Siapa yang tidak mengenal Sri Mulyani Indrawati. Namanya sudah tidak lagi asing di telinga masyarakat Indonesia, kian berkibar semenjak menjadi Menteri Keuangan Kabinet Indonesia Bersatu dan kemudian menjadi wanita sekaligus orang Indonesia pertama yang menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia. Berbagai penghargaan internasional telah diraih Sri Mulyani atas prestasi yang ditorehkan dalam mereformasi birokrasi Indonesia, seperti Menteri Keuangan Terbaik Asia pada tahun 2006 oleh Emerging Markets dan Wanita paling berpengaruh ke-23 di dunia versi Majalah Forbes tahun 2008. Pada kesempatan kali ini, Tim ECONOMICA menyuguhkan cerita pengalaman dan sepak terjangnya dari hasil interview dengan Sri Mulyani.
Apa yang membuat Anda memilih untuk kuliah di FE UI?
Saya mau masuk FE UI pada tahun 1981 itu disebabkan oleh faktor penarik, yaitu reputasi dan peran FEUI yang sangat bergengsi dalam pembuatan kebijakan ekonomi Indonesia.Seperti yang kita tahu, para menteri, penjabat senior, dan perusahaan BUMN masih mau meluangkan waktu mengajar mahasiswa di Salemba. Faktor pendorong dalam diri saya adalah keinginan mempelajari bidang sosial yang berbeda, dimana menggunakan metode kuantitaif (matematika dan statistik) dalam analisisnya.
Apa saja kegiatan yang Anda ikuti selama di FE UI?
Selama belajar di FEUI, saya sangat aktif dalam aktivitas ekstrakurikuler, seperti senat mahasiswa, Badan Otonomi Economica, Kelompok Drama (STEMA), dan kegiatan angkatan (81). Termasuk juga saya ikut dalam kegiatan debat antar mahasiswa se-Indonesia. Kegiatan tersebut sangat bermanfaat untuk memperkaya pengalaman, melatih kemampuan berorganisasi, menghargai dan memahami berbagai perbedaan:cara berpikir, budaya, dan karakter manusia.Lewat pengalaman tersebut,kita juga jadi terlatih kemampuan artikulasi pikiran, dan cara bicaranya, karena terbiasa berbicara di depan publik secara tenang.
Bagaimana awal perjalanan karier Anda setelah lulus dari FE UI?
Sebelum lulus, saya sudah ditawarkan bekerja sebagai asisten peneliti di LPEM-FEUI, kegiatan yang sangat menyenangkan dan memperkaya pengalaman.Pekerjaannya itu merancang penelitian, melakukan survei, menganalisis data, dan menulis laporan. Itu semua membuat saya terlatih untuk melihat masalah secara teliti, melatih logika berpikir, dan terbiasa berpikir kritis.Saya jadi terbiasa menulis analisa, pemikiran, dan kesimpulan studi secara akurat, sistematis, logis, dan jelas – mudah dipahami. Pengalaman di Badan Otonomi Economica dan LPEM begitu menyenangkan, karena memberikan kesempatan untuk menyalurkan hobi saya dalammenulis.
Setelah bekerja dua tahun di LPEM, saya meneruskan jenjang pendidikan pasca sarjana untuk mendapatkan gelar master. Saya mengambil bidang Kebijakan Publik dan PhD di bidang Ekonomi di University of Illinois Urbana Champaign USA, dengan beasiswa IUC (PHRD Depdikna) yang hanya cukup sampai jenjang master saja. Saya harus bekerja sebagai asisten pengajar bidang statisticsuntuk dapat meneruskan dan menyelesaikan gelar PhD. Setelah selesai meraih gelar PhD tahun 1992, saya kembali ke Indonesia dan menjadi pengajar sekaligus penelitidi FEUI. Saya mendapat jabatan sebagai Kepala Pendidikan dan Latihan di LPEM, dan mulai mengenal lebih baik kondisi dan kapasitas para pejabat pemerintah daerah yang dikirim ke FEUI.Mereka dikirim untuk memperbaiki kualitas pengelolaan keuangan daerah, serta untuk pendidikan perencanaan dan pengelolaan proyek pembangunan. Saya mulai memperhatikan betapa masih lemah dan tertinggalnya kualitas institusi birokrasi kita. Selain itu, saya melihat ada masalah kualitas sumber daya manusia (pembuat kebijakan publik) yang terbatas di pusat dan daerah.
Selama menjadi kepala Diklat, saya ikut membangun kapasitas LPEM untuk memiliki divisi diklat pejabat pusat dan daerah yang semakin baik dari segi materi, program, dan fasilitas penunjang.Tahap karier saya kemudian adalah sebagai kepala penelitianLPEM, dan kemudian menjadi kepala LPEM, waktu itu tahun 1998.Pada masa itu, krisis ekonomi Indonesia mulai terjadi, sehingga Indonesia harus menerima program IMF (International Monetary Fund) untuk mengatasi krisis dan pemulihan ekonomi. Ketika itusaya sadarbagaimana ekonomi Indonesia yang sudah susah payah dibangun, dapat mudah dirusak akibat penyalahgunaan kekuasaan di zaman Orde Baru yang meruntuhkan ekonomi keseluruhan. Pelajaran berharga lainnya adalah berbagai contoh bagaimana kebijakan publik yang bertujuan melindungi masyarakat malah justru merusak dan merugikan masyarakat luas,terutama membebani masyarakat miskin, seperti kebijakan tata niaga cengkeh, jeruk, Bulog yang melahirkan korupsi dan inefisiensi.
Perjalanan karier saya selanjutnya adalah menjadi konsultan USAID (United States Agency for International Development) untuk mendampingi murid-murid Program Master di Georgia University, Atlanta,yang belajar mengenai desentralisasi. Kembali saya melihat betapa lemah dan terbatasnya kualitas SDM universitas di daerah.Padahal, mereka akan mengemban tugas penting dalam memperkuat otonomi daerah yang diberikan setelah reformasi. Kemudian pada tahun 2002-2004, pemerintah Republik Indonesia dengan persetujuan negara-negara konstituen East Asia Pacific, meminta saya menjadi Executive Director di IMF.Selama dua tahun tersebut, saya belajar banyak mengenai krisis yang dialami negara-negara Amerika Latin, terutama Brazil, Meksiko, dan Argentina.
Apa alasan yang membuat Anda menerima tawaran untuk menjadi Menteri di Republik Indonesia pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono?
Kesediaan menjadi Menteri pada masa Kabinet Pembangunan pertama Presiden Yudhoyono, karena percaya dan sejalan dengan cita-cita Presiden untuk membenahi Indonesia, tentunya dengan melakukan reformasi menyeluruh.Saya merasa terpanggil untuk membangun Indonesia melalui perbaikan birokrasi di Kementerian Keuangan, dan juga pemerintah lainnya. Saya ingin memperkuat kemampuan dan tata kelola di pemerintah pusat dan daerah, menerapkan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara, hingga membangun sistem keuangan negara yang transparan dan berkelanjutan.
Saya percaya keuangan negara dan birokrasi yang kuat dan bersih,akan mejadi tulang punggung dan penopang yang kokoh bagi perbaikan kesejahteraan dan keadilan rakyat Indonesia. Saya ingin melihat Indonesia yang kuat dan disegani tidak hanya di Asia, namun juga di dunia, tentunya dengan menjadi negara “emerging” yang kuat dan kokoh dalam pengelolaan ekonomi dan transparan. Kita itu harus bisa bersih dan efektif dari segi birokrasi.
Apa tantangan yang Anda hadapi selama menjalani karier tersebut?
Kesulitan dan tantangan mewujudkan cita-cita tersebut malah berasal dari dalam institusi sendiri. Seperti biasa, ada suatu resistensi akan perubahan, terutama pada tahap awal.Belum lagi rumitnya sistem birokrasi yang harus diurai dan dibenahi. Ada juga tantangan dari luar, yaitu mereka yang merasa dirugikan dengan perbaikan dan penertiban birokrasi. Mereka itu adalah parapelanggar pajak, penyelundup, dan yang memanipulasi bea cukai. Masalahnya, budaya korupsi dan penyalahgunaan wewenang terjadi di hampir semua instansi – publik dan swasta – dan di semua tingkat.
Yang membesarkan hati dari pengalaman sebagai menteri adalah masih banyaknya aparat birokrasi yang jujur, idealis, dan ingin melakukan yang terbaik untuk bangsa. Saya juga merasakan dukungan yang luar biasa dari media massayang kredibel, dan masyarakat luas yang rindu ingin melihat Indonesia maju dan sukses.
Apa pertimbangan dari Anda hingga menerima tawaran untuk bekerja di Bank Dunia (World Bank)?
Saya menerima tawaran bekerja di Bank Dunia karena ada faktor pendorong, yaitu pada masa memasuki kabinet Pembangunan kedua, dibawah Presiden Yudhoyono, komitmen politik untuk meneruskan reformasi terasa sangat menurun.Ada juga faktor penarik, yaitu ingin membangun karier internasional di sebuah instansi dunia yang sangat bergengsi, yang memiliki misi sesuai cita-cita saya, yaitu memerangi kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan bagi umat manusia. Pengalaman saya sebagai menteri di 3 posisi yang berbeda, dan sekarang menjadi managing director dan chief operating officer, yang merupakan jabatan tertinggi setelah Presiden Bank Dunia, sangat memberikan banyak pelajaran porfesional yang berharga.
Pengetahuan dari buku pelajaran sangat penting untuk memberi fondasi cara berpikir, namun pengalaman dalam pemerintahan dan membuat kebijakan memerlukan keahlian lain, yaitu memahami aspek sosial, politik, hokum,bahkan budaya dalam merancang kebijakan. Kita harus sadar bahwa tujuan yang baik tidak otomatis bisa terlaksana tanpa rancangan kebijakan yang baik, organisasi yang efektif, dan transparansi serta umpan balik dari masyarakat luas (stakeholders).
Bagaimana Anda membagi waktu antara karier dengan keluarga?
Saya dikaruniai keluarga – orang tua, suami, anak-anak – yang sangat mendukung kemajuan akademik dan karier publik saya.Tentunya saya melakukan itu tanpa harus kompromi terhadap kejujuran dan integritas.Kepercayaan dan dukungan keluarga dibangun sejak awal, melalui komunikasi dan keterbukaan dalam melihat semua aspek pekerjaan, baik dari segi tantangan, kesulitan, kesempatan dan konsekuensi menerima jabatan ataumengambil pilihan karier.
Apa filosofi hidup yang Anda pegang teguh hingga sekarang?
Filosofi saya adalah berbuat yang terbaik dan menjalankan tugas apapun dengan niat baik, jujur, dan dengan passion, sehingga bisa bersungguh-sungguh. Yang terpenting, jangan sampai kitamengkhianati nurani. Setelah itu, serahkan hasilnya kepada Tuhan. Filosofi dan sumber inspirasi saya adalah almarhum orang tua saya, mereka pasangan yang luar biasa, saling mendukung, jujur, kerja keras, dan disiplin.Mereka ingin melihat semua anak dan murid-muridnya (terutama yang miskin) untuk maju dan berhasil dalam akademik,memiliki karakter kejujuran, dan kecintaan terhadap kemanusiaan.
Apa cita-cita Anda yang masih ingin dicapai ke depannya?
Saya ingin terus bisa berbakti dan mengabdi untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Itu saya terapkan di manapun saya bekerja.
Penulis: Ivan Indrawan
Discussion about this post