Di suatu masa, seorang filsuf yang sangat pintar ditugaskan oleh rajanya untuk pergi berkelana jauh dari negeri tercintanya. Sang Filsuf tidak tahu apa-apa tentang penugasan itu. Sedangkan, sang Raja yang merasa kepintarannya dikalahkan oleh sang Filsuf tidak ingin kekuasaannya terhadap rakyat kalah, ia tahu betul sang Filsuf tidak bisa diatur. Hatta selama beberapa lama, negeri sang Raja damai tanpa gangguan para perusuh dan bandit, sang Raja pun dapat tidur dengan tenang setiap malamnya. Sedangkan, sang Filsuf yang hanya ditemani oleh seekor kuda ditengah-tengah ketandusan berkata, “O…betapa mulianya rajaku, beliau memberikanku kuda yang dapat berbicara dan membawaku ke tempat paling nyaman di dunia ini.”
Sang Kuda berkata, “Wahai penasihat raja yang maha berilmu, inilah tempat kematian para makhluk yang bernyawa, tidakkah engkau termasuk daripadanya?”
“Wahai kudaku yang bernyawa, bukankah tempat kematian sama indahnya dengan di mahligai negeri?” balas sang Filsuf.
“Apa hal engkau malah bergembira di tempat pembantaian, tubuhmu tidak akan menjadi pohon,” ucap sang Kuda.
“Bukankah itu keindahan dari hidup? Dan wahai kuda, sahabatku pernah mengatakan bahwa abu-abu hanyalah teori, dan emas pohon sejatinya adalah hijau,” begitu kata sang Filsuf. Lalu, mereka melanjutkan perjalanan di tengah tandus.
Di tengah perjalanan, sang Filsuf melihat Oasis, “Lihatlah kudaku, ada air, engkau dapat minum disana.”
Sang Kuda yang tidak melihat apa-apa berkata, “Sungguh, engkau sudah dibutakan pada kehidupan, wahai filsufku.”
Sang Filsuf yang terhina menjawab, “Apa yang kau bicarakan, Rocinante, aku melihatnya, marilah kita bergegas!”
Mereka berdua berlari ke tempat yang ditunjuk oleh sang Filsuf. Setelah didatangi, betul ucapan sang Kuda, tidak ada apa-apa, dan mereka berdua sekarang benar-benar kehausan.
“Pikiranmu sungguh membunuh, wahai filsufku, waspadalah pada pikiranmu itu,” keluh sang Kuda.
“Engkau sungguh benar, wahai kudaku, seharusnya aku tidak mendengar bisikan setanku, sungguh setan ini menginginkanku mati bersama dengannya menuju ketiadaan.”
Hatta, mereka melanjutkan perjalanan menuju ketidaktahuan. Pada persimpangan ketandusan, sang Filsuf membaca petanya dan bertanya kepada sang Kuda, “Kemana kita akan pergi? Ke kiri kah, menuju pengembaraan De La Mancha, atau ke kanan kah, menuju pengembaraan Odiseius, atau lurus, menuju ke pengembaraan kita?”
Sang Kuda yang keheranan bertanya, “Wahai filsufku, bukankah sejak awal ini adalah pengembaraanmu dan bukan aku? Sejak kita memulai pengembaraan, engkau tidak sekalipun menaiki punggungku, ataupun menaruh beban yang kau pikul itu ke tubuhku.”
“Wahai kudaku, tentu sudah kau ketahui pasti, bila kulakukan itu engkau pasti tidak akan mau mengikuti aku,” ucap sang Filsuf. Hatta, diputuskan bahwa mereka berjalan lurus.
Beberapa hari kemudian, sang Filsuf meninggal dalam perjalanannya kemudian sang Kuda bergegas pulang ke negerinya untuk menyampaikan berita duka itu pada paduka raja di mahligainya. Sesampainya sang Kuda, ia langsung menghadap sang Raja dan berkata, “Wahai Paduka Raja Diraja, ampunilah hamba yang datang mengotori lantai indah mahligai raja, hamba datang untuk memberi tahu berita duka, sang Filsuf, penasihat paduka, meninggal di Sumur Air di tengah padang tandus, 14 hari lalu, paduka.”
Sang Raja dengan raut wajah yang tidak berubah bertitah, “Wahai sang Kuda, bukankah engkau tahu, sang Filsuf harus hidup menderita. Tanpa penderitaan, sang Filsuf akan menjadi bandit di negeriku. Lalu, apakah ia mempunyai kata terakhir untuk dunia ini?”
“Wahai Paduka Yang Mulia, beliau berkata, ‘Telah datang malaikatku dan membawakan kabar gembira, katanya, akan dibebaskan semua urusanku menuju ketidakurusan, dan telah datang penantianku yang panjang. Kata malaikatku, ketidakadilan yang kuderita akan dibalaskan, namun aku tidak menginginkan yang demikian karena tidak ada ketidakadilan yang ku derita. Hatta, aku bertanya lagi, mengapa Sang Hyang memberikanku air disaat aku membiarkan diriku kehausan yang sangat demi dapat sampai ke tujuan. Lalu, sang Malaikat menjawab, Sang Hyang melakukan itu karena engkau telah sampai pada tujuanmu dan engkau dibiarkan mencicipi air itu seteguk, sungguh engkau adalah orang yang beruntung’ begitu perkataannya sebelum ia meninggal, Paduka Raja.”
Sang Raja yang mendengar cerita tersebut langsung menahan sang Kuda dan memerintahkan hulubangnya untuk menyiksanya di penjara.
Di penjara, sang Kuda yang sudah babak belur bertanya pada sang Hulubalang, “Mengapa engkau setiap memukulku dengan alat itu, malah engkau yang meraung kesakitan?”
Sang Hulubalang menjawab, “Karena ini yang akan kurasakan bila aku tidak menuruti keinginan Paduka Raja.”
“Tidak, bukan itu pasti alasannya, engkau meraung kesakitan karena hati nuranimu engkau tusuk-tusuk, engkau bunuh ia dan engkau hidupkan lagi ia. Sungguh aku merasa kasihan padamu,” ucap sang Kuda.
Sang Hulubalang makin keras menyiksa sang Kuda dengan suara alatnya yang berdendang hingga ke kamar sang Raja. Di mahligai raja, sang Permaisuri bertanya pada suaminya, “Wahai Kakanda, mengapa engkau memenjarakan binatang jujur seperti sang Kuda, bukankah engkau membutuhkan makhluk semacam itu di kediaman kita?”
Sang suami menjawab, “Tidak ada orang jujur yang bodoh seperti sang Kuda, kejujuran didapatkan dari pengalamannya tentang ketidakjujuran. O..bayangkan bila seorang nabi tidak mengetahui ketidakjujuran, Zarathustra pasti tertawa dari kejauhan mendengar lelucon semacam itu dan segera turun gunung untuk menyabdakan ajarannya. Memang, negeriku membutuhkan seseorang yang jujur tetapi apakah baik memasukkan ide tentang kebaikan ke telinga para pendusta istana yang tidak akan segan mengambil mahligaiku disaat diriku terlihat lemah, sungguh ia lebih jahat daripada para pendusta itu. Biarkan ia mati dipenjara itu dengan penuh luka ditubuhnya, karena itu adalah balasan yang setimpal untuk makhluk yang berkata jujur kepada semua orang.”
Beberapa hari kemudian, sang Kuda mengalami keadaan setengah hidup dan mati. Sang Algojo yang melihat hal itu merasa kasian terhadapnya, dan ingin menyudahi penderitaannya itu. Sang Algojo yang sudah siap menerima hukuman karena melawan titah Raja menyiapkan pedang andalannya. Hatta, sang Kuda berkata kepadanya, “Wahai pemberi kasih, jangan kau memainkan pedang itu padaku dan membuatku takut, sungguh tidak ada ketakutan yang kurasa, sudahilah aku disini, karena sejatinya sang Malaikat telah berkata padaku bahwa sebentar lagi penderitaanku akan berakhir.”
Sang Algojo yang sudah berniat melawan titah rajanya mengurungkan niatnya dan membiarkan sang Kuda mati perlahan-lahan akibat luka lukanya di seluruh badan yang mengeluarkan darah itu. Sang Malaikat yang tidak terima hal itu menimpa sang Kuda yang baik, melakukan protes kepada Sang Hyang, “Wahai Tuanku, mengapa engkau tidak membalaskan ketidakadilan yang diderita oleh makhluk ciptaanmu?”
Sang Hyang berfirman, “Bagaimana aku harus membalas, apa engkau tidak melihat sang Algojo dan kebimbangan nuraninya. Apakah engkau tahu apa yang ada di hati setiap orang. Aku sudah memberikan kebebasan kepada setiap makhluk ciptaanku, tetapi nyatanya mereka tidak menggunakan akalnya dalam bertindak. Biarkan itu sejalan dengan apa adanya, karena sejatinya kebaikan dan keburukan sudah saya buat untuk saling melengkapi, mereka yang melabeli dirinya dengan kebaikan, pada kenyataannya, lebih buruk daripada pembunuh. Biarkan. . . Biarkan itu berjalan sebagaimana mestinya.”
Editor: Qurratu Aina, Alfina Nur Afriani
Discussion about this post