Divisi Penelitian Badan Otonom Economica FEB UI
Divisi Penelitian KANOPI FEB UI
Biro Penerbitan dan Informasi KANOPI FEB UI
Pendahuluan
Kesejahteraan penduduk adalah cita-cita yang berusaha dicapai oleh semua bangsa dalam menyelenggarakan pembangunan. Hal tersebut sulit terpenuhi bila ada ketidakstabilan dalam berbagai aspek kenegaraan, termasuk ketahanan pangan. Ketahanan pangan merupakan aspek penting yang harus dipenuhi oleh pemerintah dalam rangka menjaga keseimbangan dan keberlangsungan hidup masyarakat. Hal ini sejalan dengan isi dari International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights yang dikeluarkan oleh PBB pada tahun 1996. Berdasarkan Undang-Undang No.18 Tahun 2012 tentang pangan, konsep ketahanan pangan mengacu pada tiga aspek yaitu ketersediaan, konsumsi, dan keterjangkauan harga pangan.
Aspek-aspek dalam konsep ketahanan pangan memunculkan berbagai permasalahan yang harus dihadapi Indonesia dalam mewujudkan ketahanan pangan. Permasalahan pertama yaitu dari ketersediaan pangan. Berdasarkan data Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Badan Ketahanan Pangan, tingkat pertumbuhan rata-rata produksi pangan baik nabati maupun hewani mengalami penurunan yaitu dari 7.78% (2015-2016) menjadi 3.51% (2016-2017). Penurunan tersebut ternyata juga diikuti dengan penurunan pertumbuhan ketersediaan pangan yaitu dari 4.15% (2015-2016) menjadi -1.83% (2016-2017). Berdasarkan data tersebut, Indonesia mengalami permasalahan yaitu tingkat pertumbuhan produksi pangan dan pertumbuhan ketersediaan pangan yang menurun dari tahun ke tahun. Bahkan, pertumbuhan pada tahun 2017 justru menyentuh angka negatif yang menunjukkan penurunan stok pangan. Fenomena ini terjadi karena masih banyak komoditas pangan yang bersifat musiman dan terpengaruh letak geografis sehingga berdampak negatif pada stok pangan.
Perkembangan Konsumsi Penduduk Terhadap Bahan Pangan Tahun 2013-2017
Sumber:Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan – BKP
Konsumsi pangan yang dilakukan masyarakat Indonesia juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini dapat terlihat dari 14 jenis komoditas pangan utama yang mengalami peningkatan konsumsi per kilogram per kapita per tahun. Hal ini tentunya menjadi masalah karena terjadi peningkatan konsumsi disaat pertumbuhan produksi dan stok nasional justru menurun.
Selain itu, pengendalian harga pangan turut menjadi salah satu permasalahan dalam menjaga ketahanan pangan. Pertumbuhan stok pangan dari tahun ke tahun serta adanya distribusi pangan yang belum optimal menjadikan harga pangan seringkali meningkat. Berdasarkan Survei Pola Distribusi 2017 yang dilakukan BPS, cabai menjadi komoditas dengan nilai perolehan margin perdagangan dan pengangkutan (MPP) terbesar dan lebih tinggi 26.12% dibandingkan beras. Tingginya nilai margin tersebut menunjukkan bahwa rantai distribusi yang panjang menyebabkan harga menjadi mahal di pasar. Tingkat inflasi pada bahan-bahan pangan di Oktober 2018 (y-o-y) bahkan mencapai 1.69%, andil terbesar (0.04%) dari tingkat inflasi umum di bulan Oktober 2018 (0.28%).
Peningkatan harga pangan akan berdampak pada kesejahteraan penduduk khususnya golongan berpendapatan rendah. Terlihat dari tabel, golongan berpendapatan rendah memiliki proporsi pengeluaran terhadap makanan yang lebih tinggi ketimbang golongan berpendapatan tinggi. Bila proporsi pengeluaran terhadap makanan tersebut diakumulasikan maka komoditas makanan masih menjadi kebutuhan paling penting dengan kontribusi sebesar 50.94%.
Impor pangan menjadi salah satu jalan yang seringkali diambil pemerintah untuk mengatasi kebutuhan nasional yang besar. Selain itu, impor pangan juga dilakukan guna menjaga stabilitas harga agar kelompok berpendapatan rendah dapat membeli bahan makanan dengan harga terjangkau. Hal ini tercermin dari kenaikan nilai impor salah satu komoditas pangan yang memiliki proporsi konsumsi terbesar di Indonesia yaitu beras. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, impor beras Indonesia tahun 2018 mencapai 2.016.072.592 kilogram (sekitar 2 juta ton) dengan nilai CIF (Cost, Insurance, and Flight)/biaya angkut pembelian impor sebesar US$939.966.944. Nilai impor dan CIF tersebut mengalami pertumbuhan dibandingkan tahun 2017 yang hanya sebesar 305.274.646 ton dan CIF sebesar US$143.641.724. Besarnya nilai impor mendorong pemerintah untuk memikirkan kembali kebijakan impor. Besarnya anggaran yang dikeluarkan guna mengimpor pangan bisa saja digunakan untuk keperluan sektor lainnya.
Di sisi lain, penanganan stok nasional di Bulog juga mengalami gangguan di tahun 2018. Gangguan tersebut disebabkan oleh kegagalan produksi, biaya lahan yang mahal, diikuti penurunan produktivitas lahan, dan semakin tingginya biaya tenaga kerja. Pada triwulan IV 2018, Indonesia juga mengalami defisit sekitar 4,5-4,7 juta ton. Hal ini akhirnya menyebabkan Bulog harus menurunkan stoknya maksimal hingga 1,5 juta ton dan stok untuk masyarakat maksimal 3 juta ton. Hal tersebut menyebabkan tidak adanya kepastian akan ketersediaan pangan nasional bila pemerintah berhenti mengimpor.
Berbagai masalah yang terjadi sepanjang tahun 2018 menjadi dilema bagi pemerintah tidak terkecuali antar lembaga pemerintah. Kementerian Perdagangan melihat bahwa Indonesia perlu untuk mengimpor beras guna menjaga stabilitas harga pangan di pasar domestik dan didukung oleh data yang dihimpun bahwa stok nasional belum tercukupi. Sebaliknya, berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Pertanian, stok nasional justru telah mencukupi bahkan surplus 2,85 juta ton sehingga kebijakan impor tidak diperlukan lagi. Perbedaan data antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian menjadi permasalahan tersendiri dalam memutuskan kebijakan yang tepat.
Berangkat dari permasalahan diatas, kami dari Divisi Penelitian Kanopi FEB UI dan Badan Otonom Economica FEB UI melakukan Collaborative Research melalui pendekatan analisis kuantitatif deskriptif dan metode Analytical Hierarchical Process (AHP) dengan responden dari kalangan Dosen FEB UI, Asisten Dosen, dan Mahasiswa FEB UI dengan berbagai jurusan. Penelitian kami bertujuan untuk melihat opini masyarakat (khususnya Civitas Akademika FEB UI yang sering mendapatkan informasi ekonomi) terkait pro dan kontra terhadap kebijakan impor pangan. Selain itu, penelitian ini menguji urgensi pemerintah dalam mengimpor pangan dengan alternatif kebijakan lain. Kemudian, melalui metode Analytical Hierarchical Process (AHP) tersebut, pemerintah juga dapat meninjau prioritas keputusan apa yang harus dipilih untuk melakukan impor atau tidak impor dengan memperhatikan aspek cost-benefit analysis.
Metode Penelitian
Metode Analytical Hierarchical Process (AHP)
Analytical Hierarchical Process (AHP) merupakan teknik pengambilan keputusan dengan melakukan kuantifikasi prioritas relatif dari masing-masing kriteria. Dari masing-masing kriteria akan dibandingkan seberapa penting salah satu kriteria terhadap pencapaian tujuan (Saaty, 1986). Metode AHP digunakan dalam penelitian ini untuk memilih keputusan mana yang memiliki lebih banyak manfaat dari dua keputusan yaitu antara impor dan tidak impor. Terdapat empat manfaat dan empat biaya sebagai delapan kriteria utama yang digunakan untuk menilai yaitu mengurangi biaya produksi, menyediakan produk berkualitas tinggi, menjaga stabilitas harga pangan, diferensiasi produk, mempertahankan daya saing produsen lokal, meningkatkan kemandirian pangan, memperbaiki neraca pembayaran, dan mengurangi peluang kecurangan dari pihak tertentu. Tujuan dari AHP ialah memilih salah satu dari dua keputusan dengan memperhitungkan keputusan mana yang menghasilkan paling banyak manfaat. Dari kriteria tersebut masing-masing dibagi menjadi 2 subcriteria yaitu impor dan tidak impor.
Langkah-langkah metode AHP (Saaty, 1986) :
- Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan.
- Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, menetapkan kriteria dalam membuat keputusan, dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah.
- Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya.
- Melakukan perbandingan berdasarkan prioritas dari subjektivitas responden dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya. Lakukan hal ini untuk setiap elemen. Kemudian tambahkan nilai yang telah diberi pembobotan untuk masing-masing elemen dan dapatkan prioritas keseluruhan. Lanjutkan proses pembobotan dan penambahan ini hingga prioritas akhir dari alternatif di tingkat paling bawah diperoleh.
Hierarchical Structure dari Kriteria Keputusan untuk Impor atau Tidak Impor
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengisian kuesioner yang dilakukan dengan metode:
- Face-to-face structured interview (wawancara langsung terstruktur) yang dilakukan oleh para enumerator. Kuesioner berisi beberapa kriteria yang merupakan manfaat dari pengambilan keputusan (impor atau tidak impor). Responden diminta untuk melakukan perbandingan prioritas antara masing-masing kriteria dalam skala satu sampai sembilan.
Responden : Mahasiswa dan dosen
Pemilihan responden : Metode Purpose Sampling, yaitu penentuan sampel berdasarkan pertimbangan subjektif peneliti yang berkaitan dengan tujuan penelitian (Soepeno, 1997)
- Online Questionnaires (kuesioner secara online) yang ditujukan kepada mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Kuesioner berisi beberapa pertanyaan mengenai pandangan mahasiswa terhadap impor makanan. Responden juga diminta menjabarkan mengenai manfaat dan biaya dari melakukan impor.
Hasil Penelitian Deskriptif
Dalam penelitian deskriptif ini, responden terdiri dari 50 orang mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) yang terdiri dari 26 laki-laki dan 24 perempuan, tersebar berbagai angkatan (16% angkatan 2015, 26% angkatan 2016, 28% angkatan 2017 , dan 30% angkatan 2018), serta berbagai jurusan di FEB UI (20% Ilmu ekonomi, 24% akuntansi, 24% manajemen, 16% ilmu ekonomi islam, dan 16% bisnis islam), serta berbagai lapisan umur (4% 17 tahun, 30% 18 tahun, 16% 19 tahun, 24% 20 tahun, 20% 21 tahun, 4% 22 tahun, dan 1 % 24 tahun).
Polemik mengenai impor pangan sejak awal 2018 sudah menjadi isu yang banyak menimbulkan pro dan kontra. Impor pangan dibutuhkan untuk stabilisasi harga di saat terjadi kelangkaan domestik akan tetapi kesejahteraan petani dapat terganggu akibat adanya impor pangan tersebut. 74% responden menyatakan bahwa mereka setuju pemerintah melakukan impor pangan dan 26% yang lain tidak setuju pemerintah melakukan impor pangan. Terlepas dari setuju atau tidaknya responden mengenai impor pangan, hanya 8% responden yang menyatakan bahwa impor pangan saat ini sangat penting, sedangkan 52% responden menyatakan bahwa impor pangan penting, dan 40% responden yang lain menyatakan impor pangan tidak penting. Jadi, lebih dari 50% responden menganggap bahwa impor pangan merupakan hal yang penting untuk dilakukan oleh pemerintah.
Urgensi untuk melakukan impor pangan memang perlu didasari beberapa alasan. Berdasarkan hasil penelitian, separuh dari total responden mendukung bahwa impor pangan dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Alasan kedua yaitu 22% responden menyatakan impor pangan ditujukan dapat menstabilkan harga pangan. Selain itu, sebanyak 14% responden menyatakan bahwa kebijakan impor pangan dapat meningkatkan daya saing dalam negeri sehingga meningkatkan kualitas produk pangan di Indonesia. Kebijakan impor pangan juga dapat menurunkan biaya produksi pangan dengan jumlah responden yang sama dengan alasan sebelumnya.
Disisi lain, keputusan untuk mengimpor bahan pangan juga menimbulkan beberapa opportunity cost. Dari hasil penelitian ini, sebanyak 42% dari total responden menyatakan bahwa pengembangan produk lokal akan terhambat seiring dilakukannya impor pangan. Kesejahteraan petani lokal juga dirugikan akibat impor pangan yaitu sebesar 38% responden. Terakhir, sebanyak 20% responden mengatakan beban impor pangan berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan teori makro ekonomi yaitu impor yang meningkat akan mengurangi pendapatan nasional suatu negara.
Selain itu, responden dihadapkan dengan dua hal yang menimbulkan trade-off dan diminta untuk memilih mana yang harus difokuskan terlebih dahulu antara berpartisipasi dalam Global Value Chain (melalui penguatan sektor ekspor andalan) atau optimalisasi impor-competing industry sector dalam memenuhi permintaan pasar domestik. Survei menunjukkan bahwa 70% responden mendukung Indonesia untuk ikut-serta dalam Global Value Chain dengan alasan pangsa pasar internasional memiliki potensi ekspor lebih tinggi sehingga dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Indonesia juga dapat mengambil keuntungan dari keikutsertaannya dalam Global Value Chain khususnya pada bidang pangan yaitu transfer teknologi dalam pengolahan produk pangan atau penemuan bibit unggul yang berkualitas. Sedangkan 30% responden sisanya memilih untuk meningkatkan daya saing industri pangan khususnya industri yang sering melakukan impor (import-competing industry sector). Hal tersebut dikarenakan produk pangan Indonesia masih kalah saing dengan negara lain sehingga dapat dikatakan Indonesia masih belum mampu dalam memenuhi kebutuhan pangan sendiri. Ditambah lagi pula, banyak masalah internal di bidang pangan yang kian harus diperbaiki di Indonesia mulai dari sistem birokrasi dan pembuatan kebijakan yang pro terhadap masyarakat yang sekaligus juga pro terhadap perusahaan pangan.
Setengah dari responden mengatakan bahwa penguatan produksi domestik penting dan harus diprioritaskan. Setengah responden lagi berpendapat bahwa hal tersebut cukup penting namun masih bisa ditunda untuk fokus kepada sektor ekonomi lainnya, seperti sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Oleh karena itu, tidak dapat dilakukan penarikan kesimpulan yang jelas mengenai urgensi dari penguatan produksi domestik.
Kebijakan pada sektor pangan dinilai penting dan harus diprioritaskan karena bahan pangan adalah kebutuhan pokok manusia sehingga menyangkut hidup orang banyak. Ditambah lagi, kebijakan impor pangan yang berlebihan perlu dinormalisasikan agar meningkatkan kemandirian pangan Indonesia atau tidak dikuasai sektor asing. Penguatan domestik di bidang pangan juga diperlukan untuk meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri sehingga dapat mengurangi ketergantungan untuk melakukan impor. Di sisi pendapat lain, sektor non-pangan seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan juga harus diperhatikan terlebih dahulu karena sektor ekonomi tersebut masih membutuhkan perhatian yang besar khususnya dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dengan demikian, peran pemerintah dalam memegang kestabilan antar sektor ekonomi cukuplah besar sehingga kerja sama yang sinergis dan konstruktif antara masyarakat, sektor swasta, dan pemerintah itu sendiri mutlak diperlukan.
Hasil Penelitian AHP
Pada penelitian ini, kami mewawancarai 13 responden dari latar belakang yang berbeda, yaitu mahasiswa, dosen, dan asisten dosen dari FEB UI. Sebanyak 7 responden merupakan mahasiswa dari angkatan 2016 hingga 2018 dengan jurusan ilmu ekonomi dan manajemen. Sedangkan, 4 responden berasal dari kalangan dosen yang mengampu mata kuliah seperti ekonomi internasional, ekonomi kemiskinan, makro ekonomi 2, dan ekonomi pembangunan.
Pro Tidak Impor | Netral | Pro Impor | ||||||||
Responden | Keputusan | Responden | Keputusan | Responden | Keputusan | |||||
Impor | Tidak Impor | Impor | Tidak Impor | Impor | Tidak Impor | |||||
1 | 24.956% | 75.04% | 1 | 49.026% | 50.974% | 1 | 60.142% | 39.858% | ||
2 | 10% | 90% | 2 | 49.87% | 50.13% | 2 | 68.572% | 31.428% | ||
3 | 36.021% | 63.979% | 3 | 47.279% | 52.721% | 3 | 88.274% | 11.726% | ||
4 | 53.689% | 46.311% | 4 | 81.35% | 18.65% | |||||
5 | 76.22% | 23.78% | ||||||||
6 | 63.327% | 36.673% |
Tabel 1. Klasifikasi responden pro tidak impor, netral, dan pro impor
Responden diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu responden dengan persentase kecenderungan impor yang tinggi, netral, dan rendah. Sebanyak enam responden tergabung dalam kelompok pro impor, dengan persentase kecenderungan impor 88,274; 81,35; 76,22; 68,572; 63,327, dan 60,142. Pada kelompok netral, sebanyak empat responden cenderung hampir memiliki perbandingan keputusan impor dan tidak impor sebesar 1:1. Keputusan impor pada responden kelompok netral memiliki persentase sebesar 52,721; 50,974; 50,13; dan 46,311. Sedangkan, responden dari kelompok pro tidak impor memiliki kecenderungan persentase tidak impor lebih besar dari 50 persen, yaitu 90; 75,04; dan 63,979.
Grafik 1. Rata-rata keputusan impor atau tidak impor
Dari grafik 1 diperoleh rata-rata keputusan untuk melakukan impor adalah 45,483 persen dan tidak melakukan impor sebesar 54,517 persen. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa rata-rata keputusan impor lebih besar dibandingkan keputusan tidak impor meskipun perbedaan rata-rata tidak terlalu besar, yaitu sekitar 9,034 persen.
Selanjutnya, untuk mengetahui sensitivitas satu kriteria terhadap keseluruhan kriteria lainnya, kami menggunakan satu sampel dari setiap kelompok dari keputusan pro impor dan tidak impor. Analisis sensitivitas ini digunakan untuk mengetahui perubahan keputusan yang terjadi jika terdapat perubahan proporsi sebuah kriteria dalam menentukan tujuan utama. Misalnya, peneliti ingin menganalisis bagaimana keputusan impor atau tidak impor akan berubah seiring dengan peningkatan bobot kepentingan untuk kriteria diferensiasi produk. Dalam penelitian ini akan dibahas analisis sensitivitas dari empat prioritas teratas dari setiap sampel responden. Untuk merepresentasikan keputusan pro impor, digunakan sampel dengan persentase keputusan impor 60,142 persen dan tidak impor 39,858 persen dengan inconsistency sebesar 0,17479.
Grafik 2. Sensitivitas kriteria mempertahankan daya saing produsen lokal dari sampel pro impor
Pada kriteria mempertahankan daya saing produsen lokal, prioritas untuk melakukan impor semakin besar ketika kriteria ini dibandingkan dengan kriteria lainnya. Jika bobot mempertahankan daya saing produsen lokal mencapai 50%, kecenderungan responden melakukan impor sebesar 0,675 dan tidak impor sebesar 0,325. Grafik juga menunjukkan bahwa semakin penting kriteria mempertahankan daya saing produsen lokal, produsen cenderung memilih keputusan impor.
Grafik 3. Sensitivitas kriteria mengurangi biaya produksi dari sampel pro impor
Pada grafik tersebut ditunjukkan bahwa pada awalnya ketika kriteria mengurangi biaya produksi dibandingkan dengan kriteria lain, responden cenderung memilih keputusan tidak impor. Namun jika bobot mengurangi biaya produksi mencapai 20% dari seluruh kriteria, terjadi perpotongan antara garis impor dan tidak impor. Jika bobot mengurangi biaya produksi lebih dari 20% dari seluruh kriteria, responden cenderung memilih impor. Rata-rata kecenderungan responden memilih impor sebesar 0.541 dan tidak impor sebesar 0,459. Oleh karena itu, semakin penting kriteria mengurangi biaya produksi bagi responden, keputusan yang dipilih cenderung melakukan impor.
Grafik 4. Sensitivitas kriteria menjaga stabilitas harga pangan dari sampel pro impor
Pada grafik tersebut terjadi perpotongan antara prioritas melakukan impor dan tidak impor. Responden cenderung memprioritaskan tidak impor ketika kriteria menjaga stabilitas dibandingkan dengan kriteria lain. Jika bobot menjaga stabilitas harga pangan mencapai 50% dari seluruh kriteria, sensitivitas untuk melakukan impor sebesar 0,477 dan tidak impor sebesar 0,523. Namun, jika bobot menjaga stabilitas harga pangan mencapai lebih dari 56%, prioritas responden untuk melakukan impor meningkat melebihi prioritas tidak impor. Oleh karenanya, semakin penting kriteria menjaga stabilitas harga pangan, responden akan cenderung memilih impor.
Grafik 5. Sensitivitas kriteria menyediakan produk berkualitas tinggi dari sampel pro impor
Pada awalnya ketika kriteria menyediakan produk berkualitas tinggi dibandingkan dengan kriteria lain, responden lebih memprioritaskan tidak impor. Tetapi, setelah bobot menyediakan produk berkualitas tinggi mencapai lebih dari 30%, terjadi perpotongan garis sensitivitas sehingga responden lebih memprioritaskan impor. Jika bobot menyediakan produk berkualitas tinggi mencapai 50%, responden cenderung memprioritaskan impor dengan kecenderungan mencapai 0,535. Sedangkan, kecenderungan rata-rata untuk tidak impor adalah 0,465. Jadi, semakin penting kriteria menyediakan produk berkualitas tinggi bagi responden, keputusan yang diambil cenderung memilih impor.
Selanjutnya, sebagai representasi kelompok dengan keputusan tidak impor, digunakan sampel yang memiliki kecenderungan tidak impor sebesar 90 persen dan kecenderungan impor sebesar 10 persen dengan inconsistency sebesar 0.35993. Selanjutnya, analisis sensitivitas satu kriteria terhadap seluruh kriteria lainnya dijelaskan sebagai berikut.
Grafik 6. Sensitivitas kriteria memperbaiki neraca pembayaran dari sampel pro tidak impor
Jika bobot memperbaiki neraca pembayaran mencapai 50%, responden memiliki kecenderungan pada keputusan tidak impor sebesar 0,848 dan keputusan impor hanya sebesar 0,152. Sehingga, jika responden menganggap kriteria memperbaiki neraca pembayaran semakin penting dibandingkan dengan kriteria lainnya, keputusan yang dipilih cenderung tidak impor.
Grafik 7. Sensitivitas kriteria mengurangi biaya produksi dari sampel pro tidak impor
Selanjutnya, pada kriteria mengurangi biaya produksi, responden cenderung memilih tidak impor dengan kecenderungan sebesar 0,875. Hal ini menunjukkan bahwa pada kriteria mengurangi biaya produksi ketika dibandingkan dengan kriteria lainnya, keputusan yang diambil responden adalah tidak impor di semua tingkat bobot atau kepentingan. Namun, grafik menunjukkan bahwa semakin penting kriteria mengurangi biaya produksi maka kecenderungan untuk tidak impor akan semakin menurun. Hal ini ditunjukkan dengan grafik sensitivitas tidak impor yang menurun dan grafik sensitivitas impor yang semakin naik seiring dengan peningkatan bobot mengurangi biaya produksi
Grafik 8. Sensitivitas kriteria mengurangi peluang kecurangan dari pihak tertentu dari sampel pro tidak impor
Sama seperti kriteria sebelumnya, ketika kriteria mengurangi peluang kecurangan dari pihak tertentu dibandingkan dengan kriteria lainnya, responden cenderung memilih keputusan tidak impor di semua tingkat bobot atau kepentingan. Pada bobot rata-rata, kecenderungan untuk tidak impor mencapai 0,731 dan keputusan impor hanya sebesar 0,269. Grafik juga menunjukkan bahwa semakin penting kriteria mengurangi peluang kecurangan dari pihak tertentu maka kecenderungan tidak impor akan menurun sedangkan kecenderungan impor akan naik. Oleh karena itu, semakin penting kriteria mengurangi peluang kecurangan dari pihak tertentu bagi responden, kecenderungan untuk tidak impor akan semakin menurun walaupun akan tetap lebih besar dari kecenderungan impor.
Grafik 9. Sensitivitas kriteria meningkatkan kemandirian pangan dari sampel pro tidak impor
Pada grafik tersebut ditunjukkan bahwa ketika kriteria meningkatkan kemandirian pangan dibandingkan dengan kriteria lainnya, keputusan responden cenderung memilih tidak impor. Pada tingkat bobot rata-rata, kecenderungan responden memilih tidak impor mencapai 0,802 dan impor hanya sebesar 0,198. Grafik menunjukkan bahwa semakin penting kriteria meningkatkan kemandirian pangan bagi responden, keputusan yang diambil cenderung pada tidak impor di semua tingkat bobot atau kepentingan. Namun, semakin penting kriteria meningkatkan kemandirian pangan maka kecenderungan untuk tidak impor akan semakin menurun walaupun masih lebih tinggi dari kecenderungan untuk impor.
Grafik 10. Prioritas pemilihan kriteria sampel responden pro impor
Grafik di atas menunjukkan prioritas kriteria sampel responden pro impor. Responden cenderung memprioritaskan benefit dari impor yaitu menjaga stabilitas harga pangan sebesar 31%, mempertahankan daya saing produsen 18% (cost), menyediakan produk berkualitas tinggi 17%, dan mengurangi biaya produksi sebesar 15%. Sedangkan, kriteria cost yaitu untuk memperbaiki neraca pembayaran memiliki prioritas yang paling rendah yaitu 2%.
Grafik 11. Prioritas pemilihan kriteria sampel responden pro impor
Sedangkan, responden yang memilih tidak impor cenderung memprioritaskan cost dari impor, yaitu adanya peluang kecurangan dari pihak tertentu sebesar 42%, meningkatkan kemandirian pangan sebesar 24%, memperbaiki neraca pembayaran 13%, mengurangi biaya produksi 6% (benefit), dan mempertahankan daya saing produsen lokal 6%. Kriteria benefit berupa diferensiasi produk memiliki persentase yang paling rendah yaitu sebesar 2%.
Kesimpulan
Hasil penelitian yang kami lakukan terhadap mahasiswa dan dosen FEB UI menunjukkan bahwa impor pangan perlu dilakukan pemerintah. Hasil penelitian melalui metode AHP ditemukan bahwa 9 dari 13 responden memprioritaskan keputusan impor pangan. Hal ini ditunjukkan pada persentase kecenderungan impor mereka lebih dari 50 persen. Analisis sensitivitas pada responden pro impor menunjukkan bahwa semakin penting kriteria bagi responden, keputusan yang diambil cenderung pada impor. Responden yang memilih keputusan impor juga cenderung memprioritaskan kriteria berupa benefit dari impor, seperti menjaga stabilitas harga pangan. Penemuan ini juga didukung oleh hasil penelitian deskriptif yang kami lakukan, yaitu 74 responden menyatakan bahwa mereka setuju pemerintah melakukan impor pangan. Terlepas dari mereka setuju atau tidak akan impor, 52 persen responden mengungkapkan bahwa impor penting. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa alasan impor pangan penting dilakukan karena untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan menstabilkan harga pangan itu sendiri. Dengan demikian, dari kedua metode penelitian diperoleh hasil yang sama bahwa responden setuju akan kebijakan pemerintah untuk melakukan impor pangan.
Melihat berbagai masalah dari ketiga aspek penyusun konsep ketahanan pangan, dapat terlihat jelas adanya masalah besar yang akan dihadapi Indonesia di masa depan. Pemerintah perlu untuk melakukan langkah tepat guna menjamin ketahanan pangan. Impor menjadi salah satu solusi yang ditawarkan atas masalah tersebut. Selain itu, impor diharapkan dapat menekan biaya produksi dan memicu terjadinya alih teknologi guna meningkatkan produksi pangan domestik. Namun, impor juga dapat membawa efek negatif berupa hancurnya pasar pangan domestik oleh harga pangan impor yang terlalu murah dan memunculkan kesan rendahnya tingkat independensi bangsa.
Jika pemerintah Indonesia memilih untuk melakukan kebijakan impor, pemerintah seyogyanya memfokuskan diri sebagai regulator guna memastikan keadilan dan transparansi dalam proses impor tersebut. Bulog tidak dapat menentukan waktu impor berdasarkan kebutuhan dan kondisi pasar dikarenakan badan tersebut harus mempertimbangkan proses birokrasi dan pertimbangan politis pemerintah. Akibatnya, Bulog menghabiskan lebih banyak dana untuk impor beras daripada yang seharusnya, sehingga memboroskan anggaran hingga Rp 303 milyar (22,78 juta dolar Amerika Serikat [AS]) antara tahun 2010 hingga 2017. Oleh karena itu, importasi dan distribusi beras sebaiknya dibuka sebagai peluang usaha bagi perusahaan-perusahaan swasta yang memenuhi syarat. Hal ini penting mengingat rantai distribusi beras impor lebih pendek dibandingkan beras lokal, sehingga beras impor dapat dengan cepat memenuhi kebutuhan para konsumen.
Sedangkan apabila pemerintah memilih penguatan domestik melalui kebijakan non-impor, pemerintah perlu memastikan lagi kesiapan dan kecukupan produksi dalam negeri untuk menjamin ketahanan pangan. Produktivitas padi di Indonesia yang masih rendah menyediakan ruang bagi pemerintah untuk meningkatkan lagi produksi padi di Indonesia. Peningkatan produktivitas dapat dicapai dengan mengadopsi teknologi baru dan atau meningkatkan tingkat efisiensi dari produksi dari padi. Apabila produksi dengan teknologi yang sudah ada masih inefisiensi, meningkatkan efisiensi menjadi tujuan kebijakan tepat setidaknya dalam jangka pendek (Mariyono, 2014). Berdasarkan penelitian Joko Mariyono (2014), peningkatan efisiensi dapat dicapai melalui pelatihan pertanian sehingga petani akan mampu berproduksi secara efisien. Kesiapan dan kecukupan produksi dalam negeri juga harus dipastikan melalui data akurat mengenai ketersediaan dan produksi beras di Indonesia. Hal ini ditujukan untuk memudahkan pemerintah dalam mengontrol produksi beras yang harus dicapai untuk memenuhi kebutuhan domestik dan menjaga pergerakan harga pangan.
REFERENSI
Badan Pusat Statistik. (2018). Analisis Isu Terkini 2018. No. Publikasi: 07310.1805 Katalog: 9101009 ISBN: 978-602-438-241-4.
Badan Pusat Statistik. (2018). Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi November 2018. Nomor Katalog : 9199017, Nomor Publikasi : 03220.1817, ISSN / ISBN : 2087-930X
Badan Pusat Statistik. (2018). Statistik Indonesia 2018. Nomor Katalog : 1101001
Nomor Publikasi : 03220.181
Kementerian Pertanian. (2017). Statistik Ketahanan Pangan 2017. Diakses pada http://bkp.pertanian.go.id/storage/app/media/Evalap/Statistik%20BKP%202017.pdf, 1 Desember 2018
Mariyono, Joko. (2014). The economic performance of indonesian rice-based agribusiness. Bisnis & Birokrasi Journal, 21(1), 35-43.
Mariyono, Joko. (2014). Rice production in Indonesia: policy and performance. Asia Pacific Journal of Public Administration, 36:2, 123-134, DOI: 10.1080/23276665.2014.911489
Saaty, T. L. (2008). Decision making with the analytic hierarchy process. International journal of services sciences, 1(1), 83-98.
Soepeno, B. (1997). Statistik Terapan dalam Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Rineka.
Respatiadi, Hizkia dan Hana Nabila. (2017). Reformasi Kebijakan Beras: Menghapuskan Pembatasan Perdagangan Beras di Indonesia. Center for Indonesian Policy Studies (CIPS). https://docs.wixstatic.com/ugd/c95e5d_cc33bc7c078249fbbd51e466ba11fe45.pdf, Diakses pada 1 Desember 2018.
Discussion about this post