain ini cerita ke pihak lain). Jadi untuk ini gue harus konfirmasi lagi sih.” ujar Akbar.
Namun, jika Akbar telah mengetahui kasus Egit sebelum seleksi badan pengurus harian dilakukan, maka kasus ini jelas menjadi bahan pertimbangannya dalam menerima Egit. “Jelas (menjadi bahan pertimbangan dalam menerima). Bahkan sebenernya secara integritas adanya kasus ini yang tersebar di sosmed juga udah jadi warning sign untuk kita.” ujar Akbar.
Tanpa ada gugatan, status IKM tidak dapat disidangkan
RDP yang dilakukan sebelumnya akan menjadi pertimbangan bagi BPM dalam mempersiapkan Grey Court, yakni sistem yudikatif BPM FEB UI untuk melakukan pengadilan. “Di sini kita (BPM) punya sistem yudikatif (Grey Court), di mana ketika nanti ada laporan atau ada pemohon sengketa, akan kita adili,” jelas Yosia. Kasus pelecehan seksual digolongkan sebagai kasus sengketa hasil IKM, di mana sengketa hasil IKM melanggar Undang-Undang Keanggotaan IKM, yang mana salah satu kewajiban IKM adalah menjaga nama baik FEB UI.
Dengan begitu, maka dalam kasus Gagah, status IKM-nya tidak dapat disidangkan apabila tidak ada laporan kasus sengketa, meskipun pada dasarnya Gagah telah dinyatakan bersalah. “Tetapi dalam kasus Gagah ini, kita masih belum mendapatkan laporan, sehingga kita masih belum bisa memprosesnya,” ungkap Yosia. Sejauh ini, yang dilakukan BPM adalah merevisi Undang-Undang Keanggotaan IKM (salah satu program legislatif BPM). Revisi UU tersebut nantinya akan memasukkan unsur-unsur yang bisa menyelesaikan kasus pelecehan seksual, sehingga jika ada kasus serupa, BPM langsung bisa memproses.
Dalam hal ini, BPM sangat menyarankan untuk memasukkan kasus ini (Gagah) ke dalam Grey Court. Terkait dengan penerimaan laporan untuk sengketa pada Grey Court, pemohon merupakan anggota IKM FEB UI, yang mana tidak hanya terbatas dari korban atau kuasanya, melainkan setiap anggota IKM FEB UI. Siapa saja bisa menuntut asalkan memiliki bukti yang mendukung gugatannya.
Kemudian, terkait status IKM Egit, Akbar selaku ketua BEM FEB UI akan menyerahkan mekanisme ini pada penyintas dan BPM. Sementara untuk status fungsionaris Egit dalam BEM FEB UI, Akbar menyatakan belum dapat memutuskan apakah yang bersangkutan akan dikeluarkan atau tidak. “Karena sejauh ini, ini baru kasus pertama yang mencoreng nama BEM secara utuh, dan ini sudah tersebar cukup luas kan. Yang ingin kita lihat sebenarnya saat dia telah merusak integritas BEM sebagai lembaga organisasi mahasiswa, apakah akan lebih bijak untuk dikeluarkan atau diberikan kesempatan lagi (saat terbukti gak bersalah)?” terangnya.
Namun, apabila undang-undang BPM FEB UI mengenai penyelesaian kasus kekerasan seksual dapat mengakomodir status keanggotaan organisasi pelaku, maka barulah keputusan pengeluaran tersebut dapat terbentuk. “Saat BPM nanti sudah membuat UU baru, terlepas dari sekarang dia gak punya UU, menurut gue ini merupakan ide baru yang layak diperjuangkan bagi masyarakat FE agar kita tahu bahwa UU mahasiswanya FE juga melindungi (dari kasus KS ini). Karena kan selama ini di UUD juga belum ada landasan selain hal-hal yang mencoreng nama IKM FEB UI sendiri (yang mana itu juga masih sangat general). Sedangkan kasus KS ini juga sudah cukup merebak (di UI, Twitter, dll). Dan karena momentum PJJ ini juga dimanfaatkan beberapa korban untuk speak up, menurut gue ini juga momentum yang pas bagi BPM untuk membuat sebuah mekanisme penyelesaian kasus KS di level mahasiswa (secara hitam putih). Kalau sudah jelas terdakwa pelaku bisa diputihkan dari organisasi, kan gue bisa jadi lebih berani untuk mengambil keputusan tanpa harus berdiskusi lebih panjang lagi (misalnya untuk memutihkan bawahan gue),” jelas Akbar.
Menanggapi hal tersebut, Yosia mengatakan bahwa peraturan yang membahas tata cara penyelesaian kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh IKM FEB UI tengah dikerjakan dan direncanakan rampung pada Oktober mendatang. “(Revisi) undang-undang (UU Keanggotaan IKM FEB UI) mulai dibuat selama semester berjalan. Tenggat waktunya adalah akhir tahun ini karena sudah masuk dalam program legislatif (kepengurusan tahun ini),” jawab Yosia.
Tetapi, saat ini BPM sedang melakukan akselerasi (percepatan) dalam perumusan undang-undang tersebut, sehingga kemungkinan proses pembuatannya bisa sekitar 1-2 bulan terhitung dari dimulainya semester baru nanti. “Mungkin Oktober sudah selesai,” tambahnya.
Yosia berharap agar mahasiswa FEB UI lebih aware terhadap hukum-hukum yang ada di FEB UI. “Kasus pelecehan seksual ini jadi pembelajaran untuk kita IKM FEB UI. Isu ini juga membuktikan bahwa IKM FEB UI tidak apatis dan individualis, seperti label yang diberikan. Gue sebagai Ketua BPM dan sebagai pribadi sendiri mengajak IKM FEB UI untuk semakin aware, tidak hanya dengan masalah lingkungan tetapi juga hukum-hukum yang ada di dalam IKM FEB UI,” ujar Yosia.
Editor: Fadhil Ramadhan
Ilustrasi oleh Unsplash/Ingey Tingery Law Firm
Discussion about this post