Prof. Rhenald Kasali telah dikenal sebagai kolumis Koran nasional, tokoh perubahan, dan penulis yang produktif. Citra yang melekat saat ini tidak luput dari kecintaannya pada membaca dan menulis sejak di bangku kuliah. Rhenald pernah menjadi pemimpin redaksi untuk Koran Berita Mahasiswa FE UI dan juga pernah menjadi wartawan kompas sebelum akhirnya memutuskan menjadi akademisi. Ketertarikan pada masyarakat diwujudkan oleh Rhenald dengan mendirikan Rumah Perubahan. Melalui Rumah Perubahan, Rhenald belajar banyak tentang arti hidup dan ingin terus membantu masyarakat. Di sela-sela kesibukannya, Tim Economica menemui Prof. Rhenald Kasali untuk berbagi kisah dan pengalamannya kepada kami. Berikut hasil wawancara kami dengan Prof. Rhenald
Bagaimana kehidupan kampus Anda dulu di FE UI?
Tahun 1980-an ketika kuliah dulu, orang yang bawa mobil itu bisa dihitung dengan jari. Kalau saya sih kuliah naik bis. Jadi tidak seperti sekarang, mobil merupakan barang mewah kala itu, yang bawa mobil itu kalau enggak bapaknya punya kantor akuntan publik, direktur di bank ataupun BUMN, atau pengusaha, sementara jumlah pengusaha ketika itu tidak banyak. Sisanya naik angkutan umum, karena citra UI ketika itu benar-benar sebagai kampus rakyat. Uang kuliahnya tergolong murah, yaitu 15 ribu per semester, dan beruntung saya mendapatkan beasiswa 15 ribu per bulan dari Depdiknas lewat sebuah kompetisi.
Kita dulu kuliah itu seperti main, pokoknya ada kegiatan apa ya diikuti saja. Teman-teman saya ikut Mapala, saya tidak, tetapi ikut ketika naik gunungnya. Teman-teman saya ikut Menwa, saya cuma ikut latihannya saja, tapi tahu-tahu yang dilantik malah saya. Kita sebagai mahasiswa juga menentang pemerintah, demo turun ke jalan pakai sandal jepit, karena kita anak rakyat kan. Kemudian Gunung Galunggung meletus saat itu, anak FE UI pergi ke sana melakukan aksi sosial. Menariknya, sehari-hari orang anti Soeharto, tapi sekalinya pergi ke sana menggunakan mobilnyabersama Mbak Titiek. Mbak Titiek ketika itu motong-motong, mengupas kentang, masak buat mereka, itu yang dia lakukan. Sementara kita menggunakan mobilnya keliling gunung, membagi-bagikan sembako yang banyak sekali jumlahnya. Ketika itu kita tidak memikirkan kuliah, tahu-tahu dapat C.
Mengapa Anda memilih menghabiskan banyak waktu di luar kegiatan akademis?
Jadi dulu itu kita lebih banyak belajar dari sesama mahasiswa dan mentor. Mentor itu mahasiswa senior yang memberikan tentir atau tutorial. Tapi belakangan mentor itu diselewengkan oleh organisasi-organisasi keagamaan, jadi masing-masing agama membentuk kelompok sendiri sehingga berhadap-hadapan, tidak enak melihatnya. Di FE UI waktu itu akhirnya muncul sebuah gerakan independen yang sangat kuat, dimana kita tidak mau lagi ikut ormas-ormas dengan identitas apapun. Pokoknya kita main bareng dengan melepas identitas masing-masing, tidak peduli agama atau suku apa, yang penting ya senang-senang bareng.
Manfaatnya dari ikut kegiatan itu adalah bagaimana kita mengambil keputusan, bagaimana juga kita berinteraksi dengan banyak orang. Saya ingat pernah mendapatkan mandat dari Badan Otonom Economica untuk mengadakan pendidikan pers mahasiswa tingkat nasional pertama yang sangat besar. Ketika saya rangkai acaranya, ternyata biayanya tidak cukup, mencapai 75 juta – jumlah yang sangat besar waktu itu. Akhirnya saya pun mencari sponsor dan biaya bisa tertutupi. Kita adakan di Cibubur, di sebuah Hostel yang bagus sekali. Pesertanya sekitar 75 orang, yang ikut seperti Sri Mulyani, Ninasapti, dan mahasiswa lainnya yang hebat-hebat. Pembicara-pembicaranya ketika itu tokoh-tokoh nasional yang begitu hebat, hampir semua menteri saya undang, pemimpin-pemimpin redaksi media ternama juga datang. Pengalaman semacam itu menghasilkan pembentukan karakter mahasiswa, karena kita belajar mengorganisir kegiatan besar, bertemu banyak orang, mencari uang secara profesional.
Bisa ceritakan pengalaman pertama Anda dalam melakukan suatu perubahan?
Jadi saya akhirnya menjadi ketua program dokter yang duitnya minim, pegawainya hanya 6 orang, 4 Office Boy dan 2 sekretaris, komputernya cuma 4, dan tidak lama setelah saya dilantik dua CPU (Central Processing Unit) dicuri. Kita ingin lapor polisi tidak ada uang, akhirnya tidak lapor. Sialnya, minggu depannya dua CPU lainnya hilang lagi. Uang tidak ada, lulusan juga tidak ada, setiap tahunnya yang masuk hanya empat atau lima mahasiswa, dan yang mendaftar sejumlah itu juga, jadi tidak ada penyeleksian. Dari jumlah yang sedikit itu pun tidak ada yang lulus, semuanya Drop Out.
Akhirnya saya bongkar, dosennya semua saya ganti karena menurut saya sumber masalahnya ada di dosen. Yang kedua, uang kuliahnya saya naikkan. Caranya sederhana sekali, terapkan ilmu yang dipelajari, selesai. Ilmu yang saya pelajari yaitu ilmu segmentasi, ilmu branding, juga ilmu pricing. Masalahnya harganya kemurahan, program doktor dengan biaya lima ratus ribu kan memberikan citra murahan, orang jadi memandang sebelah mata, mereka yang berani bayar 30 juta jadi tidak berani masuk. Dampak kelanjutannya, tidak ada uang juga untuk membayar dosen. Infrastruktur juga mengkhawatirkan, atap masih asbes, begitu hujan juga mati lampu karena listriknya kecil. Akhirnya saya datang ke perusahaan-perusahaan minta sponsor, saya gandakan uang kuliah menjadi 35 juta rupiah, dosennya saya ganti dengan yang lebih bagus tanpa peduli mungkin ada teman atau senior saya yang diganti.Akhirnya mereka marah dan saya dikerjai habis-habisan. Tiba-tiba yang daftar jadi banyak, dan saya bikin dua segmen, jadi yang murah tetap ada. Celakanya, teman-teman kita dari akuntansi dan ekonomi pembangunan tidak percaya segmentasi. Mereka mempelajarinya sebenarnya karenakan wajib diambil, tetapi tidak mau mempercayai dan menerapkan segmentasi ataupun branding. Akhirnya mereka pun sempat mempermasalahkan perubahan yang saya lakukan.
Apa pelajaran yang Anda dapat dari pengalaman perubahan tersebut?
Akhirnya saya belajar, ini gejala apa sih, kenapa setiap ada hal yang saya bongkar, ada saja fitnah dan orang yang enggak suka. Ada saja hal yang enggak penting diomongin, seperti agama, perkawinan, hingga ijazah. Saya baca sejarah Ahmad Dahlan. Beliau melakukan perubahan, dan pernah dituduh sebagai kiai palsu,atau pengajar agama baru. Padahal dia adalah one of the greatest di Indonesia. Saya baca Sam Ratulangi, Martir Luther King, mereka juga begitu. Ada beberapa oknum yang mencoba memfitnah dan melaporkan, namun memang tidak ada kelanjutannya karena memang tidak terbukti. Punya mobil merek tertentu difitnah, padahal saya bekerja di perusahaan mobil tersebut,sehingga mendapat fasilitas untuk membeli mobil dengan kredit yang lebih ringan.
Dengan banyaknya kejadian pemfitnahan tersebut, saya berpikir jangan-jangan karier saya di UI tidak lama lagi. Terlalu banyak musuh di UI. Tapi disamping memang musuhnya banyak, yang ikut juga tambah banyak. Siapa? Mahasiswa kita. Suatu hari mereka jadi pimpinan, jadi doktor, mereka juga belajar dari kita. Mereka berkarier dan jadi pemimpin dimana-mana, mereka menerapkan apa yang saya ajarkan. Lama-lama saya mengerti, saya harus bekerja dengan prioritas. Kalau untuk menghadiri rapat-rapat kecil di UI saya tidak datang. Saya lebih baik mengurusi orang kampung di rumah perubahan, mengurusi sampah, ataupun ikut rapat RW.
Ternyata saya bukannya menjadi pimpinan paling sebentar, justru saya menjadi pimpinan program studi terlama di UI. Saya jadi ketua program doktor 2 periode, jadi ketua program magister 2 periode. Saya dari tahun 1998-2013 menjadi ketua prodi doktoral. Hampir 15 tahun lamanya. Orang lain baru jadi ketua program studi 3 tahun sudah jadi dekan. Jadi memang begitulah hidup.
Bagaimana pandangan Anda terhadap perbedaan agama?
Kita tidak boleh membenci orang karena agama. Cobalah baca kitab suci manapun, apakah ada ajaran untuk membenci orang yang berbeda agama. Tuhan ciptakan kita bersuku-suku untuk apa. Saya berpikiran saya mau menikah dengan istri saya. Pertama kali istrisaya dulu bilang bahwa kita tidak bisa karena berbeda. Tapi ternyata jodoh juga. Sudah berkali-kali kita putus namun akhirnya selalu rujuk. Ketika kami akhirnya menikah, tidak ada yang memberi selamat. Keluarga tidak memberi selamat, teman-teman di UI apalagi. Bahkan ada dosen memanggil karyawan bilang, lo jangan ikutin dia ya, itu dosa. Memang maunya saya apa? Begitu anak saya lahir, memang saya memberi mereka agama dari kecil? Oh tentunya tidak. Sedari kecil saya bawa ke tempat ibadah kedua orangtuanya, dua-duanya. Saya bilang ke mereka, kamu nanti akan menentukan mau memegang agama apa. Carilah sendiri jawabannya, dan ayah akan carikan guru yang terbaik.
Saya dan istri mendidik anak seperti itu. Saya tegaskan, ketika kamu memilih agama yang satu, ingatlah bahwa orangtua kamu yang satu lagi berbeda. Kamu tidak boleh menjadi orang beragama yang membeci agama lainnya. Kebetulan kedua anak saya pilihannyapun berbeda, jadi satu ada yang sama seperti saya, satu lagi seperti istri saya. Sedari awal menikah, kami berkomitmen tidak boleh pindah agama karena pernikahan. Kalau mau, kita sama-sama belajar keduanya dan cari yang terbaik.
Apa pesan Anda untuk mereka yang masih kuliah di FE UI?
Pertama, perbedaan apapun bukanlah halangan untuk berteman. Dunia orang muda akan sangat banyak sekali menemukan perbedaan. Tetapi kaum muda selalu dibangkitkan akan emosi perbadaan. Padahal itu hanya imajinasi yang buruk. Generasi sekarang banyak hidup dalam alam perbedaan. Banyak orang mengajarkan kebencian, buanglah jauh-jauh kebencian itu. Kedua, apapun dan dimanapun kita dapat kerjaan, kerjakanlah dengan baik, karena itu akan menjadi modal orang untuk suka dengan kita. Kamu tidak akan pernah miskin, karena kamu akan diberi kepercayaan terus menerus. Jangan banyak mengeluh, karena orang yang paling banyak mengeluh adalah orang yang paling banyak dikeluhkan oleh orang lain.
Penulis: Shafia Ansor
Discussion about this post