Siapakah yang mempunyai hutan adat? Negara? Masyarakat?
Pertanyaan ini seolah tak pernah padam bagi mereka yang peduli dan terus mengamati tindak tanduk pemerintah di Papua, Kalimantan, Sulawesi, dan baru-baru ini Rempang, Riau. Padahal, jelas bahwa Mahkamah Konstitusi seperti yang tertera dalam UU No. 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adat bukanlah hutan yang secara langsung di bawah kepemilikan negara melainkan milik masyarakat adat yang ada disekitarnya. Namun demikian, putusan tersebut masih jauh dari cukup untuk masalah ini. Putusan tersebut memunculkan masalah baru yang lebih pelik dan belum berhasil dijawab sampai saat ini. Batasan kewenangan masyarakat, kebolehan masyarakat adat memindah tangankan penguasaan lahan, kesulitan pengajuan izin kepada pemerintah, dll.
Papua, Kemilau si Zamrud Khatulistiwa
Tanah papua adalah tanah yang kaya, Surga kecil yang jatuh ke bumi.
Penggalan lirik lagu ciptaan Edo Kondologit menceritakan indahnya daerah Papua. Bagaimana tidak, dimulai dari satwa endemik, vegetasi nan apik, dan tentu saja kekayaan alam yang melimpah ruah. Dengan perbukitan yang megah, hutan hujan yang menjulang tinggi, dan pantai yang memikat, Papua adalah surga tersembunyi bagi mata yang memandang.
Keindahan Papua melampaui aspek visual semata. Di balik puncak gunung yang gagah, tersembunyi kekayaan tambang tembaga dan nikel yang melimpah. Tapestri hutan Papua, selain memesona, juga memiliki peran krusial dalam menyuplai 2,72 juta meter kubik kayu berkualitas terbaik ke pasar domestik dan internasional. Namun, kekayaan alam ini tidak lengkap tanpa menyebut kandungan logam mulia, terutama emas, yang tidak hanya mempercantik negara ini, tetapi juga menjadi pilar keuangan negara. Setiap tahunnya, 1,37 juta pon emas yang dihasilkan menjadi mahakarya alam yang menjanjikan kelimpahan dan memberikan dukungan ekonomi yang kokoh di bawah naungan keindahan alam yang luar biasa.
Dinamika Ketegangan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hutan Papua
Di dalam hutan yang megah dan kaya, terdapat narasi yang tidak selalu sejalan dengan keindahannya. Sumber daya yang melimpah justru menjadi api konflik yang selalu diperebutkan. Dinamika ketegangan dan konflik kian meruncing seiring dengan upaya manusia menggali keuntungan ekonomi di . Tentu saja, konflik menantang sejauh mana alam Papua akan bertahan di tengah kapitalisme ekonomi yang semakin memanas.
Di satu sisi, kelestarian ekologi dan pelestarian lingkungan menjadi penting untuk menjaga keunikan alam dan keberlangsungan ekosistem. Namun, di sisi lain, tuntutan akan pertumbuhan ekonomi seringkali mendorong pemanfaatan sumber daya alam tanpa memperhitungkan dampak lingkungan. Pertentangan kepentingan antara pemerintah, industri, dan masyarakat adat yang memiliki hubungan erat dengan lingkungan, menjadi pokok perdebatan.
Akibat konflik ini, hutan papua telah mengalami deforestasi sebanyak 721 kha selama 2 dekade terakhir, hal ini tentu saja sumbangsih dari berbagai pihak baik dari lembaga pemerintah maupun perusahaan swasta (global forest watch, 2023) dengan perusahaan tambang yang menjadi penimbul utama bekas semi-permanen pada lingkungan.
Gambar 1. Data kehilangan areal tutupan pohon di papua, Indonesia
Memang benar telah terjadi penurunan tingkat deforestasi kian tahunnya, tetapi tetap saja akumulasi lahan yang terdeforestasi masih jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan upaya reforestasi yang terjadi.
Argumen dan Data
Seperti pada paguyuban adat lainnya, masyarakat adat papua yang hidupnya di dalam atau sekitar hutan tentu saja memiliki sejumlah mitos. Mitos-mitos ini menunjukkan kekuatan supranatural yang menguasai alam semesta. Ia dikisahkan dengan dengan berbagai simbol mulai dari dewa, manusia, dan hewan-hewan yang bersifat sakral. Kepercayaan terhadap mitos ini melahirkan sejumlah ritual dan batasan-batasan tertentu yang mengikat seluruh masyarakat adat untuk mematuhinya.
Namun, selain melahirkan tanggung jawab, ikatan adat antara masyarakat papua dengan hutannya juga melahirkan koneksi yang erat. Misalnya saja, masyarakat di perkampungan necheibe, Jayapura, yang menganggap hutan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Masyarakat adat necheibe tidak hanya memiliki ikatan yang erat dengan hutan sebagai komponen alam saja, melainkan juga dengan binatang-binatangnya yang dipandang sebagai makhluk yang hidup berdampingan dengan mereka.
Tanggung jawab dan keterikatan mereka inilah yang membuat mereka menentang komersialisasi hutan secara besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Hukum adat mereka telah menentukan batas-batas wilayah yang dilarang untuk diubah demi menjaga keasliannya dan sebagai penghormatan kepada alam.
Dampak UU Ciptaker
Pengesahan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cipta Kerja (disingkat UU Ciptaker) pada 2 November 2020 lalu menimbulkan banyak pro dan kontra. Pada dasarnya, Undang-Undang ini bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi dengan mengurangi persyaratan izin usaha dan pembebasan tanah.
Penurunan persyaratan ini tentu saja dapat memperparah deforestasi di indonesia karena mengurangi regulasi perlindungan lingkungan. Pengurangan aturan ini berpotensi menimbulkan konsekuensi serius. Dengan hilangnya ketentuan lingkungan, tugas pemerintah dalam melakukan pengawasan akan semakin sulit, memberikan peluang lebih besar bagi pihak swasta untuk mengeksploitasi sumber daya alam tanpa kendali. Situasi ini dapat meningkatkan risiko pencemaran lingkungan yang merugikan dan mengancam pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), suatu tujuan yang telah menjadi komitmen seluruh negara saat ini 1United Nations indonesia. 2023. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan | Perserikatan Bangsa – Bangsa di Indonesia.
Terlebih, tentu saja pengesahan UU Ciptaker ini akan secara langsung meningkatkan konflik lahan antara masyarakat adat menentang pemerintah dan perusahaan. Contohnya seperti kasus yang terjadi di Papua dan Papua Barat, di mana setidaknya terdapat dua kelompok adat yang terus menolak ekspansi dari perusahaan sawit.
Hal ini seperti yang disampaikan oleh Sopice dalam wawancaranya dengan BBC Indonesia sebagai perwakilan suku tehit yang bentangan tanah ulayatnya (37 ribu hektare) diklaim sepenuhnya oleh perusahaan sawit “Tanah ini adalah kehidupan dan sumber ekonomi masyarakat. Warga di sini memelihara sagu, berburu babi dan binatang lain. Ini juga tempat bersejarah bagi kami,” ujar Sopice yang khawatir akan masa depan sukunya setelah menyerahkan hutan yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh pemuda suku amyu yang menolak sepenuhnya ekspansi yang dilakukan perusahaan sawit di tanah sukunya “Kami pertahankan tanah demi anak-cucu. Tidak harta yang diturunkan oleh kakek-nenek dan leluhur kami, kecuali tanah yang mereka titipkan ini,” tuturnya.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar, memastikan bahwa Omnibus Law tidak akan merugikan hak-hak masyarakat terkait hutan. Meskipun demikian, aktivis lingkungan meyakini bahwa dampak dari Omnibus Law tidak hanya akan merugikan pemilik tanah adat, tetapi juga dapat mempercepat deforestasi, terutama di Papua yang dianggap sebagai hutan terakhir Indonesia.
Perspektif Omnibus Law (UU Ciptaker) dalam Melihat Hutan sebagai Nilai Ekonomis
Omnibus Law Cipta Kerja (UU Ciptaker) memberikan perspektif baru terkait hutan dengan menekankan nilai ekonomisnya. Dalam konteks ini, hutan tidak hanya dipandang sebagai sumber daya alam yang perlu dilestarikan secara lingkungan, tetapi juga sebagai potensi ekonomi yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Beberapa poin perspektif Omnibus Law terhadap hutan sebagai nilai ekonomis melibatkan:
- Investasi dan Pengembangan Ekonomi: Omnibus Law mendorong investasi dan pengembangan ekonomi dengan memandang hutan sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan secara produktif. Pembukaan peluang investasi di sektor kehutanan diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produksi industri, dan mendukung pertumbuhan ekonomi 2Brechin, Steven R., & Willett Kempton. (1994). Global environmentalism: A challenge to the postmaterialism thesis. Social Science Quarterly, 75(2), 245-Pembukaan peluang investasi di sektor269..
- Pemanfaatan Sumber Daya Hutan: Omnibus Law memberikan kemudahan dalam pemanfaatan sumber daya hutan, termasuk kayu, tanaman obat, dan berbagai produk hutan lainnya. Dengan memperlancar regulasi, diharapkan kegiatan eksploitasi hutan dapat dilakukan secara lebih efisien dan berkelanjutan.
- Peran Swasta dalam Pengelolaan Hutan: Omnibus Law memberikan peran lebih besar kepada sektor swasta dalam pengelolaan hutan. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai upaya untuk memacu inovasi, efisiensi, dan produktivitas dalam pemanfaatan sumber daya hutan, namun juga memerlukan pengawasan yang ketat untuk mencegah eksploitasi yang tidak berkelanjutan 3McBeth, Mark K. (1995). Rural environmental and economic development attitudes: An empirical analysis. Economic Development Quarterly, 9(1), 39- peran lebih besar kepada sektor swasta dalam pengelolaan hutan49..
- Penyederhanaan Perizinan: Salah satu fokus utama Omnibus Law adalah penyederhanaan perizinan. Dalam konteks hutan, hal ini dapat mempercepat proses perizinan untuk kegiatan ekonomi yang melibatkan hutan, dengan tujuan meningkatkan daya saing dan menarik investasi.
Namun, tentu saja jauh bara dari api, nilai-nilai mulia Omnibus Law itu hanya sekedar fondasi. Pada kenyataannya, banyak terdapat pasal yang masih membutuhkan evaluasi. Para pengamat lingkungan mengatakan bahwa arah Omnibus Law ini lebih menitikberatkan pada kedaulatan investasi dibandingkan kedaulatan bangsa. Terlebih, banyak hutan adat yang nantinya yang menjadi sasaran sengketa lahan akibat UU Ciptaker ini.
Ancaman Investasi Kelapa Sawit Terhadap Kelestarian Hutan Papua
Pada praktiknya, implementasi Omnibus Law dalam sektor kehutanan membuka lebar pintu investasi kelapa sawit. Data terkini mencatat keberanian PT Permata Nusa Mandiri (PNM) membuka lahan tanpa izin di Kabupaten Jayapura, menciptakan ancaman serius terhadap ekosistem dan keberlanjutan hutan Papua.
Ancaman ini tak hanya bersifat lingkungan, tetapi juga mencakup implikasi sosial dan hukum yang kompleks. Perusahaan yang terlibat dalam tindakan ilegal ini berisiko melanggar undang-undang, sementara masyarakat adat yang terkena dampak harus menghadapi ketidakpastian dan risiko konflik.
Data terbaru dari Satelligence, perusahaan data berbasis citra satelit, menunjukkan bahwa kehilangan tutupan hutan terkait perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengalami penurunan signifikan, menurun sebesar 87% dari 907.513 ha menjadi 119.363 ha. Data tahun ini mencatat penurunan sebesar 17.233 ha dalam kehilangan tutupan hutan terkait kelapa sawit. Di dalam konsesi kelapa sawit, kehilangan tutupan hutan juga menurun menjadi 20.347 ha pada tahun 2022, dibandingkan dengan 24.322 ha pada tahun 2021.
Gambar 2. Jumlah kumulatif kehilangan hutan di Papua dan Papua Barat
Namun, fokus juga tertuju pada proyek kontroversial, Proyek Tanah Merah di Papua, yang dianggap sebagai upaya pembukaan lahan kelapa sawit terbesar di dunia 4Greenpeace, Team. 2021. Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Pupua. Amsterdam. Greenpeace internasional. Proyek ini melibatkan alih fungsi lahan seluas 270 ribu hektar hutan dilindungi di Kabupaten Boven Digoel. Meskipun pejabat yang menerbitkan izin proyek tersebut telah ditahan karena kasus korupsi, dampak ekologisnya sangat besar. Hutan di Papua menyimpan sekitar 71,2 juta ton karbon, setara dengan setengah dari efek industri penerbangan internasional selama satu tahun. Dampak perubahan iklim ini akan dirasakan terutama oleh masyarakat asli Papua yang bahkan tidak mendapatkan perbaikan ekonomi yang signifikan dari proyek-proyek investasi tersebut, dengan tingkat kemiskinan yang mencapai 27,53% amat jauh di atas angka kemiskinan kawasan padat Jakarta 3,47% 5Badan Pusat Statistik. 2021. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota (Ribu Jiwa),2019-2021.Diaksesdari[https://papua.bps.go.id/indicator/23/44/1/jumlah-penduduk-miskin-menurut-kabupaten-kota.html%5D.
Tak kalah penting, investasi ini menggoyahkan hak dan keberlanjutan masyarakat adat. Pencabutan sebagian izin oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum mampu menghentikan langkah perusahaan. Hal ini membuka potensi konflik dengan masyarakat adat yang memiliki hak sejarah atas tanah itu. Partisipasi mereka dalam keputusan terkait tanah harus dihormati untuk menjaga keseimbangan sosial dan lingkungan.
Panggilan Keseimbangan dan Harmoni
Pemerintah perlu mengukir keadilan dalam penegakan hukum dan memastikan perusahaan patuh pada kebijakan yang telah ditetapkan dengan menerapkan sanksi yang tegas, sekaligus melakukan upaya pemulihan terhadap ekosistem yang terkoyak. Perlindungan terhadap hutan Papua perlu ditingkatkan dan pengelolaan hutan adat yang melibatkan masyarakat dianggap sebagai kunci untuk mencapai harmoni yang berkelanjutan. Investasi yang seharusnya menjadi kisah cinta jangka panjang, bukan kisah keuntungan sesaat, menuntut tanggung jawab tidak hanya dari pemerintah tetapi juga panggilan hati dan moral bagi semua yang berkecimpung di sana. Dengan melindungi hutan Papua, kita menciptakan kisah kehidupan yang abadi bagi planet kita dan mewariskan keberlanjutan kepada generasi mendatang.
Penegakan hukum yang tegas dan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan dianggap sebagai kunci untuk melindungi hutan Papua dari ancaman investasi yang merugikan. Investasi seharusnya tidak hanya memberikan keuntungan bagi sebagian pihak, tetapi juga menjaga keseimbangan alam dan hak-hak masyarakat adat. Hutan Papua bukan hanya harta nasional, tetapi juga warisan global yang perlu dilestarikan untuk generasi mendatang. Oleh karena itu, perlindungan hutan Papua harus menjadi prioritas utama, bahkan dalam perspektif Omnibus Law. Mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat atas hutan adat adalah keharusan. Menghadang segala eksploitasi, menyuarakan keberlanjutan, keadilan, serta keteguhan warisan harus bukan lagi pilihan. Semua itu demi menjauhkan kekejaman tak terperiikan.
Foto oleh Deasma Hazel
Editor: Muhammad Rafly Fadhly Putra
Referensi
↵1 | United Nations indonesia. 2023. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan | Perserikatan Bangsa – Bangsa di Indonesia |
---|---|
↵2 | Brechin, Steven R., & Willett Kempton. (1994). Global environmentalism: A challenge to the postmaterialism thesis. Social Science Quarterly, 75(2), 245-Pembukaan peluang investasi di sektor269. |
↵3 | McBeth, Mark K. (1995). Rural environmental and economic development attitudes: An empirical analysis. Economic Development Quarterly, 9(1), 39- peran lebih besar kepada sektor swasta dalam pengelolaan hutan49. |
↵4 | Greenpeace, Team. 2021. Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Pupua. Amsterdam. Greenpeace internasional |
↵5 | Badan Pusat Statistik. 2021. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota (Ribu Jiwa),2019-2021.Diaksesdari[https://papua.bps.go.id/indicator/23/44/1/jumlah-penduduk-miskin-menurut-kabupaten-kota.html%5D |
Discussion about this post