Menjadikan hutan hujan tua yang berdiri selama ribuan tahun, tumbuh bersamaan dengan 15.000 spesies tumbuhan dan 1.400 amfibi, burung, ikan, reptil, serta serangga yang tak terhitung sebagai sebuah legenda tak berwujud terasa terlalu distopis. Daratan Kalimantan yang memiliki luas sebesar 74,33 juta hektare dan 73,7 persennya merupakan luas tutupan hutan yang sejak tahun 1985 berperan dalam menjaga suhu Bumi, setengahnya telah menjelma menjadi lahan “pembangunan” 1Butler, R. (2008). Borneo: Profil Lingkungan. World.mongabay.com. https://world.mongabay.com/indonesian/borneo.html. Sengketa di atas lahan tersebut kian nyata dan meluas, dan tidak hanya alam yang menanggung akibatnya.
Hari ini Kalimantan sedang dibawa oleh gerbong perjalanan distopia “pembangunan”. Perjalanan dilakukan seakan perjanjian PBB tentang Konvensi Kerangka Kerja terkait Perubahan Iklim pada 1992 tak pernah dibuat. Jika dilihat, Hutan Kalimantan mengalami transisi yang “menakjubkan” selama 30 tahun terakhir. Penelitian dari Scientific Reports, yang menelisik lebih dari 400 citra satelit landskap Pulau Kalimantan antara tahun 1973 hingga 2015, menyatakan bahwa 18,7 juta hektare hutan digunduli dalam periode tersebut 2Ramsay, D. (2018, February 7). Mempelajari penyebab deforestasi di Kalimantan. CIFOR Forests News. https://forestsnews.cifor.org/44242/mempelajari-penyebab-deforestasi-di-kalimantan?fnl=en. Bahkan, berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), luas tutupan hutan di Kalimantan pada 2021 tersisa 28,53 juta hektare, yang berarti menjadi 32,6% dari keseluruhan luas pulau Kalimantan 3Kusnandar, V. (2023). Ini Luas Tutupan Hutan Indonesia, dari Sumatera sampai Papua. Databoks.katadata.co.id. https://databoks.katadata.co.id/infografik/2023/01/16/ini-luas-tutupan-hutan-indonesia-dari-sumatra-sampai-papua..
Pada pertengahan tahun 2023, Koalisi Indonesia Memantau menentang revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) hutan di Kalimantan Timur terkait alih fungsi hutan seluas 700.000 hektare. Hal tersebut diperparah dengan pembagian yang tidak proporsional, yaitu 13% untuk masyarakat dan 83% untuk korporasi, atau setara 612.355 hektare lahan. Luas lahan korporasi tersebut nantinya akan mengalami pelepasan Kawasan hutan, yang selanjutnya diberikan kepada 156 perusahaan yang berizin konsesi. Perusahaan-perusahaan tersebut terdiri dari sektor pertambangan, monokultur sawit skala besar, dan kebun kayu 4Ramsay, D. (2018, February 7). Mempelajari penyebab deforestasi di Kalimantan. CIFOR Forests News. https://forestsnews.cifor.org/44242/mempelajari-penyebab-deforestasi-di-kalimantan?fnl=en.
Menjadi ironi ketika negara mengeksploitasi hutan dengan dalih “pembangunan” tanpa mengakomodasi kepentingan masyarakat setempat. Polemik seperti inilah yang memicu terjadinya konflik agraria. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), selama 5 tahun terakhir sudah terjadi 40 letusan konflik agraria di Kaltim 5Ramsay, D. (2018, February 7). Mempelajari penyebab deforestasi di Kalimantan. CIFOR Forests News. https://forestsnews.cifor.org/44242/mempelajari-penyebab-deforestasi-di-kalimantan?fnl=en. Mayoritas alasan dibalik terjadinya konflik agraria yaitu tidak adanya transparansi antara korporasi dan pemerintah kepada masyarakat adat dalam menentukan luas hutan adat yang dilindungi.
Siklus seperti ini berulang selama 20 tahun terakhir, dan masyarakat adat selalu menjadi pihak yang menanggung kekalahan atas konsesi perusahaan bermodal besar. Pertumbuhan industri kelapa sawit dan pertambangan yang terus meningkat menciptakan berbagai efek destruktif tidak hanya bagi identitas masyarakat adat di Kalimantan, khususnya Dayak, tetapi juga terhadap perubahan iklim di Kalimantan. Konversi lahan yang terus dilakukan demi meningkatkan produksi atau proyek pembangunan nasional mengakibatkan terjadinya perubahan iklim yang signifikan. Desa Loklahung, sebuah desa di Kalimantan Selatan, mengalami kenaikan suhu sebesar 2℃ dan curah hujan sebesar 1000 mm dalam waktu 30 tahun terakhir 6Wicaksono, A., Meidiana, C., & Wardhana, A. (2023). Tingkat Kerentanan Masyarakat Adat Suku Dayak Meratus Terhadap Dampak Perubahan Iklim. Planning for Urban Region and Environment, 12(3), 261-270., jauh lebih cepat dari kenaikan suhu bumi sebesar 1℃ selama 150 tahun terakhir akibat revolusi industri.
Membidas berbagai problematika tersebut, saya akan berfokus untuk menelisik lebih dalam identitas masyarakat Dayak, yaitu pada aspek kebudayaan, nilai yang dianut, dan peran mereka dalam melestarikan hutan. Pembahasan juga disambung kepada motif dan dampak “pembangunan” terhadap hak masyarakat Dayak dan lingkungan. Terakhir, kajian ditutup dengan pembahasan terkait solusi dan kebijakan yang perlu diterapkan demi kelestarian hutan dan keberlanjutan kehidupan masyarakat Dayak.
Identitas Masyarakat Dayak
Secara historis, teori yang secara umum diterima pelbagai pihak adalah penduduk asli Pulau Kalimantan berasal dari kelompok-kelompok yang bermigrasi secara besar-besaran dari daratan Asia. Gerakan migrasi itu terjadi sekitar tahun 3000-1500 Sebelum Masehi 7Widjono, Roedy Haryo. (1998). Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok. PT Grasindo.. Para imigran berasal dari Provinsi Yunan, Cina Selatan. Mereka mengembara dalam kelompok-kelompok kecil ke Tumasik dan Semenanjung Melayu, dan akhirnya menetap di pulau-pulau di Indonesia.
Penduduk Pulau Kalimantan yang biasa disebut Dayak, merupakan sebutan kolektif untuk berbagai suku asli di Kalimantan (Singarimbun, 1991). Menurut Lindblad (2012), Dayak berasal dari kata daya, bahasa Kenyah yang berarti hulu sungai atau pedalaman. Secara umum, masyarakat yang tergolong ke dalam kelompok suku Dayak menghuni pedalaman Kalimantan dan tidak memeluk agama Islam. Alih-alih Dayak, masyarakat asli Pulau Kalimantan lebih mengenal dirinya sendiri sebagai Benuaq, Kenyah, Punan, Bahau, dan sebagainya, yang merupakan nama dari Lembah, Sungai, tempat tinggal mereka, atau penamaan orang luar.
Masyarakat Dayak sangat bergantung dengan hutan. Hal ini disebabkan oleh hubungan timbal balik yang terjadi antara hutan kelompok Dayak secara harmonis dan selaras (Lestari, dkk, 2018). Masyarakat Dayak tidak melihat hutan sebagai sumber komoditas dan pemenuhan kebutuhan ekonomis saja, tetapi juga sebagai “tetangga” tempat roh leluhur tinggal 8Rahmawati, H. (2015). Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Benuaq Dalam Pemanfaatan Lahan dan Pemeliharaan Lingkungan. Jurnal Penelitian Humaniora. 20(2). 106-113.. Konsepsi tersebut mengeratkan hubungan masyarakat Dayak dengan hutan dan sungai.
Dalam aktivitas perladangan, Masyarakat Dayak juga berhati-hati dalam pengelolaan hutan. Untuk membuka lahan, mereka mempunyai berbagai peraturan sendiri, terutama pada hutan primer. Hutan yang terletak di luar kawasan Rumah Panjang individu tidak boleh digunakan untuk perladangan. Masyarakat Dayak juga hanya menanam dan memanen padi sekali. Lahan tanah yang sudah digunakan akan ditinggalkan supaya hutan tumbuh kembali dan menutupi area tersebut. Mereka memutuskan bidang tanah tertentu dapat ditanami kembali apabila besar tinggi pohon sudah mencapai ukuran tertentu (Singarimbun, 1991).
Hal inilah yang melandasi perilaku masyarakat Dayak Kenyah Leppo’ Ke, Suku Dayak di Kalimantan Utara, terhadap hutan. Mereka mengenal konsep pemanfaatan dan pengelolaan hutan bernama Tana ‘ Ulen, yaitu kawasan hutan rimba yang dilindungi secara adat, meliputi satu sungai atau sungai kecil mulai dari muara sampai ke ujung anak sungai. Batas-batasnya termasuk punggung-punggung gunung dimana sungai tersebut mengalir9Aran, R., & Lestari, P. (2016). Peran Hukum Adat Suku Dayak Kenyah Leppo’ Ke Terhadap Kelestarian Lingkungan Alam dan Kebudayaan di Desa Apau Ping..
Berbeda dengan Suku Dayak Kenyah, di Kalimantan Timur, tepatnya di Kutai Timur, Suku Dayak Wehea melaksanakan patrol hutan secara rutin. Maraknya deforestasi membuat masyarakat Dayak Wehea mengukuhkan Kawasan Hutan Wehea pada 2004 dengan tujuan melindungi hutan adat yang tersisa. Dibentuk juga Petkuq Mehuey yang berarti patrol hutan, terdiri dari sekelompok warga Dayak Wehea, laki-laki dan perempuan yang dikukuhkan oleh kepala adat suku Dayak Wehea Desa Nehas Liah Bing untuk menjaga Kawasan Hutan Lindung Wehea 10Mulyani, S. (2022). Petkuq Mehuey: Kearifan Lokal dengan Kesetaraan Gender dalam Menjaga Hutan Adat Suku Dayak Wehea-Kutai Timur, Kalimantan Timur. Jurnal Sosial-Politika. 3(2). 82-90..
Dalam Petkuq Mehuey, anggota patrol akan secara bergantian berkeliling hutan Wehea untuk mencegah masuknya penebang liar dan penambang emas, memperbaiki jalur pejalan kaki, mendata flora dan fauna, serta mendampingi peneliti yang datang ke hutan Wehea. Agenda ini dilakukan selama 2 bulan, kemudian diganti dengan kelompok selanjutnya. Hal ini tak jarang membuat anggota Petkuq Mehuey pergi meninggalkan anak dan keluarga mereka.
Antara Pembangunan dan Hak Masyarakat Adat
Developmental patrimonialism, sebuah konsep yang digagas oleh Christopher Clapham dalam bukunya yang berjudul Traditional Patrmonialism and Neopatrimonialism (1973), didefinisikan sebagai fenomena ketika pemerintah suatu negara melakukan hubungan patron-klien dengan pengusaha atau korporasi-korporasi besar (Clapham, 1985). Hubungan patron-klien yang dimaksud adalah ketika sektor publik dan sektor privat bekerja sama yang awalnya berbasis legal-rasional dalam melanggengkan kebijakan atau program tertentu, menjadi oligarkis dengan mempertimbangkan relasi kuasa antara patron dan klien.
Praktik developmental patrimonialism seringkali dilakukan secara tidak transparan, bertujuan untuk menghindari protes dan kisruh dari pihak yang dirugikan. Mirisnya, praktik seperti ini selalu saja membawa narasi pertumbuhan ekonomi, pembangunan, peningkatan ekspor dan investasi, dan lain sebagainya.
Suku Dayak Bahau, Masyarakat Adat yang tinggal di desa Long Isun, Kalimantan Timur, menjadi korban eksploitasi dan ekspansi industri para pemegang HPH (Hak Pengelolaan Hutan) atas hutan adat mereka selama dua dekade terakhir. Hal ini bermula ketika pemerintah Kabupaten Mahakam menetapkan peta yang berisi batas administratif Desa Long Isun yang berbeda dengan batas alami yang disepakati masyarakat dari generasi ke generasi pada tahun 2011. Peristiwa ini kemudian merembet kepada pemberian izin konsesi dua Perusahaan HPH, yaitu PT. Roda Mas Tbr Kalimantan dan PT. Kemakmuran Berkah Timber untuk beroperasi di lahan seluas 21.443 hektare mencakup wilayah hutan adat dan situs pemakaman leluhur Masyarakat Long Isun.
Maraknya praktik patron-klien antara pemerintah dan korporasi tak hanya menimpa masyarakat adat Long Isun, tetapi mayoritas Dayak di Kalimantan. Praktik ini selalu dicirikan dengan upaya untuk melanggengkan tujuan tanpa berkonsultasi dengan masyarakat yang akan terdampak “pembangunan”. Kejadian ini-lah yang sering kali memicu konflik agraria di Indonesia. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa terdapat lebih dari 650 konflik lahan yang memengaruhi lebih dari 650.000 rumah tangga pada 2017 di Indonesia.
Merenungi Nasib masyarakat Dayak atas ekspansi dan eksploitasi terhadap hutan mereka, Nancy Fraser dalam Redistribution or Recognition (2003) mengenalkan konsep kewarganegaraan parsial (partial citizenship), diartikan sebagai pengakuan yang tidak menyeluruh terhadap suatu kelompok masyarakat yang terjadi pada ranah substansif atau administratif dari kewarganegaraan 11Basundoro, Alfin & Jaknanihan, Arrizal. (2019) Hambatan Implementasi Keamanan Lingkungan Bagi Masyarakat Adat: Analisis Penyebab Pencemaran Lingkungan dan Ekspansi Lahan Industri Kelapa Sawit Terhadap Masyarakat Dayak. Jika dielaborasikan dengan apa yang terjadi pada masyarakat Dayak, peristiwa ini merupakan bentuk marginalisasi terhadap hak-hak Dayak. Masyarakat Dayak secara substansial terlihat tidak memiliki relasi kekuatan yang sama dengan perusahaan pemegang HPH. Hal ini berimbas pada keamanan lingkungan dan pengakuan batas wilayah yang seakan tidak diakui melalui sistem administratif pemerintahan.
Kontemplasi
Pelestarian hutan sebagai sumber daya alam yang harus dijaga perlu dilakukan dengan tegas dan penuh komitmen. Pemerintah berperan krusial pada pencegahan korban eksploitasi dari praktik patron-klien yang bersifat oligarkis. Deforestasi yang terjadi sejak 50 tahun terakhir berdampak besar pada kondisi lingkungan di Kalimantan, terbukti dengan terjadinya bencana dan kerusakan atas biodiversitas dan pencemaran air. Deforestasi yang dilanggengkan atas nama “pembangunan” juga telah merenggut hak-hak masyarakat Dayak atas kebebasan menjaga hutan dan kearifan lokal.
Ketegasan pemerintah diperlukan. Kebijakan pembangunan berbasis patron-klien tidak mensejahterakan masyarakat secara substansial. Urgensi pengawasan dan regulasi kian besar dengan tujuan menghapuskan ruang untuk ekspansi lahan industri oleh korporasi besar. Ruang partisipasi juga perlu disediakan sehingga masyarakat Dayak menjadi prioritas dalam penentuan kebijakan dan pembangunan di tanah mereka sendiri. Pembiaran sistem birokrasi yang koruptif adalah ibarat “bagai api dalam sekam”, yang berarti sewaktu-waktu dapat meledak dan berdampak buruk bagi kemajuan Indonesia.
Foto oleh Ainun Jamila
Editor: Muhammad Rafly Fadhly Putra
Referensi
↵1 | Butler, R. (2008). Borneo: Profil Lingkungan. World.mongabay.com. https://world.mongabay.com/indonesian/borneo.html |
---|---|
↵2, ↵4, ↵5 | Ramsay, D. (2018, February 7). Mempelajari penyebab deforestasi di Kalimantan. CIFOR Forests News. https://forestsnews.cifor.org/44242/mempelajari-penyebab-deforestasi-di-kalimantan?fnl=en |
↵3 | Kusnandar, V. (2023). Ini Luas Tutupan Hutan Indonesia, dari Sumatera sampai Papua. Databoks.katadata.co.id. https://databoks.katadata.co.id/infografik/2023/01/16/ini-luas-tutupan-hutan-indonesia-dari-sumatra-sampai-papua. |
↵6 | Wicaksono, A., Meidiana, C., & Wardhana, A. (2023). Tingkat Kerentanan Masyarakat Adat Suku Dayak Meratus Terhadap Dampak Perubahan Iklim. Planning for Urban Region and Environment, 12(3), 261-270. |
↵7 | Widjono, Roedy Haryo. (1998). Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok. PT Grasindo. |
↵8 | Rahmawati, H. (2015). Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Benuaq Dalam Pemanfaatan Lahan dan Pemeliharaan Lingkungan. Jurnal Penelitian Humaniora. 20(2). 106-113. |
↵9 | Aran, R., & Lestari, P. (2016). Peran Hukum Adat Suku Dayak Kenyah Leppo’ Ke Terhadap Kelestarian Lingkungan Alam dan Kebudayaan di Desa Apau Ping. |
↵10 | Mulyani, S. (2022). Petkuq Mehuey: Kearifan Lokal dengan Kesetaraan Gender dalam Menjaga Hutan Adat Suku Dayak Wehea-Kutai Timur, Kalimantan Timur. Jurnal Sosial-Politika. 3(2). 82-90. |
↵11 | Basundoro, Alfin & Jaknanihan, Arrizal. (2019) Hambatan Implementasi Keamanan Lingkungan Bagi Masyarakat Adat: Analisis Penyebab Pencemaran Lingkungan dan Ekspansi Lahan Industri Kelapa Sawit Terhadap Masyarakat Dayak |
Discussion about this post