Berkelindannya konsep “New Media” dengan algoritma kadangkala membuat kita terjebak dalam kepompong informasi half truth. Terbuai dengan kebenaran-kebenaran kecil yang searah, homogen, dan hanya memperkuat satu pandangan saja. Mengaburkan manfaat new media yang mampu menembus dinding eksklusivitas media arus utama dan membuat masyarakat terlena atas secuil half truth yang disangka whole truth.
Perkembangan teknologi informasi, terutama sosial media menciptakan gonjang-ganjing dalam ranah industri media di Indonesia. Berita tidak lagi sekadar diproduksi media arus utama, seperti Kompas, Tempo, hingga Republika. Ribuan media digital muncul silih berganti, ada yang naik dan terus bertahan sampai sekarang. Namun, ada juga yang lenyap bak ditelan bumi. Bahkan, masyarakat dapat terjun dalam apa yang disebut sebagai citizen journalism, menyebarkan berita secara bebas, cepat, dan murah biaya.
Agar tidak kehilangan taringnya, media arus utama juga terus menyesuaikan dengan pola konsumsi informasi publik. Bagi yang kaku dan tidak mau berubah, jelas akan tertinggal dan hilang dari radar. Berdasarkan data Serikat Perusahaan Pers, jumlah media cetak berkurang dari 593 pada tahun 2021 menjadi 399 per tahun 2022. Mekanisme pasar pun turut bermain menuntut perusahaan-perusahaan media, baik arus utama maupun pemain baru untuk mencapai ekuilibrium baru dan berperilaku menjadi “new media”.
Memang belum ada definisi jelas mengenai apa yang disebut sebagai “new media”. Namun, satu hal yang pasti bahwa new media bukan sekadar media yang baru lahir berumur kurang dari 5 tahun saja. New media adalah istilah dari cara penyampaian konten informasi atau berita yang berbeda dari cara-cara konvensional, seperti koran dan majalah cetak. New media memanfaatkan teknologi digital untuk menyampaikan berita dengan format yang cenderung lebih interaktif. New media bukan hanya sekadar peralihan instrumen penyebarannya saja, seperti koran dari cetak menjadi digital, tetapi jauh menyasar hingga ke bentuk penyampaiannya, seperti video pendek, podcast, hingga komik pendek.
Demokratisasi Konten dan Kepingan Informasi
Tren munculnya pemain-pemain baru dalam industri media tidak dapat dipungkiri terjadi karena dorongan pandemi. Covid-19 mengubah perilaku masyarakat untuk semakin lengket dengan internet dan sosial media, sehingga turut serta mengubah cara mereka dalam mencari dan mendapatkan informasi. Sosial media menjadi ruang publik yang terprivatisasi, sehingga memudahkan orang dalam membuat perusahaan media tanpa memerlukan modal yang besar, hanya smartphone, jaringan internet, dan keterampilan dalam mengolah informasi.
Lalu, apa yang menjadi hal fundamental yang mengubah tatanan perpolitikan Indonesia dengan hadirnya new media ini? Pemain-pemain baru dalam industri media dapat berperan sebagai antibiotik sakhih dalam menangkap realitas semu dan kotak pandora informasi politik yang tidak bisa media arus utama bicarakan kepada publik. New media seakan lebih bebas dalam memberitakan sebuah hal mengingat pengorbanan dan cost yang mereka keluarkan lebih sedikit ketimbang media arus utama. Mereka mampu menghadirkan fakta-fakta baru dari sumber-sumber yang kurang dilirik, sehingga mampu melengkapi puzzle atas sebuah peristiwa dan memberikan gambaran yang lebih lengkap.
Dalam perspektif saya, demokratisasi konten tidak hanya sebatas bebas memberitakan sebuah hal tanpa kekangan. Namun, demokratisasi konten juga berarti bahwa konten atas sebuah berita haruslah inklusif dalam artian dapat dikonsumsi oleh lebih banyak orang. Demokratisasi konten mampu penyampaian informasi otoritatif dalam konteks informal yang lebih dekat dengan publik. Cara-cara new media membawa lebih dekat realitas politik yang sebelumnya terkungkung dalam framing media arus utama dan kotak layar televisi yang tidak ngena, khususnya bagi anak muda. Konten-konten seperti close the door misalnya banyak dianggap sebagai media penting untuk menyingkap “sikap asli” politisi yang biasanya tidak bisa ditunjukan secara jujur dalam televisi.
Half Truth: Trade Off dari Kemenarikan?
Di era new media, cara penyampaian berita atau singkatnya storytelling menjadi kunci untuk menggaet audiens lebih besar. Storytelling yang santai, ringan, dekat, dan cepat menjadi pola konsumsi informasi baru yang hadir akibat platform video pendek berbasis komunitas, seperti TikTok dan Reels. Duduk berbincang dan berdebat secara intens dan kaku tidak lagi menjadi konsep yang populer untuk mengenal dan mengorek berbagai isu politik dan politisinya. Mereka lebih senang mengonsumsi konsep berita yang lebih ringan seolah-olah mereka mengenal secara personal politisi yang tampil di dalamnya.
Saat ini, masyarakat cenderung mencari informasi yang memampukan mereka untuk turut berpartisipasi dan berinteraksi dengan orang lain yang memiliki minat yang sama. Video pendek atau dengan istilah kerennya snack bites video memampukan perusahaan media untuk beradaptasi dengan tren, meme, dan kondisi sosial masyarakat dengan cepat. Selain itu, format yang simpel membuat masyarakat mau untuk berpartisipasi karena informasi lebih mudah dipahami oleh awam.
Namun, cara penyampaian yang mudah dimengerti justru menjadi bumerang karena berpotensi menciptakan fenomena half truth. Hal ini dikarenakan video pendek membuat tidak semua informasi bisa disampaikan secara langsung kepada masyarakat. “Half truth is a whole lie”, mungkin media tidak berniat untuk menyebarkan sebuah kebohongan, tetapi kebenaran yang tidak tersampaikan sepenuhnya kadangkala menyebabkan banyak persepsi dan kontekstualisasi baru atas sebuah hal yang kemungkinan berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Konsep publikasi informasi era new media juga seringkali menyematkan meme atau pembawaan receh untuk menggaet lebih banyak. Walau mampu meningkatkan ketertarikan masyarakat, namun seringkali hal ini justru mengorbankan substansi yang sebenarnya penting untuk mengedukasi masyarakat dengan isu yang lebih berbobot. Contohnya bisa kita lihat dari potongan-potongan video terkait 3 Bacapres bicara gagasan yang tersebar luas di platform video pendek. Terlihat bahwa dibandingkan dengan substansi dan ide yang dibawa oleh ketiga bacapres, masyarakat justru lebih tertarik dengan hal-hal lucu saja, seperti “prabowo joget” dan digemakan secara luas oleh banyak media baru.
The Social Dilemma: New Media dan Polarisasi Politik
Walau mampu mengisi kepingan-kepingan puzzle atas isu politik yang tidak mampu disampaikan media arus utama, kepingan-kepingan tersebut terlalu kecil dan lebih minim substansi. Hal ini menciptakan antitesis bagi masyarakat untuk lebih banyak mencari informasi dari berbagai sumber untuk mendapatkan kepingan informasi dan gambaran isu yang lebih besar. Selain itu, algoritma dengan bentuk personalisasi menjadi ancaman dalam framing isu politik di era digital yang lebih terpolarisasi.
“If you hear something over and over again, you start to believe it.”
Di satu sisi, algoritma membantu pengguna untuk mempersingkat waktu dalam mengakses informasi di sosial media, menyusun secara terstruktur informasi-informasi dari miliaran informasi yang mengalir luas di sosial media sesuai dengan preferensi pengguna. Namun, justru frasa “sesuai preferensi pengguna” tersebutlah yang justru membuat kita semakin jauh atas kebenaran yang sebenarnya terjadi.
Tidak peduli benar atau salah, fitur personalisasi hanya menyediakan konten-konten yang disukai pengguna. Media sosial menjadi semakin berbahaya karena dampak negatifnya seringkali hadir tanpa kita sadari yang dapat ditelusuri melalui teori Nudge. Media sosial menciptakan dorongan halus yang membuat pengguna secara tak sadar melakukan hal yang direkomendasikan aplikasi dan menciptakan ketergantungan. Dorongan tersebut terus diperkuat dengan semakin banyak kita mengakses platform digital, memungkinkan media sosial memantau aktivitas pengguna 24 jam dan melakukan personalisasi demi keuntungan korporasi.
Algoritma seolah memberikan kebebasan atas pilihan kita sendiri, tetapi sebenarnya membentuk echo chamber atas pandangan dan keyakinan kita saja tanpa memperdulikan argumentasi lain. Algoritma menjebak kita dalam kepompong informasi, yang menyediakan informasi searah dan homogen. Tak ada dorongan menyediakan antitesis atas sebuah informasi, bahkan informasi penuh atas suatu fenomena yang kita percayai. Personalisasi seakan membunuh kultur demokrasi, menenggelamkan pluralisme dan justru meningkatkan ekstrimisme di kalangan masyarakat.
Gema informasi homogen tersebut lama kelamaan menciptakan fanatisme berlebihan atas suatu kelompok, terutama kelompok pendukung politik. Hal ini bisa dilihat dalam polarisasi antara “cebong” dan “kampret” yang mengular pada Pemilu 2019. Orang-orang dengan pandangan politik yang sama hanya dicekoki dengan berbagai konten informasi sejenis. Mereka hanya berenang dalam kolam perspektif, opini, dan argumentasi yang mendukung pandangan mereka sendiri. Saat seseorang terjebak dalam algoritma, bias konfirmasi muncul, mengglorifikasi pandangan pribadi dan mempercayai pandangan mereka adalah pendapat mayoritas.
Kehadiran New Media dalam Perpolitikan 2024
Pertanyaan kemudian muncul, bagaimana masyarakat mampu mendapatkan informasi atas isu politik secara utuh dan inklusif? Konsep new media memberikan warna baru dalam kancah perpolitikan yang mampu mengisi kepingan-kepingan kecil dalam kancah perpolitikan yang tidak dapat diisi oleh media arus utama. Namun, menjadi sebuah tantangan bagaimana kedekatan yang dibangun dengan suasana ringan dan menyenangkan tidak serta merta mengorbankan substansi yang penting diketahui masyarakat.
Di tahun politik ini, algoritma tetap menjadi sebuah ancaman ditambah dengan konten-konten informasi half truth dari new media yang dapat mengaburkan persepsi masyarakat secara utuh atas sebuah isu politik. Melalui lokus-lokus komputasional, algoritma menyusun informasi yang ditampilkan dalam news feed yang disusun berdasarkan profil digital seseorang. Masyarakat secara tidak sadar mengilhami informasi-informasi tersebut karena adanya kepompong informasi, sehingga meningkatkan ekstrimisme yang membahayakan iklim pluralisme dalam demokrasi.
Mungkin, bukan intensi dari media untuk menyebabkan adanya echo chamber yang menciptakan framing sempit atas isu politik. Namun, adanya algoritma membuat pengguna medsos sangat rentan menjadi sasaran propaganda algoritmis oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, seperti politisasi isu-isu identitas. Sosial media yang cenderung tidak diregulasi juga menyebabkan banyaknya kasus salah tafsir atas sebuah konten politik. Banyak pihak yang tidak bertanggung jawab menciptakan interpretasi liar dalam masyarakat, seperti membagikan kembali vidio politik yang dipotong-potong, sehingga masyarakat tidak bisa memahami konteks secara utuh.
Karenanya, diperlukan usaha untuk menyadarkan masyarakat bahwa news feed yang ditampilkan dalam sosial media tidak serta merta organik dan menggambarkan realitas keseluruhan atas informasi, wacana, dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk menyikapi masalah politik bersama secara rasional dan bertanggung jawab. Masyarakat perlu sadar bahwa like dan komentar-komentar positif dari konten yang lewat dalam timeline tidak lebih dari sekadar echo chamber atas apa yang kita yakini.
Tidak elok rasanya apabila kita menyandarkan keputusan penting seperti memilih pemimpin-pemimpin bangsa hanya dari jagat digital yang tidak lebih dari cerminan subjektif perspektif kita sendiri. Karenanya, masyarakat dituntut untuk mampu secara kolektif untuk keluar dari lingkaran setan media sosial dan bercengkrama dengan orang-orang yang memiliki pendapat beragam.
Penulis memiliki ide untuk membuat opini ini karena terinspirasi dari sesi diskusi bertajuk “How New Media Influence Young Voters for 2024” yang diisi oleh Pangeran Siahaan, Budi Adiputro, dan Riel Tamasya di IdeaFest 2023.
Editor: Alfina Nur Afriani
Discussion about this post