Pada Minggu (3/9), Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) FEB UI resmi mengeluarkan Surat Keputusan Pencabutan Status IKM Aktif salah satu fungsionaris Management Student Society (MSS) FEB UI, Aryo Wisnu Dewanto (Aryo) atas kasus tindakan kekerasan seksual. MSS sendiri juga telah mengeluarkan Surat Keputusan Pemberhentian Keanggotaan Organisasi pada Rabu (13/9).
Kasus ini dimulai pada bulan Mei lalu, di mana MSS mengeluarkan SK Pemberhentian Sementara yang menyatakan bahwa Aryo melakukan tindakan kekerasan seksual. Sayangnya, SK tersebut tidak dapat dipublikasikan secara masif mengingat penyelidikan yang masih berlanjut pada saat itu. Hingga bulan ini, Aryo resmi diberikan sanksi atas perbuatannya tersebut.
Proses Penetapan Sanksi yang Cukup Lama
Dengan dicabutnya IKM aktif Aryo, As’ary Ricklas Hidayat (As’ary) selaku Ketua BPM FEB UI juga telah mengklarifikasi bahwa Aryo kehilangan haknya sebagai anggota IKM aktif FEB UI. Sebagaimana yang dijelaskan dalam UU IKM FEB UI No. 2 tahun 2020, Aryo tidak lagi dapat berpartisipasi sebagai fungsionaris dalam Lembaga Kemahasiswaan di lingkungan FEB UI.
Dalam menerapkan sanksi tersebut, BPM mengacu pada penetapan terlebih dahulu pelaku berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Indonesia Nomor 745/SK/R/UI/2023 tentang Penetapan Sanksi Administratif terhadap Pelaku Kekerasan Seksual atas nama yang bersangkutan. “Yang bersangkutan (Aryo) sudah terbukti melakukan (tindakan) kekerasan seksual berdasarkan SK Rektor yang dijadikan dasar Pencabutan Status IKM Aktif,” ujar As’ary.
Namun, dalam menangani kasus tersebut, terdapat jeda waktu yang cukup lama antara terjadinya kasus dan pemberian sanksi oleh BPM FEB UI. “Hal ini dikarenakan proses penyelidikan dan penanganan oleh Satgas PPKS UI serta terlambatnya salinan SK Rektor yang diterima oleh BPM,” jelas As’ary.
Selain itu, saat disinggung terkait hubungan jeda waktu pemrosesan kasus yang lama dengan mogoknya Satgas PPKS UI pada Juli lalu, As’ary menjawab bahwa kondisi tersebut tidak berpengaruh secara signifikan. “Sepertinya tidak (ada korelasi) karena waktu yang dibutuhkan sama seperti waktu yang dihabiskan oleh Satgas pada kasus-kasus terdahulu,” terang As’ary.
Baca juga: No Viral, No Justice: Rektorat Mulai Penuhi Tuntutan Satgas PPKS UI
Kebijakan Sanksi Akademik bagi Pelaku Kekerasan Seksual di Lingkungan FEB UI
Terkait dengan sanksi akademik, As’ary mengaku bahwa BPM pernah berdiskusi dengan pihak Dekanat perihal opsi sanksi yang mungkin diambil. “Skorsing, memindahkan kelas pelaku jika sekelas dengan korban, pengunduran diri, dan sebagainya,” sebut As’ary.
Teguh Dartanto (Teguh) dan Arief Wibisono Lubis (Arief) selaku Dekan dan Wakil Dekan I FEB UI menjelaskan bahwa berdasarkan SK Rektor, pelaku juga mendapatkan sanksi akademik berupa skorsing. Arief menjelaskan, “Mungkin yang diumumkan di media sosial hanya itu (pencabutan IKM aktif), tetapi sebenarnya ada sanksi yang lebih besar.”
Dalam kasus ini, Dekanat hanya menerima hasil rekomendasi sanksi dari SK Rektorat. Hal ini karena kasus ini ditangani langsung oleh Satgas PPKS UI sehingga pihak Dekanat tidak dilibatkan dalam penjatuhan sanksi.
Selain itu, pihak dekanat menyatakan bahwa setiap penerapan sanksi harus dilakukan dengan tujuan mendidik. “Kami ingin sanksi yang mendidik, jadi skorsing enggak cuma sekadar diskors, tetapi juga ada pendampingan oleh ahli,” jelas Teguh.
Pendamping ditunjuk langsung oleh Satgas PPKS UI. Walaupun begitu, pihak Dekanat akan tetap melakukan pemantauan secara berkala dan mengevaluasi hasil dari pendampingan dan konseling pelaku.
Editor: Anindya Vania, Muhammad Zaky Nur Fajar, Tara Saraswati, dan Titania Nikita
Discussion about this post