Terpilih sebagai Dekan FE UI untuk periode 2013 – 2017 ternyata tidak membuat Prof. Ari Kuncoro tinggi hati. Dengan amanah yang diembannya saat ini, Ari justru tertantang untuk membawa kampus FE UI menjadi world class research faculty of economics dan go internasional. Berbekal kariernya dalam akademis dan penelitian yang semakin terasah, Ari terus mendorong koleganya di fakultas untuk meng-update ilmu dan produktif dalam menghasilkan buah pemikiran. Menurutnya, semakin banyak tulisan-tulisan yang dijadikan referensi, maka semakin banyak dampak yang diberikan oleh universitas tersebut kepada masyarakat.
Di sela-sela istirahatnya, Tim Economica menemui Prof. Ari Kuncoro di kantor Dekanat FE UI untuk berbagi kisah dan pengalamannya kepada kami. Berikut hasil wawancara kami dengan Prof. Ari.
Mengapa Anda memilih jurusan Ilmu Ekonomi?
Yang saya ketahui, penting untuk mengerti bagaimana cara untuk membuat semacam prioritas. Jadi begini, setiap orang memiliki banyak keinginan, tetapi dari keinginan tersebut, mereka tidak dapat merumuskan atau mengimplementasikannya. Itu terjadi karena mereka tidak tahu batasan dari diri mereka masing-masing. Mereka tidak mengetahui sumber daya mereka sebanyak apa. Nah, Ilmu ekonomiini adalah salah satu ilmu dimana prioritas menjadi hal penting, tentunya dengan mempertimbangkan kelangkaan sumber daya yang ada. Ini menarik menurut saya, karena merupakan salah satu rasionalitas yang sangat konkret. Jadi saya ingin belajar lebih lanjut mengenai cara berpikir rasional. Hal itulah yang ingin saya cari dengan kuliah di ilmu ekonomi.
Bagaimana kehidupan perkuliahan Anda dulu di FE UI dulu?
Waktu itu di tahun pertama dan kedua, mata kuliah masih campur dengan jurusan akuntansi dan manajemen. Maka pada tahun pertama dan kedua, masih belum terlihat polanya kita mau ke mana. Kalau akuntansi kan lebih praktis, kalau manajemen lebih ke perusahaan, sedangkan ilmu ekonomi lebih melihat pada masalah ekonomi pembangunan dan bagaimana meningkakan kesejahteraan masyarakat. Ketiga itu bercampur semuanya dalam mata kuliah pengantar. Baru kelihatan menarik itu waktu tahun ketiga,karena saya masuk ilmu ekonomi kan baru pada tahun ketiga. Saya pun menjadi semakin tertarik karena ternyata ilmu ekonomi sama seperti apa yang saya pikirkan ketika memilih FE. Sedangkan di tahun pertama dan kedua, apa yang saya cari ini masih belum ada. Hasilnya, setelah penjurusan ini, nilai saya menjadi semakin bagus.
Ketika kuliah dulu, saya juga aktif menjadi pemain bola, khususnya menjadi penjaga gawang. Saya juga aktif ikut silat, nama perguruannya Merpati Putih. Sempat jadi orang sakti lah waktu itu. Saya menganggap kegiatan itu sebagai refreshing. Tapi kansaya iyu orangnya kompetitif, jadi dimanapun saya berada, saya maunya menang, termasuk waktu main bola dan silat.
Saya juga pernah ikut kegiatan Pekan Industri Rakyat. Nah, saya lihat dari kegiatan-kegiatan ini, kita bisa belajar banyak tentang negosiasi, terutama dengan perusahaan sponsor. Jadi ketika kita kurang pendanaan, mau tidak mau kita harus mengajukan sponsor. Susahnya dalam mencari sponsor ituadalah dalam meyakinkan sponsor bahwa acara kita menguntungkan. Intinya kita harus menjelaskan kepada orang yang tidak tahu sama sekali tentang acara kita, sampai membuat mereka tertarik, dan akhirnya bersedia menjadi sponsor. Saya sih suka ketika proses negosiasi itu.
Apa saja nilai yang Anda dapat ketika kuliah di FE UI dulu?
Bahwa kita tidak perlu malu, bahwa kita harus mengaku belum unggul. Oleh karena itu, kita harus terus melakukan adaptasi. Jadi keluwesan dalam beradaptasi itulah yang saya peroleh. Tidak apa-apa orang lain unggul, itu sudah hal biasa, tetapi jangan sampai kita putus asa. Kita harus yakin bahwa kita bisa memperbaiki diri.
Apakah Anda masih menjalani hobi travelling Anda sampai sekarang?
Oh,masih itu. Jadi dulu waktu muda, saya lebih suka jalan-jalan ke luar negeri, semua benua sudah saya kunjungi. Tetapi kalau sekarang, saya lebih suka jalan-jalan di dalam negeri, di kota-kota kecil dan menengah di Indonesia, seperti Malang, Solo, dan lainnya. Saya lihat Indonesia ini memiliki keunikan, terutama dari kulinernya. Oleh karena itu, saya suka kalau ada tugas memberikan ceramah di kota-kota itu, karena sekaligus bisa jalan-jalan.
Apa pengalaman travelling Anda yang tidak terlupakan?
Mungkin saat saya di Rusia, musim dingin tahun 2006 di Saint Petersberg. Di sana suhunya sampai -34 derajat celcius. Sedangkan pada saat itu, kita tidak begitu siap dengan suhu dingin yang sedemikian rupa. Akibatnya kita tidak berani keluar dari bandara, karena kalau 3 menit berada di luar, telinga bisa rontok. Jadi waktu itu kita minta panitia untuk membawa bus mendekat, kemudian kita lari dari airport ke bus. Itulah yang menurut saya paling mengesankan. Di situ, saya baru tahu kalau hidup di luar negeri juga susah. Bagaimana tidak? Jalan-jalan di luar saja bisa mati, berbeda dengan kita. Kalau di Indonesia ya paling kalau hujan jadi kehujanan, enggak sampai mati seperti di luar negeri.
Bagaimana cerita awalnya Anda membangun karier?
Jadi setelah lulus, saya langsung masuk LPEM, karena waktu itu mereka memungkinkan para asisten untuk jalan-jalan keliling Indonesia dalam melakukan penelitian. Jadi saya jalan-jalan tuh di situ. Hobi saya untuk travelingpun pertama kali muncul ketika itu, saat melihat dari daerah-daerah baru dalam penelitian yang diselenggarakan LPEM ini.
Saya sendiri memutuskan untuk menjadi peneliti, karena kehidupannya yang tidak membosankan. Saya melihat teman-teman ada yang bekerja di kantoran segala macam, itu membosankan bagi saya, terlalu monoton. Lagipula gaji sebagai peneliti juga lumayan, tergantung dari apa yang kita teliti. Jika kita bisa membuat proposal dengan baik, dan dapat mencapai publikasi yang baik, orang-orang yang akan mencari kita. Jadi kalau saya diminta untuk memilih antara pekerjaanyang gajinyalebih tinggi tetapi monoton, dengan pekerjaan yang gaji awalnya tidak begitu tinggi tetapi tidak monoton, saya pilih yang tidak monoton. Pada akhirnya, saya juga bisa mendapatkan gaji yang lumayan tinggi.Lagipulan kan gaji tinggi itu tidak harus yang salary. Justru saya lihat peneliti itu sama seperti wiraswasta. Kalau wiraswasta bisa membuat produk yang baik, bisa memasarkan dengan baik, bisa meyakinkan orang, maka mereka bisa sukses. Bedanya, kalau wiraswasta menjual produk atau jasa, peneliti menghasilkan penelitian. Hidup sebagai peneliti juga semakin bervariasi, ada jalan-jalan, kesempatan travel ke negara-negara yang belum pernah dikunjungi, presentasi, dan sebagainya. Pokoknya sangat bervariasi.
Menurut Anda, bagaimana kondisi penelitian di Indonesia?
Nah, kalau di Indonesia, dana untuk melakukan research ini tidak banyak. Jadi kalau orang yang agresif sih memangbisa, tetapi kan tidak semua orang agresif. Akibatnya karena dana penelitian itu tidak ada, insentif dari segi salary juga kurang. Maka penelitian di Indonesia pun tertinggal dengan Malaysia dan Thailand. Dari segi akademis, kita juga tertinggal, misal dari ukuran jurnal yang terpublikasi di situs jurnal internasional, kita kalah. Ini karena struktur gaji atau struktur pendapatan universitas tidak dirancang untuk mendorong orang melakukan penelitian.Kalau mereka bilang kampus ini research university, menurut saya ini masih teaching university. Padahal buat saya, penelitian itu begitu penting. Anggaplah kita sedang mendirikan jembatan. Maka kita harus tahu bagaimana arus sungainya, pasirnya ini tanah liat atau segala macam, anginnya kuat atau tidak. Dengan begitu,kita bisa memperhitungkan apakah jembatannya kuat apa tidak. Sederhananya seperti itu.
Mengapa Anda juga tertarik dalam bidang akademis?
Awalnya itu ketika saya melihat seorang profesor. Saya lihat bahwa dia memberi dampak yang besar kepada masyarakat dengan memberikan seminar. Kebetulan dia itu ahli perkotaan. Ternyata dari karya-karyanya itu, dia mengubah cara berpikir bagaimana negara itu diatur, contohnya seperti Brazil dan China. Jadi kota itu bukan suatu kota, tetapi sistem, diperlukan adanya kota besar, kota ukuran sedang, kota ukuran kecil. Nah, saya berpikir bahwa saya harus memiliki kontribusi yang sama dengan itu. Saya lihat akademis adalah caranya. Ada orang yang memilih untuk berkontribusi dengan menjadi pelaku di pasar, seperti menjadi manajer, direktur, tetapi saya memilih dari sisi akademis, karena menurut saya penyebaran ide itu lebih banyak memengaruhi seseorang daripada menjadi pemain.
Apa perubahan yang ingin Anda lakukan ketika akhirnya menjadi Dekan FE UI?
Yang saya inginkan adalah supaya staf pengajar kita bisa meng-update ilmu mereka dengan hal-hal yang terjadi di dunia luar. Saya ingin pengajar tidak hanya berfokus pada catatan-catatan mereka, tetapi juga menambahkan pengetahuan dan pengalaman-pengalaman di dunia nyata untuk memperkaya ilmu tersebut. Kemudian jangan sampai kita kalah dengan ekonom lain. Kita harus mulai berpikir, mengapa kita tidak menjadi yang nomor 1?
Sementara sekarang ini, universitas itu dinilai dari seberapa banyak lulusannya membuat tulisan, dan apakah tulisan-tulisan mereka dibaca orang, apakah tulisan-tulisan tersebut dijadikan referensi oleh orang lain. Dari situlah universitas dinilai. Semakin banyak tulisan-tulisan yang dijadikan referensi, maka semakin banyak dampak yang diberikan oleh universitas tersebut kepada masyarakat. Nah untuk hal itu, kita masih tertinggal dalam skala internasional. Sederhananya, buat apa kita punya ide tetapi tidak di-share ke orang lain, percuma saja kan.Ide itu barulah berguna kalau dibagikan.Maka dari itu, saya mau memperbaiki hal tersebut di FE UI.
Apa mimpi Anda ke depannya yang masih ingin dicapai?
Mimpi saya adalah ingin mempunyai rumah di pinggir danau dan bisa menulis artikel setiap hari.Lalusemua orang selalu membaca tulisan saya setiap hari, seperti Harry Potter. Saya ingin memberikan inspirasi. Saya ingin menjadi ilmuwan tetapi memiliki pengaruh yang besar, ya seperti Harry Potter.
Apa pesan Anda untuk mereka yang masih kuliah di FE UI?
Jadi sekarang ini ilmu ekonomi sedang mengalami perubahan paradigma.Maka kalau bisa, perbanyak membaca artikel-artikel yang banyak mengandung implementasi. Kalau cuma teori kan sudah banyak dipelajari di kampus. Selain itu, jangan terlalu alergi dengan mata kuliah yang berbau kuantitatif. Hal yang kuantitatif itu adalah kunci kita untuk membaca sesuatu yang kualitatif.
Penulis: Ivan Indrawan
Discussion about this post