“Ormek hadir atas keresahan bersama, liat aja aktivitasnya progresif, tuh”
“Halah idealis banget, join ormek biar karir gue mulus, sih, sebenernya”
“Fun fact, empat alumni ormek sekarang nyapres dan nyawapres. Gila, kan?”
Di suatu negara, ketika anak muda menjadi populasi terbesar yang menentukan arah demokrasi bangsa, masing-masing memiliki keinginan untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Kelompok-kelompok itu lahir dari alasan yang sama, keresahan yang mirip, dan beban moral yang dirasa universal. Beberapa lahir karena dimarginalkan dan ada pula yang muncul akibat keresahan rohani.
Singkat cerita, jaringan meluas hingga keluar daerah, memasuki institusi-institusi pendidikan tinggi meskipun mereka secara resmi tidak di bawah kuasa rektorat. Macam-macam sekali klaimnya, menjadi motor demokrasi kampus, pemantik social movement mahasiswa di tingkat nasional, ataupun menjadi jembatan antara elite dan anak kemarin sore.
Salah satu yang paling sering didengar adalah kaderisasi, pembentukan kader-kader melalui serangkaian pelatihan. Kaderisasi akan membanggakan jika menghasilkan pemimpin di instansi-instansi penting.
Tidak sedikit yang menganggap kelompok ini mempengaruhi perpolitikan di tingkat mahasiswa, seperti ketika pemilihan umum ketua BEM dan posisi-posisi strategis di organisasi mahasiswa. Toh, bisa dilihat bahwa calon presiden dan calon wakil presiden Republik Indonesia 2024 memiliki pengalaman di organisasi ini.
Fakta yang mungkin belum semua mahasiswa Universitas Indonesia (UI) tahu, seringkali mereka disebut dengan organisasi mahasiswa ekstra kampus atau ormek. Melalui kisah singkat ini, kami menceritakan kembali perjalanan ormek hingga memasuki UI.
Silakan Saudara, terkhusus sivitas UI, menilai sendiri etis atau tidaknya kelompok ini dalam perpolitikan mahasiswa. Selamat membaca.
Pengaruh Himpunan Mahasiswa Islam se-UI
Terdapat keresahan dari mahasiswa muslim akibat aspirasi keislaman yang tidak tersampaikan pada Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta. Apalagi, serikat itu pro pemerintah yang bersikap diplomatis terhadap agresi Belanda. Bukankah seharusnya bangsa mengangkat senjata terhadap penjajah?
Ide pergerakan menyeruak. Mahasiswa hukum semester satu kelahiran Tapanuli itu berdiri di mimbar kelas Sekolah Tinggi Islam, berdiri di depan tokoh-tokoh mahasiswa Islam. Dalam pidatonya, ia menyatakan berdirinya organisasi mahasiswa Islam yang saat ini dikenal dengan nama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 5 Februari 1947.
Lafran Pane, pemuda Tapanuli yang penuh semangat itu. Kelak, ia akan menyerukan bahwa Islam bukan hanya menjalankan tradisi. Kini, namanya abadi di Karangkajen sebagai Pahlawan Nasional.
HMI melahirkan kader-kader yang patut diacungi jempol. Sebut saja Anies Baswedan, Mahfud MD, dan Nurcholish Madjid yang kerap disapa Cak Nur. Pada periode Cak Nur lah, Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) kerap dianggap telah dirumuskan dengan tujuh tema pokok.
Tidak jelas sejak kapan himpunan ini memiliki jejaring hingga ke Universitas Indonesia. Satrio Alif, Kepala Bidang PTKP HMI Koordinator Komisariat (Korkom) UI, menuturkan bahwa yang jelas HMI Korkom UI sudah memiliki ketua sejak 1948 yang saat itu diketuai oleh Ismail.
Korkom UI memiliki tingkat kaderisasi yang bermacam-macam. Ketika OKK UI, HMI biasanya membuka Latihan Kaderisasi atau LK 1. Mahasiswa yang mendaftar nantinya akan mengikuti opening house untuk pengenalan organisasi.
LK 1 mencakup materi kepemimpinan, sejarah, dan nilai organisasi. Di sinilah NDP akan didadarkan agar kader sesuai dengan kualitas yang diharapkan. Kader dapat memulai karir di komisariat fakultas, lalu ke Korkom UI, dan terus naik hingga ke Pengurus Besar (PB HMI) di tingkat nasional.
Mengapa banyak yang tertarik dengan bergabung ke HMI? Jika diingat, perjalanan HMI sudah berpuluh-puluh tahun lamanya membentuk jaringan. Bukan sekadar jaring lemah, tetapi jaringan yang solid.
Tentu akan menakjubkan bisa berkenalan dengan tokoh-tokoh penting nasional. Kapan lagi, ‘kan, bisa berdiskusi dengan pakar? Latihan keprofesionalan seperti jurist class untuk mahasiswa FH juga menjadi kesempatan bagus untuk jenjang karir. Tidak bisa digeneralisir, tetapi motivasi oportunistik juga tidak bisa dikesampingkan.
Ada yang bergabung karena pelatihan kepemimpinannya, ada pula yang tertarik karena nilai-nilai keislaman. Beberapa mahasiswa ingin mencari wadah berdiskusi dan bersuara, tapi tak jarang juga yang mencari koneksi. Dengan begitu, HMI menjadi suatu kesempatan.
Bantuan dan jejaring bisa saja menggiurkan mahasiswa yang ingin terjun ke perpolitikan kampus. Maka, tak heran jika beberapa posisi-posisi strategis organisasi mahasiswa digadang-gadang akan diisi oleh kader ormek. Namun, fenomena tersebut juga membuktikan keberhasilan latihan kaderisasi yang membentuk karakter.
Alkisah, terdengar simpang siur bahwa salah satu pasangan calon ketua dan wakil ketua BEM didukung oleh ormek tertentu. Bentuk dukungan bisa seperti kampanye, pelatihan kepemimpinan, dan suara. Berhasil, mereka menduduki jabatan tertinggi di organisasi tersebut.
Satrio mengaku tidak memiliki data terkait kader HMI se-UI yang menduduki posisi penting di organisasi mahasiswa. Ia juga menegaskan pilihan suara pada pemilihan raya kembali lagi ke individu kader, jernih dari arahan organisasi.
Terlepas dari klaimnya, HMI bagaimanapun juga telah memulai perjalanan panjang. Kembali lagi, NDP yang menjadi panduan seyogyanya dipegang betul oleh kader. Zaman semakin berkembang, HMI di UI juga berdinamika.
Menurut Saudara, apakah HMI di UI sekadar wadah oportunistik atau lebih dari itu, sebagai penghimpun aspirasi mahasiswa muslim?
NU dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
Kisah HMI berkelindan erat dengan salah satu organisasi kepemudaan terbesar lainnya. Meskipun secara formal telah independen dari Nahdlatul Ulama (NU) dan IPNU (Ikatan Pelajar NU), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sulit untuk dipisahkan secara kultural dari NU.
Lagi-lagi, perselisihan kondisi politik nasional menjadi alasan lahirnya ormek. NU dan Masyumi yang memilih berpisah berdampak pada kondisi internal HMI. PMII hadir untuk memenuhi aspirasi mahasiswa NU yang terpinggirkan di HMI kala itu.
Pergerakan mahasiswa NU ini juga sebagai manifestasi cara pandang yang berbeda dari Pengurus Besar (PBNU) dan Ikatan Pelajar (IPNU). Sebelum PMII lahir, PBNU beberapa kali membubarkan organisasi mahasiswa underbow menimbang sudah adanya IPNU.
Mahbub Djunaidi menilai aktivitas mahasiswa di bawah Departemen Perguruan Tinggi IPNU sudah tidak bisa ditampung. Akhirnya, PMII dideklarasikan pada 17 April 1960 dengan Mahbub sebagai ketua umum.
Matahariku Mukhammad, Kepala Bidang Perencanaan Strategis PMII Rayon FH UI, mengurai kata demi kata ideologi ahlussunnah wal jama’ah atau aswaja yang dipegang oleh PMII. Pergerakan yang aswaja baginya adalah tengah, tidaklah liberal maupun fanatik.
Alumni-alumni PMII begitu harum hingga ke kancah nasional. Sebut saja Khofifah Indar Parawansa yang kini menjadi gubernur Jawa Timur dan Cak Imin sebagai calon wakil presiden di 2024 nanti.
Kapan PMII hadir ke lingkungan kampus UI pun tidak diketahui. Secara formal, Nusron Wahid dan Yaqut Cholil Qoumas menjadi pionir formalisasi PMII di UI pada 1996. Saat itu, panitia Mapaba (penyeleksian kader di tingkat mahasiswa) di UI hanya dua orang itu saja.
Matahari mengakui mahasiswa UI yang mengikuti PMII sudah ada sejak sebelum formalisasi. Kisahnya, ketika beberapa waktu lalu mengikuti pameran reformasi ‘98 di FIB UI, ia melihat dokumentasi kegiatan diskusi ormek di UI yang salah satu pesertanya adalah Abdullah Azwar Anas yang mengatasnamakan PMII.
Seleksi keanggotaan dimulai dari Mapaba untuk menyaring keanggotaan komisariat UI. Nantinya, kader-kader yang loyal dan berkualitas dapat melanjutkan langkah menjadi ketua komisariat atau ketua cabang Depok melalui PKD. Lanjut hingga PKL untuk keanggotaan Pengurus Besar (PB PMII).
Lebih detail, karir di pergerakan ini dapat dimulai dari sekolah menengah dengan IPNU. Lanjut kuliah dengan PMII. Dari PMII, kader bisa menduduki posisi di PB PMII. Kader yang masih tergolong pemuda, yakni maksimal 40 tahun, dapat meneruskan ke GP Ansor.
GP Ansor lah yang menjadi gerbang menuju PBNU. Nusron Wahid dapat menjadi contoh karir di PMII. Setelah berhasil menjadi ketua umum PB PMII, Nusron berhasil di tingkat pemuda dengan menjadi ketua umum GP Ansor.
Banyak mahasiswa yang tertarik dengan PMII. Bagaimana, tidak, siapa yang tidak mau dengan jaringan NU di masa depan? PMII juga menawarkan pembelajaran Islam Aswaja yang menyejukkan hati.
PMII menekankan kader yang berintelektual. Maka, PMII dapat menjadi fasilitator pengembangan minat untuk mahasiswa UI.
Di sinilah pertanyaan diajukan, apakah kader berintelektual PMII di UI akan terlibat dengan perpolitikan kampus seperti pemilihan umum ketua dan wakil ketua BEM UI? Matahari menjawab,
“Kami meristokrasi. Kalau ada kader potensial yang tertarik maju (ketua atau wakil ketua BEM UI) tentu kita provide pelatihan dan segala macamnya. Kita bantu sampai proses pendaftaran paslon saja.”
Pemira BEM UI pada akhir 2022 lalu, pasangan Arsyi dan pasangan Melki saling berkompetisi menggaet suara mahasiswa. Arsyi merupakan kader PMII dan memang sebelumnya sudah menjabat sebagai ketua BEM FIB.
PMII UI membantu Arsyi dengan dukungan moral, pembentukan timses, dan merekomendasikan Arsyi kepada kader PMII UI. Tentu, pilihan akhir dalam pemira dibebaskan kepada masing-masing kader.
Arsyi bukanlah yang pertama. Pada era ketua BEM UI Leon Alvinda Putra, wakil ketuanya juga merupakan kader PMII. Namun, sejauh ini memang belum ada yang menjadi ketua BEM UI.
Pada akhirnya, apakah menjadi ketua atau wakil ketua BEM UI harus melalui kader ormek seperti PMII atau HMI? Apakah peluang mahasiswa dari golongan independen menipis jika tidak mendulang dukungan ormek?
Untuk menjawabnya, kami akan membuka tirai terakhir dari salah tiga ormek terbesar di UI. Berbeda dengan PMII dan HMI yang berhaluan Islam, ormek “merah” ini berideologi keadilan sosial.
Cipratan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia di Lukisan Politik UI
Selayaknya ideologi yang mereka terapkan, ormek Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia atau yang biasa disingkat dengan GMNI bermunculan sana sini layaknya benih tumbuh di lapang kosong. Keberadaan isu sosial yang tak pernah selesai menumbuhkan volume persatuan GMNI.
Bagai kelap-kelip lampu malam, ormek ini beberapa kali menghilang dan timbul sesuai dengan masalah keadilan yang muncul-redup. Tak heran jika pada suatu masa, GMNI tidak dikenal karena besar kemungkinan bahwa pelanggaran hak manusia tidak menjadi viral pada masanya.
Tak kenal bulu, GMNI juga menyinggapi UI sebagai wadah penegakan keadilan sosial. Apakah anda ingat isu toleransi beragama pada 2014 di kancah politik provinsi DKI? Hal seperti itu yang menginisiasi para penggerak GMNI untuk kembali menghidupkan cabang UI setelah dinyalakan beberapa kali semenjak 1960-an.
Tak lupa alumni yang mereka hasilkan pada tiap masanya, Ari Sungkono pada ’60-an, Theo Sambuaga pada ’70 – ’80-an, Sanjaya pada 2010-an, Ganjar Pranowo yang kini menjadi calon presiden Indonesia, dan dosen serta tokoh UI yang membuat mereka meraih kejayaan pada masa ’90 hingga 2000.
Anggota ormek satu ini diklaim telah dilatih untuk siap mengabdi berdasarkan semangat kebhinekaan dan pancasila. Walaupun nantinya ikut berpolitik, yang menjadi bahan bakar utama kader adalah isu keadilan sosial yang terkadang diabaikan oleh para penulis kebijakan.
Perhatikan bagaimana maraknya kampanye dekarbonisasi yang diajangkan tiap daerah. Namun, dilihat dari sisi lain, banyak masyarakat yang hendak tidak bertahan jika regulasi tersebut terjadi. GMNI mencoba memberikan audiensi kepada instansi pemerintah akan dampak regulasi tersebut.
Mengerucut ke daerah Depok, penutupan suatu SD beberapa waktu lalu. Mengapa harus sekolah yang ditutup? Kembali, GMNI mengadvokasikannya kepada pemerintah setempat.
Dalam menyerukan argumennya, GMNI tentu perlu instrumen penyuara. Bagaikan sebuah bangunan, GMNI sebagai organisasi tidak akan berdiri jika anggota sebagai fondasinya tidak ada. Inilah yang menjadi titik adaptasi GMNI terhadap mahasiswa di Jabodetabek yang sudah berpikiran realistis. Bagaimana GMNI akan merekrut kader dengan tawaran oportunistik tetapi tetap akan dibimbing menjadi kader yang memiliki jiwa keadilan sosial? Dengan tetap berpacu pada dasar penanganan sosial tetapi juga berguna di karir para kader.
GMNI telah melakukan pengkaderan sebanyak 3 kali dalam 3 tahun terakhir. Mereka melatih para bibit-bibit penegak keadilan melalui soft skill untuk advokasi isu maupun untuk berkarir di kancah profesional. Supply on demand, GMNI juga menyiapkan koneksi agar dapat berkarir lebih jauh dengan cara yang kompetitif.
Namun, apakah GMNI tidak bermasalah dengan isu para oportunis yang hanya bermain melalui koneksi? Tommy Patrio Sorongan, Ketua DPC GMNI Depok, mengklaim bahwa kader GMNI akan bersikap objektif dalam dunia profesional, tidak memandang kader atau non kader.
Apakah hal tersebut mencerminkan ideologi GMNI? GMNI merasa bahwa mereka akan memberikan yang terbaik kepada orang terbaik. Kader tidak akan memberikan ‘apa’ kepada ‘siapa’. Tidak ada kualitas yang terbukti dengan melihat titel yang terafiliasi.
Kembali lagi, GMNI mengasah kualitas para kadernya, tetapi apakah jika kader berhasil mencapai sesuatu maka hasilnya merupakan usaha masing-masing kader? Tentu iya, tetapi GMNI mungkin juga ikut dalam proses pembentukannya secara tidak langsung. Mereka percaya bahwa kualitas orangnya akan tertampil sendiri di mata publik.
Termasuk pun yang di maksud ialah Pemira UI. GMNI tidak serta merta mengusung seorang kader untuk memenangkan politik kampus. Malah, GMNI sudah lepas tangan terhadap para kader yang maju di meja politik. GMNI hanya percaya bahwa kadernya yang terpilih memang layak menjadi seseorang.
Apakah berarti GMNI melarang komunikasi gabungan antar ormek untuk menduduki bangku kuasa? Tidak, GMNI justru merekomendasi pengembangan komunikasi kepada siapapun. Bukan untuk meraih lebih banyak suara, tetapi untuk membangun perspektif baru. Kembali lagi, pemira merupakan proses pembuktian kualitas diri.
Para komponen GMNI percaya bahwa ormek ini merupakan rumah belajar untuk mempersiapkan individu yang siap memimpin bangsa dengan menyodorkan ilmu-ilmu yang diperlukan. Tidak ada yang diminta GMNI dan tidak ada yang GMNI paksakan. Hanya saja, setiap individu yang berhasil menjadi ‘orang’ dilarang untuk melupakan GMNI sebagai tempat belajarnya.
Refleksi Penulis Akan Tiga Kisah Sebelumnya
Pemilu ketua BEM lagi, isu ormek lagi. Apakah keduanya bisa dipisahkan? Bisa saja. Toh, mereka mengakui tidak ada peran langsung. Namun, apakah ormek bisa memenangkan salah satu pasangan calon? Silakan pembaca menjawab sendiri.
Tertarik menjadi ketua organisasi mahasiswa? Saudara bisa mencoba peruntungan dengan mengikuti ormek. Apakah otomatis memenangkan pemilihan umum? Sepertinya tidak juga, tetapi setidaknya “sepeda” yang perlu dikayuh sudah lebih enteng dibanding independen.
Namun, tidak ada salahnya juga jika pembaca ingin mengembangkan soft skill dan mengembangkan rasa idealisme melalui ormek.
Illustrator: Deasma Hazel
Editor: Tim MR In-depth
Discussion about this post