“Proses perubahan keyakinan saya menjadi ateis tidak terjadi secara tiba-tiba seperti mendapat wahyu, melainkan melalui proses belajar dan pemahaman selama bertahun-tahun. Akhirnya, saya menyadari bahwa agama sebenarnya adalah produk budaya manusia, bukan berasal dari Tuhan,” ucap Vilen (nama samaran).
“Udah jam azan asar, lu enggak salat?”
Pada suatu sore di salah satu kelas di FMIPA UI, dua mahasiswa, Vilen (nama samaran) dan temannya, sedang asyik mengobrol. Saat itu, banyak mahasiswa yang meminta izin kepada dosen mereka untuk sejenak menunaikan ibadah salat. Vilen dengan ramah mendorong temannya untuk ikut salat.
Temannya pun menjawab, “Engga dulu deh, ntar aja kalau udah selesai kelasnya.”
Vilen lanjut menasehati, “Jangan begitu, salat yang dikerjakan di awal waktu lebih baik amalannya. Apalagi berjemaah.”
Beberapa saat berpikir, temannya akhirnya menjawab, “Yaudah deh, gue salat dulu. Tolong jagain barang-barang gue ya, makasih.”
Vilen merupakan seorang mahasiswa ateis. Sejak berada di jenjang akhir masa SMA-nya hingga di jenjang perkuliahan, Vilen sudah tidak lagi menunaikan segala ibadah dan kewajiban agamanya. Meski demikian, ia mengaku sering menasehati temannya untuk tetap giat melakukan ibadah supaya temannya merasa malu karena diingatkan oleh seorang ateis.
“Dulu, saya penganut Islam yang taat, kalau boleh sombong pengetahuan agama saya mungkin di atas rata-rata,” ucap Vilen dalam wawancaranya bersama penulis.
Vilen mengungkapkan bahwa ia hidup dalam lingkungan keluarga dengan nilai-nilai agama yang kurang. Orang tuanya merupakan seorang Islam tetapi jarang menjalankan ibadah agamanya. Pada akhirnya, ketertarikan Vilen di dunia sains membuatnya untuk memutuskan diri menjadi seorang ateis.
Keberadaan penganut ateisme, agnostisisme, atau orang-orang yang sekadar tidak menjalankan ibadah agamanya adalah hal umum di lingkungan kampus yang plural. Gen Z dan Milenial yang mendominasi mahasiswa sendiri memiliki sumbangsih penganut ateisme dan agnotisisme terbanyak.
Berdasarkan riset yang dilakukan Barna Research, 35 persen dari Gen Z di seluruh dunia adalah ateis dan agnostik. Fakta ini didukung oleh Ryan Burge, seorang ilmuwan politik dari Eastern Illinois University, yang menyatakan bahwa hanya 35 persen dari Gen Z yang mengatakan bahwa mereka tidak pernah meragukan keberadaan Tuhan–angka 35 persen ini cenderung menurun.
Mengetahui jumlah pasti orang yang mengaku ateis di Indonesia tidaklah mudah, sebab orang-orang ateis cenderung menutup diri karena takut membuka identitas mereka. Meski demikian, sensus ateis yang diadakan oleh AAI (Atheist Alliance International) mencatat pada 2014 terdapat 968 orang yang mengaku ateis di Indonesia.
Mengacu pada sila pertama dalam Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, keberagamaan adalah hal yang perlu sebagai warga negara Indonesia. Saat ini, merujuk pada RUU KUHP Pasal 302, penyebaran nilai-nilai yang mendorong seseorang untuk tidak beragama dapat dianggap sebagai tindakan pidana. Akan tetapi, penting untuk dicatat bahwa hingga saat ini belum ada hukum tertulis yang secara khusus mempidanakan orang-orang ateis.
Perjalanan Hidup Vilen: Ketika Pemahaman Sains Menentang Nilai-Nilai Agama
Berkaca pada pengalaman Vilen, sewaktu duduk di bangku SD, ia mengaku sebagai pribadi yang sangat taat beragama, bahkan saat itu ia tidak pernah meninggalkan kewajibannya untuk salat lima waktu. Akan tetapi, menginjak ke bangku SMP, Vilen mulai mempelajari banyak hal, termasuk agama lain, bahkan ia mengaku pernah menjadi admin grup “Debat Sehat Islam dan Kristen” yang berisi perdebatan secara sehat untuk menguji kebenaran kedua belah agama. Beranjak ke bangku SMA, Vilen mulai mempelajari banyak hal tentang sains, agama, filsafat, dan lain sebagainya. Hingga akhirnya, ia berhasil menjadi juara pada salah satu ajang lomba sains bergengsi. Pemahaman yang komprehensif mengenai sains pada akhirnya mengantarkan Vilen untuk menjadi seorang ateis.
“Proses perubahan keyakinan saya menjadi ateis tidak terjadi secara tiba-tiba seperti mendapat wahyu, melainkan melalui proses belajar dan pemahaman selama bertahun-tahun. Akhirnya, saya menyadari bahwa agama sebenarnya adalah produk budaya manusia, bukan berasal dari Tuhan,” ucap Vilen.
Keluarga dan beberapa teman dekat Vilen yang mengetahui statusnya sebagai seorang ateis bisa menerima keberadaannya tanpa adanya perlakuan diskriminatif. Akan tetapi, meski lingkungan kampus adalah tempat yang aman baginya, Vilen mengaku pernah mendapat perlakuan diskriminatif dalam pekerjaannya. “Karena dia tahu bahwa (KTP) saya Islam tetapi tidak melaksanakan salat, sehingga saya tidak diikutsertakan dalam proyek selanjutnya,” ungkapnya.
Terlepas dari statusnya sebagai seorang ateis, Vilen tetap memiliki antusias untuk mempelajari agama-agama lain, termasuk dalam Mata Kuliah MPK Agama di semester pertama. “Hingga saat ini saya masih terus mempelajari agama untuk melakukan kritik terhadapnya,” jelas Vilen. Vilen juga sering melakukan diskusi mengenai agama dengan temannya, termasuk salah satunya adalah seorang muslim wahabi yang kerap dianggap konservatif oleh masyarakat. Meskipun telah sering melakukan diskusi, pendiriannya sebagai seorang ateis sama sekali tidak berubah.
Eksistensi orang-orang Ateis di Kampus
Vilen mengaku kesulitan menemukan mahasiswa yang satu pemikiran dengannya. Baginya, orang-orang ateis cenderung untuk tidak mengumbarkan atau bahkan menyebarkan pemikirannya ke orang lain. Dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia yang sangat sensitif terhadap isu-isu agama, Vilen mengatakan bahwa pengakuan atau bahkan penyebaran pemahaman ateisme oleh orang-orang ateis kepada publik hanya akan merugikan mereka.
“Sebenarnya, tidak perlu juga untuk mengumbar keyakinan ateis kepada orang lain. Hal ini jarang terjadi, dan saya sendiri kesulitan untuk mengetahui apakah teman saya adalah ateis atau tidak. Biasanya, diperlukan dialog yang dalam untuk mengetahui hal tersebut.”
Akan tetapi, ia menyebutkan bahwa banyak teman-temannya di UI yang mengaku sebagai muslim tetapi tidak menjalankan ibadah sebagaimana mestinya. “Banyak juga orang yang mengaku beragama Islam tetapi tidak melaksanakan salat. Namun, belum tentu mereka ateis. Ada banyak juga orang yang meremehkan agama, padahal mereka masih memeluk agama tersebut,” jelasnya.
Kemudian, Vilen menambahkan bahwa selama berkuliah di UI, ia belum pernah menjumpai keberadaan organisasi mahasiswa yang bergerak dalam hal ateisme, baik itu organisasi yang mewadahi diskusi ateisme secara intens maupun organisasi yang menyebarkan pemahaman ateisme.
“Orang ateis tidak memiliki keinginan untuk membentuk organisasi. Mereka tidak memiliki alasan untuk melakukannya karena ateisme sendiri tidak memiliki tujuan untuk menghapuskan agama. Misalnya, orang-orang komunis menginginkan kesetaraan tanpa adanya kelas. Namun, bagi orang ateis, tidak ada ideologi yang menyatukan mereka, sehingga pembentukan organisasi tidak diperlukan,” jelasnya.
Sudut Pandang Vilen yang Meng-”Agung”-kan Karl Marx
Sepanjang sejarah, telah banyak pemikir-pemikir yang menyangkal keberadaan Tuhan. Sebagai contohnya tokoh-tokoh seperti: Ludwig dengan gagasannya:, Tuhan adalah ciptaan angan-angan manusia; Karl Marx dengan pemahamannya:gagasannya, agama adalah candu rakyat; Nietzsche dengan pemikirannya:gagasanya, Tuhan telah mati; hingga Sigmund Freud dengan gagasannya: apabila ada Tuhan, manusia itu merupakan ketiadaan.
Menurut Karl Marx, agama adalah opium of the people. Marx menganggap agama sebagai suatu bentuk penghiburan atau pelarian dari realitas sosial yang sulit dan penderitaan ekonomi yang dialami oleh kelas pekerja. Baginya, agama berfungsi sebagai alat yang digunakan oleh kelas borjuis untuk menekan dan mengontrol kelas proletar.
Pandangan Karl Marx mengenai agama ini sangat disukai oleh Vilen. Menurutnya, teori perjuangan kelas Karl Marx merupakan teori yang masih relevan bahkan hingga saat ini. Ia menegaskan bahwa hampir semua sejarah yang ditulis lahir karena adanya perjuangan kelas.
“Saya menyukai Karl Marx karena dia menggabungkan teorinya dengan kehidupan masyarakat Eropa pada masanya. Pada saat itu, terjadi perjuangan antar kelas yang (bahkan) masih berlanjut hingga saat ini. Agama digunakan sebagai salah satu alat untuk menguasai masyarakat lain,” jelas Vilen.
Manfaat Agama dan Ketiadaan Kehidupan setelah Kematian
Vilen menjelaskan bahwa sebenarnya agama juga memiliki manfaat. Ia menyatakan bahwa agama dapat menjadi tempat untuk berlindung dan meminta pertolongan saat seseorang sedang lemah. Lagi-lagi Vilen menyebut gagasan dari Karl Marx bahwa agama adalah candu bagi masyarakat–ketika seseorang merasa lemah dan tidak memiliki tempat untuk mengadu, mereka dapat mengadu kepada Tuhan. “Jika agama dapat benar-benar mengatasi kesedihan kita, maka agama memang memiliki manfaat.”
Selain itu, Vilen juga menekankan bahwa kehidupan setelah kematian pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak ada. Baginya, kondisi setelah kematian sama halnya dengan kondisi ketika sebelum lahir, yaitu tidak merasakan apa-apa.
“Saya tidak takut akan kematian. Bagi saya, kondisi setelah kematian sama seperti kondisi sebelum kita lahir, yaitu tidak ada dan tidak merasakan apa-apa. Rasa takut terhadap kematian hanya akan membuat kita tidak menikmati hidup.”
Lalu, jika menurut Vilen kehidupan setelah mati memang tidak ada, bagaimana dengan balasan yang diberikan kepada mereka yang telah berbuat jahat? Bagi Vilen, dunia ini pada dasarnya adalah tempat yang tidak adil. Vilen tidak meyakini konsep karma. Ada kalanya orang yang melakukan kejahatan akan hidup nyaman sampai mati, dan ada kalanya pula orang baik yang mengalami hidup susah hingga mati. Vilen menegaskan, “Orang yang tidak bisa menerima ketidakadilan hidup akan memegang agama untuk mencari keadilan.”
Setelah menjadi ateis, Vilen mengaku bahwa ia semakin menikmati kehidupan sehari-harinya. Ia merasa hidupnya menjadi lebih lega karena tidak ada peraturan-peraturan agama yang mengikatnya. Akan tetapi, meskipun tidak terikat dengan norma agama, bukan berarti seorang ateis bebas berbuat apa pun yang mereka mau. Vilen menegaskan, “Kita tidak terikat dengan norma agama, tapi kita tetap harus patuh sama norma hukum dan kesusilaan.”
Akhir Kata
Tulisan ini tidak dibuat untuk mengajak para pembaca menjadi ateis atau semakin menjauhi norma-norma agama. Melainkan, penulis berusaha menyajikan sisi lain dari kehidupan kampus yang masih jarang terungkap untuk lebih memperkaya perspektif. Kisah Vilen membuat kita menjadi lebih mengenal seorang ateis dan bagaimana mereka memandang orang-orang beragama.
Editor: Alifia Yumna Mumtazah, Qisthan Ghazi, Muhammad Zaky Nur Fajar, Alfina Nur Afriani, Muhammad Ramadhani
Discussion about this post