Once is chance, twice is coincidence and third is pattern” merefleksikan pola yang menjelaskan kasus rasisme. Memahami jutaan manusia di bumi ini rasanya terlalu berat, sehingga timbullah pengotak-ngotakan sebagai suatu cara untuk membantu memahami pola interaksi sosial. Tentunya dengan sebuah harga: diskriminasi
Di dalam komunitas, terdapat sekumpulan individu dengan karakteristik uniknya masing-masing. Karakteristik unik tersebut kemudian menjadi karakteristik unik yang lebih besar lagi pada level komunitas. Perilaku masyarakat yang beragam membuat respon masyarakat akan identitas menjadi berbeda-beda pula. Sikap masyarakat yang kemudian membedakan identitas individu satu dengan individu lainnya disebut tindakan diskriminatif.
Identitas sebagai Pembatas
Diskriminasi lahir dari tindakan membeda-bedakan berdasarkan kelompok, golongan, ataupun identitas lainnya yang membuat suatu individu atau kelompok menjadi terdiskriminasi. Dengan kata lain, diskriminasi terjadi ketika individu atau kelompok diperlakukan tidak adil dan diperlakukan lebih buruk dari yang lain.
Sinyal dari diskriminasi adalah ketika individu atau kelompok diperlakukan tidak adil dengan cara yang lebih buruk dari orang lain. Perilaku tidak adil ini dapat didasarkan atas keanggotaan aktual atau yang dirasakan dalam kelompok atau kategori sosial tertentu, misalnya yang kaya dibedakan dengan yang miskin, kulit hitam dibedakan dengan kulit putih dan sebagainya.
Menurut Roby Muhammad, sosiolog Indonesia, prinsip dasar dari kehidupan manusia, baik itu individu ataupun masyarakat adalah identitas. Identitas juga merupakan suatu perbatasan. “Perbatasan tersebut bisa dari gender, warna kulit, ras, kepercayaan, maupun kebangsaan yang sifatnya dinamis. Dinamis dalam artian bisa aktif dan tidak aktif,” jelasnya.
Dengan kata lain, batasan sosial bisa “dimatikan” atau “dinyalakan”. Ketika otak manusia memberi sinyal bahwa sekelompok individu berbeda secara karakteristik dengan kelompok individu lainnya atas dasar gender, warna kulit, atau ras, maka disitulah perbatasan itu diaktifkan. Dalam ilmu sosiologi, kondisi ini merupakan hasil dari interaksi yang melekat pada aspek sosial, budaya, dan ekonomi, yang seringkali berujung pada isu diskriminasi dan rasisme.
Rasisme dan Akar Diskriminasi Struktural
Rasisme berawal dari prasangka (prejudice) dari kelompok. Menurut Bagus Takwin, psikolog Universitas Indonesia, secara psikologis, individu memiliki kecenderungan untuk berprasangka, tetapi jika ditangani dengan baik, tidak akan mengarah pada diskriminasi atau rasisme dan individu akan menganggap bahwa perbedaan bukan suatu yang mengancam.
“Diskriminasi belum tentu diskriminatif. Jika sebuah perbedaan digeneralisasi dan dikaitkan dengan hal-hal lain maka akan menjadi diskriminatif. Diskriminasi itu akan bertahan dan berulang” ucap Bagus. Diskriminasi juga didorong oleh asosiasi yang kuat antara perbedaan dengan kejadian-kejadian, baik secara subjektif individual maupun kolektif, sehingga melahirkan pemikiran bahwa suatu kelompok selalu identik dengan kejadian tertentu.
“Pada zaman primitif, kemampuan mengidentifikasi kelompok sosial membantu anak-anak menghindari bahaya karena belum adanya norma sosial yang adil,” lanjut Bagus. Di sisi lain, pembedaan ini adalah cara masyarakat membuat sistem pengaturan masyarakat agar aman, efisien, dan praktis. Tetapi, hal tersebut berlanjut ketika perkembangan zaman sudah menunjukkan hal tersebut tidak baik dan beberapa masih bertahan karena sudah menjadi kecenderungan dari generasi ke generasi.
“Jadi, masalah besar adalah ketika cara untuk mengetahui ‘siapa saya’ dan ‘siapa Anda’ menjadi mengeksklusi atau mengeluarkan mereka yang tidak ada dalam kelompok sosial tersebut,” jelas Bagus. Seringkali kelompok sosial minoritas akan melampaui kelompok sosial mayoritas dengan label negatif yang sama. “Ini sebenarnya bisa bolak-balik, tinggal siapa yang kuat yang pada akhirnya bisa menindas,” ungkapnya. Lebih lanjut, Bagus mengatakan bahwa dasar diskriminasi adalah adanya ketakutan. Takut kehilangan, takut disakiti, takut tidak stabil, kehilangan kendali, takut pada mereka yang berbeda. “Itulah yang bertahan terus,” ucapnya. “Situasi seperti adanya persaingan antarkelompok mengaktivasi ketakutan tersebut sehingga memunculkan prasangka. prasangka buruk, dan diskriminatif,” jelas Bagus.
Di Indonesia sendiri, Bagus berpendapat bahwa pemicu awal terjadinya rasisme adalah isu ekonomi. Segala isu diskriminasi baik itu di bidang politik, agama dan ras umumnya bermula dari permasalahan ekonomi berupa perebutan kekuasaan dan sumber daya. Senada, Roby juga berpendapat bahwa ekonomi dan sumber daya melatarbelakangi isu rasisme di Indonesia. Namun yang menjadi “kambing hitam” adalah ras, suku dan agama. Masalah ekonomi seringkali berkaitan dengan masalah ras, suku, dan agama. Hal ini karena secara sosiologi masalah identitas tersebut memiliki muatan emosional yang tinggi sehingga dapat menyulut permasalahan sosial.
Terbentuknya Minoritas dan Mayoritas
Bagus berpendapat bahwa kelompok mayoritas tidak semata-mata terbentuk karena dominasi populasi. Pada awalnya, kelompok mayoritas ini bisa dilihat secara historikal yang secara historis merupakan kelompok yang memiliki kekuasaan, sehingga mereka senantiasa leluasa untuk terus berkembang. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, kelompok mayoritas terbentuk karena adanya pembelajaran dan budaya sehingga menciptakan bibit-bibit unggul untuk memiliki kemampuan dan sumber daya untuk terus mengembangkan kelompoknya.
Pada dasarnya, kelompok mayoritas tidak hanya muncul karena kuantitas populasinya, namun beberapa kelompok juga muncul dari kelompok kecil yang mampu berkuasa karena memiliki pengetahuan dan sumber daya. Hal ini telah mengakar sejak lama, bahkan di dunia keilmuan. Saat zaman NAZI, kelompok dominan seperti kulit putih, mata biru divalidasi oleh komunitas ilmiah sebagai kelompok mayoritas.
Terkait isu mayoritas dan minoritas, menurut Bagus kelompok penelitian tersebut kala itu hanya dimanfaatkan untuk konsensus kelompok tertentu karena pada umumnya metode dan penelitian secara ilmiah tidak akan bekerja dengan metode tersebut. Sehingga, pada akhirnya validasi penelitian ilmiah pun tidak akan memperbolehkan seseorang untuk mendiskriminasi kelompok tertentu dikarenakan validasi ilmiah kelompok mayoritas.
Lebih lanjut, Roby memberi perspektif baru mengenai bagaimana kelompok mayoritas dan minoritas terbentuk. Roby berpendapat bahwa kelompok mayoritas dan minoritas dibentuk oleh masing-masing individu sebagaimana individu tersebut memandang identitas kolektifnya. Konsep mayoritas dan minoritas juga dipengaruhi oleh sistem demokrasi dimana setiap orang masing-masing memiliki hak suara sebanyak satu, sehingga secara agregat unintended consequence nya adalah terbentuk kelompok mayoritas dan minoritas. Sistem demokrasi ini cukup penting dalam mempengaruhi konsep mayoritas dan minoritas dilihat dari sudut pandang kuantitatifnya.
Dibalik Dominasi Kelompok Mayoritas
Kelompok mayoritas umumnya merupakan kelompok yang terbentuk karena ingin mencapai kestabilan. Menurut Bagus, hal ini dikarenakan kognitif manusia yang ingin selalu teratur dan terstruktur. Sehingga hal tersebut mempengaruhi cara pandang manusia terhadap lingkungan sosialnya; manusia selalu ingin berada di zona nyaman dan berada di status quo. Hal tersebut menyebabkan seseorang ingin selalu seragam dan teratur.
Berbeda dengan Bagus, menurut Roby tidak ada konsep mayoritas yang mendominasi secara absolut. Karena yang ingin mendominasi tidak hanya kelompok mayoritas dan ini sudah merupakan sifat dasar yang dimiliki oleh manusia untuk mendominasi dan memenangkan suatu kompetisi di dalam konteks sosial.
Kaitan Motif Rasisme dengan Disrupsi Zaman Hari Ini
Di setiap zaman mempunyai kemiripan bentuk rasisme. Berdasarkan sumber daya seperti adanya ketidaksetaraan, ketidakadilan, dan kesenjangan sehingga orang-orang menjadi mencari “kambing hitam”. Terutama pada saat ini terjadi pandemi Covid-19. Bagus menilai pandemi Covid-19 memicu adanya penyerangan terhadap orang asia karena dianggap sebagai penyebar dan pemicu terjadinya pandemi Covid-19, padahal bukan seperti itu kondisinya. Kondisi adanya kekhawatiran yang mengancam fisik atau mengancam suatu kelompok akan memicu terjadinya rasisme.
“Di Indonesia pasti ada rasisme dan diskriminasi terhadap suku-suku, tetapi kita harus recheck atas stereotyping yang muncul tersebut.” Ucap Roby. Disetiap konteks yang ada sudah pasti ada yang lebih unggul atau dominan, yang jadi masalah adalah ketika suatu individu melakukan generalisasi.
Keefektifan Teknologi Sosial Dalam Mengentaskan Rasisme
Teknologi sosial berguna untuk mengelola perbedaan identitas kelompok, menurunkan stereotyping dan sebagainya. Salah satu teknologi sosial adalah diskusi. Teknologi sosial misalnya diskusi tidak selalu mampu mengelola dan mengentaskan rasisme. Menurut Roby, setiap daerah harus memiliki teknologi sosial nya masing-masing untuk mengentaskan rasisme karena akar masalah yang menyebabkan diskriminasi ini tidak selalu sama di setiap daerah.
Bahkan terdapat kasus dimana teknologi sosial seperti diskusi menjadi penyulut penyebab terjadinya konflik sosial di tengah perbedaan yang dimiliki kelompok sosial. Roby memberikan salah satu contohnya adalah pada fenomena Echo Chamber di media sosial. Fenomena ini merupakan sebuah keadaan keyakinan diyakini atau disebarkan oleh komunitas dan diulang-ulang dalam sebuah sistem tertutup.
Editor: Haikal Qinthara, Ruthana Bitia, Christabel Nathania
Discussion about this post