Pasca Rektorat UI mengeluarkan keputusan bahwa fakultas rumpun sosial humaniora (soshum) dibebaskan dalam menentukan model pembelajaran di semester depan, skema pembelajaran blended-learning kini dinilai menjadi salah satu alternatif yang dapat diterapkan. Namun, rencana pasti terkait blended-learning seperti apa yang harus diterapkan akan merujuk pada hasil survei mandiri yang dilakukan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB UI) kedepannya.
“Setau saya offline belum diperbolehkan secara full juga, melainkan blended. Untuk beberapa fakultas yang memerlukan praktik lapangan, sepertinya memang butuh offline, tapi untuk FEB, saya rasa masih memungkinkan untuk online,” tutur Undang Suwanda dari Unit Perawatan dan Kebersihan Fasilitas (Fastur) FEB UI. Selanjutnya, Undang juga merasa bahwa perkuliahan yang sesuai dengan kondisi new normal masih perlu mempertimbangkan banyak hal, salah satunya adalah aturan jaga jarak dan jumlah kapasitas tertentu untuk kegiatan belajar mengajar.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Gede Harja Wasistha, Wakil Dekan 2 FEB UI, yang menyampaikan bahwa pembelajaran untuk kelas berkapasitas besar masih harus dilakukan secara online. “Yang paling memungkinkan adalah pelaksanaan kuliah offline untuk kelas yang jumlah mahasiswanya sedikit sesuai kapasitas kelas, sedangkan kelas besar masih harus dilakukan secara online,” tutur Wasis.
Pertimbangan Utama dari Blended-Learning
Diketahui bahwa pelaksanaan kuliah offline secara penuh belum memungkinkan karena adanya protokol perkuliahan yang harus dipatuhi. Protokol yang sudah diizinkan oleh K3L UI adalah sebesar 50% dari kapasitas normal. “Pak Teguh sendiri, Wakil Dekan 1 (FEB UI) menargetkan tidak sampai 50%, tetapi 30% kalau memang harus offline,” tegas Undang.
Untuk mahasiswa program S1 FEB UI dengan jumlah rata-rata orang di kelasnya mencapai 30—40 peserta, Undang menuturkan bahwa teknis pembelajaran bagi mahasiswa yang nantinya offline maupun online masih perlu dipikirkan matang-matang. “Kemungkinan yang paling mendekati (untuk diterapkan pembelajaran blended-learning) adalah mahasiswa yang jumlahnya sedikit, kayak mahasiswa (program) S2 atau S3 yang jumlah dalam kelasnya sekitar 10—15 peserta,” lanjut Undang.
“Kalau skema blended-learning untuk kelas yang mahasiswanya sedikit, kelas kita sudah siap. Yang perlu dilakukan adalah memilih kelas yang sesuai dengan kapasitas,” ujar Wasis. Nantinya, masing-masing program studi (prodi) yang akan menentukan kelas mana yang akan dilaksanakan secara offline.
“Faktor pertimbangannya selain kapasitas kelas adalah dosen mana saja yang harus offline karena itu harus bergantian,” tutur Undang. Jika offline, dosen juga akan diseleksi berdasarkan kerawanannya terjangkit virus. Apabila nantinya kelas yang offline berisikan 30% dari kapasitas normal dan sisanya berada di rumah masing-masing, dosen tetap perlu mengajar kepada mahasiswa yang ada di kelas dan di rumah.
Oleh karena itu, dosen harus memikirkan cara tertentu agar materi yang diajarkan tetap tersampaikan, entah melalui share screen atau proyektor. “Nah, kalau seperti itu kan berarti tidak bisa menggunakan papan tulis di kelas karena yang online tidak bisa melihat,” jelas Undang.
Undang kembali menegaskan bahwa beberapa hal masih perlu dirundingkan oleh akademisi FEB UI. “Yang pertama untuk kapasitas kelas nantinya akan menyesuaikan kalaupun mau offline, yang kedua menentukan kalau offline bentuknya seperti apa, apakah satu mata kuliah memakai dua ruang kelas, atau satu mata kuliah 30% offline, 70% online. Nah, itu masih digodok di bidang akademis,” tutur Undang.
Dari Infrastruktur sampai Eksternal Kampus Perlu Diperhitungkan Kembali
Pertimbangan lain dari sisi fakultas adalah kesiapan infrastruktur, seperti menyediakan fasilitas tempat cuci tangan, memasang alat cek suhu tubuh di tiap pintu masuk gedung, dan disinfeksi ruangan untuk pelaksanaan blended-learning. “Kan biasanya kalau kuliah dalam satu hari sekitar 3 sesi ya normalnya, nah jarak antar sesi kan hanya 30 menit. Kalau memang kelas yang dipakai banyak, satu ruangan saja perlu didisinfeksi minimal 20—30 menit jadi terlalu sedikit waktunya dan sumber daya manusianya juga terbatas,” ujar Undang.
“Biaya pemeliharaan mitigasi risiko ini lumayan besar biayanya, dari disinfeksi peralatan dan segala macamnya,” sambung Undang. Satu kali treatment untuk membersihkan ruangan membutuhkan biaya sekitar 21 juta apabila dilakukan oleh pihak profesional.
Selain itu, Undang juga menuturkan bahwa perlu adanya pertimbangan lain dari mahasiswa yang tinggal di daerah apabila mengharuskan blended-learning. “Kalaupun memang mau bergantian masuk, mahasiswa di luar Jawa kan tetap harus nge-kost seperti biasa. Mungkin di kampus kita bisa jalanin protokol kesehatan, tapi kalau di luar kampus kan tidak ketahuan habit-nya seperti apa,” lanjut Undang. “Yang idealnya, perkuliahan offline ekosistemnya tuh semuanya harus sudah divaksin, baik dosen, karyawan, maupun mahasiswanya,” jelas Undang.
Vaksinasi sendiri sudah menjadi hal yang wajib sebagai bagian dari protokol kesehatan (prokes) yang ada. Namun, Undang mengakui belum ada keputusan terkait pemberian vaksinasi dari UI untuk seluruh mahasiswa. “Terkait perkuliahan nanti apakah harus di-swab antigen dulu atau tidak masih diputuskan. Kalaupun memang harus, biayanya kan juga besar karena swab antigen hanya berlaku 3 hari. Kalau biayanya mandiri akan membebankan mahasiswa, kalau biaya dari UI juga tidak akan mudah,” terang Undang.
Survei Internal, Penentu Sistem Blended-Learning
Dari hasil survei UI yang dilakukan pada Senin (19/04), sebagian besar responden menginginkan sistem blended-learning. Namun, FEB UI sendiri tetap akan melakukan survei internal untuk melihat kondisi yang mencerminkan FEB UI. Survei ini nantinya akan melihat kekurangan dan kelebihan dari pembelajaran jarak jauh yang telah dilakukan selama ini. Selain itu, survei ini juga ditujukan untuk menampung keluh kesah dari para orang tua dan dosen selama pembelajaran online.
Baca Juga: Penentuan Teknis Perkuliahan Rumpun Soshum Diserahkan ke Tiap Fakultas
Melalui survei tersebut, barulah bisa didapat keputusan terkait sistem belajar mengajar seperti apa yang akan dijalankan. Survei tersebut juga akan melihat minat mahasiswa, orang tua, dan dosen untuk menerapkan sistem pembelajaran yang sesuai.
“Untuk (fakultas) ekonomi sendiri, mau dilihat berlangsung perkuliahan saat pandemi kekurangan dan kelebihannya seperti apa. Nanti mau di-review sama biro pendidikan dan PKM. Jadi, belum diputuskan. Intinya sih seperti itu,” tegas Undang.
Di lain sisi, Wasis turut menyampaikan bahwa pilihan terbaik untuk melaksanakan blended-learning sesuai dengan kapasitas yang ada masih didiskusikan. “Karena ini adalah proses yang sedang berjalan, kemungkinan akan ada beberapa masalah yang kita temukan ketika skema ini diterapkan. Tapi sejauh ini kami tidak melihat ada hambatan yang berarti dalam (perencanaan skema) pelaksanaan blended-learning,” tutup Wasis.
Editor: Hafsha Pia Sheridan, Haikal Qinthara, Nismara Paramayoga, Tahtia Sazwara, Muhammad Zaky Nur Fajar.
Ilustrasi: feb.ui.ac.id
Discussion about this post