Di antara banyaknya genre film yang beredar di pasaran, horor menjadi yang paling populer, khususnya di industri perfilman tanah air. Tendensi masyarakat Indonesia yang “mudah ditakut-takuti”, menghembuskan angin segar sekaligus menjadi morfin bagi para peramu film untuk memenuhi layar lebar dengan berbagai film horor. Kini, jumlah produksi film horor mendominasi genre film lain seolah membuktikan pernyataan ekonom klasik bahwa “Demand creates its own supply”. Hal ini bisa terjadi lantaran mesin pencetak tiket di bioskop tak pernah berhenti menyuguhkan hasil cetakannya kepada penikmat film horor. Bahkan hingga kini, KKN di Desa Penari masih menjadi film terlaris sepanjang masa dengan capaian 10 juta lebih penonton.
Film horor memiliki banyak sub-genre, seperti home invasion, slasher, gore, body horror, monster, occult, found footage, hingga horor religi. Menariknya, horor religi mendapat ruang spesial di hati para penikmat film. Film garapan luar negeri seperti The Exorcism of Emily Rose, The Nun, dan The Seventh Day menjadi contoh dari banyaknya horor religi yang digandrungi masyarakat. Tak membuang peluang, industri perfilman Indonesia pun masif memproduksi film horor yang bertemakan agama sehingga kepopulerannya naik dengan tajam. Film horor religi mulai mendapat perhatian masyarakat Indonesia sejak rilisnya film Pengabdi Setan pada tahun 2017. Film besutan Joko Anwar itu berhasil menarik minat masyarakat terhadap horor religi dengan raihan 4,2 juta penonton. Melihat kesempatan tersebut, berbagai rumah produksi “ikut-ikutan” memproduksi film yang serupa. Di tahun-tahun selanjutnya, film horor religi mulai bermunculan, seperti Kafir: Bersekutu dengan Setan (2018), Roh Fasik (2019), Ghibah (2021), Qodrat (2022), Siksa Neraka (2023), dan Pemandi Jenazah (2024).
Over-eksploitasi unsur agama dalam film horor tercermin dalam pembawaan simbol-simbol agama, seperti gerakan shalat, kain kafan, tasbih, hingga lafadz Al-Quran. Bukan hanya menjadi hiasan semata, melainkan simbol agama itu bermunculan secara repetitif dan menjadi isi cerita secara keseluruhan. Tak hanya itu, simbol agama juga dijadikan sebagai alat promosi dalam media poster guna meraih atensi penikmat film dengan sajian yang menyeramkan. Sebut saja film Makmum, Khanzab, Sijjin, Hidayah, hingga yang kini sedang ramai dibicarakan, Kiblat, mengekspos agama tanpa ada batasan, khususnya Agama Islam. Padahal representasi unsur agama yang dicitrakan dengan menyeramkan dapat menyurutkan semangat beribadah dan dikhawatirkan dapat menimbulkan stigma negatif terhadap Islam, sehingga akar Islamophobia semakin mendapatkan penghidupan untuk tumbuh. Hal inilah yang memantik tanduk merah masyarakat Indonesia serta mendapat kritik keras dari MUI.
Napak Tilas Simbolisasi Agama dalam Film Horor Indonesia
Bukan sesuatu yang baru, penyertaan simbol agama dalam film horor Indonesia sudah bisa disaksikan sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Yang menjadi “biang kerok” adalah Jenderal Ali Murtopo sebagai Menteri Penerangan yang kala itu menahbiskan Kode Etik Produksi Film Nasional pada tahun 1981. Sejak saat itu, simbol agama acapkali hadir sebagai penetralisir. Bukan menjadi inti cerita, bukan juga menjadi substansi yang digaung-gaungkan, kehadiran agama dalam film horor sekadar “numpang eksis”. Representasi agama seakan hanya sebagai formalitas agar lulus dari sensor sehingga bisa dikatakan kemunculannya timbul tenggelam.
Antitesis dengan masa orde baru, pelbagai simbol agama seperti ustadz dan kyai pada suatu film tak lagi kelihatan batang hidungnya dalam masa reformasi. Absennya simbol agama dalam film horor tidak hilang begitu saja. Quirine Van Heeren dalam disertasinya mencatat ada pola yang dikotomis, simbol agama seringkali absen ketika film menampilkan latar kelas menengah urban, sedangkan hal sebaliknya terjadi ketika latar filmnya berada di wilayah pinggiran [1]. Pola yang terbentuk pada masa reformasi sangatlah memarjinalkan agama seakan dicitrakan sebagai sesuatu yang rendahan dan kampungan.
Semakin disorientasi dan kehilangan esensi, film-film horor selanjutnya seperti Tali Pocong Perawan, Paku Kuntilanak, Hantu Mandi Goyang Pinggul, dan Arwah Goyang Karawang lebih mengandalkan pornoaksi dari para pemeran perempuan dibandingkan dengan jalan cerita filmnya. Perempuan yang dijadikan objek dan segala hal yang bersangkutan dengan sensualitas tubuhnya menjadi nilai jual berkat adanya persenyawaan libido yang ditawarkan kepada penikmat film. Rumah produksi melalui media promosinya mengeksploitasi daya pikir konsumen dengan merancang pemikiran konstruktif yang memberi ruang pada akal untuk berfantasi. Semakin tinggi senyawa libido, maka semakin tinggi keuntungannya. Hal inilah yang disebut oleh Yasraf Amir Piliang sebagai Libidonomics [2].
Barulah pada tahun 2017, Joko Anwar melalui film Pengabdi Setan, berhasil menjadikan simbol agama sebagai hal yang sentris. Kesempurnaan memang hanya milik Tuhan, sedang manusia sarang salah dan dosa. Meski dewasa ini simbol agama sudah nyata terpampang dalam hampir setiap film horor yang ada, sudah bukan lagi sebatas otosensor layaknya masa orde baru, keberadaannya justru menjadi hal yang dinistakan dan dieksploitasi. Penggambaran agama yang membias dari wujud otentiknya terpampang jelas dalam poster film-film horor yang bertemakan religi. “Jualan agama” seperti pada film Kiblat misalnya, poster film tersebut menampilkan gerakan rukuk namun dengan kepala yang menghadap ke atas dan berwujud seram. Tindakan amoral ini membangun paradigma negatif masyarakat yang kemudian menimbulkan desakralisasi terhadap kegiatan ibadah.
Ironi Desakralisasi: Dampak Sosial dan Budaya Penggambaran Agama dalam Film Horor
Pertama-tama, penting bagi kita untuk mengakui bahwa penggunaan agama dalam film horor bukanlah hal yang tidak berdampak. Setiap hal yang dikonsumsi publik akan dicerna sesuai perspektif masing-masing individu, tidak terkecuali pada “akar dan solusi” dari masalah yang divisualisasikan seakan-akan berasal dari suatu praktik agama. Selain itu, penonton yang terpapar dengan penggunaan berlebihan unsur agama dalam film horor dapat mengalami konflik internal, bahkan desensitisasi terhadap nilai-nilai spiritual yang seharusnya dihormati.
Desakralisasi yang terjadi melalui eksploitasi peran agama dalam narasi film horor seringkali menjadi ironi yang meresahkan.
Dalam penelitian (Yohanna et al., 2020) [3], terungkap bahwa penggunaan agama dalam film horor yang gagal menangkal atmosfer mistis justru berdampak pada merosotnya kekuatan iman umat Muslim. Tidak hanya itu, polarisasi dan kontroversi yang kerap terpicu oleh film-film semacam ini telah menjadi “kayu api” bagi konflik sosial di masyarakat. Ironisnya, hal ini sering dimanfaatkan oleh rumah produksi untuk memperoleh popularitas yang lebih besar, tanpa mempedulikan dampak negatifnya pada keseimbangan sosial.
Sementara itu, penggambaran agama dalam film horor seringkali dipenuhi oleh stereotip negatif yang menggambarkan keyakinan sebagai sumber kejahatan dan kegilaan [4]. Representasi semacam ini tidak hanya tidak akurat, tetapi juga berpotensi merugikan bagi umat yang menjalankan keyakinannya dengan damai. Tak jarang kehadiran horor religi menimbulkan kondisi psikologis fear mongering sehingga menyebabkan kecemasan dan mengganggu prosesi ibadah yang seharusnya dilaksanakan. Lebih jauh lagi, miskonsepsi ini dapat saja berujung pada penistaan agama. Hal ini menciptakan ketegangan antara tradisi agama yang kental dengan dunia modern yang cenderung meragukan otoritas keagamaan. Sebagai imbasnya, nilai-nilai keagamaan yang seharusnya menjadi pilar kebaikan dan kedamaian malah terdistorsi dan disalahgunakan dalam persembahan hiburan.
Namun, sangat disayangkan apabila sineas dan industri film masih menganggap komentar-komentar semacam ini tidak perlu. Lantaran, film horor Indonesia sudah diakui dunia internasional dan menyumbang untung ekonomi, seperti yang disampaikan Joko Anwar dalam wawancaranya bersama Metro TV. Kita seharusnya setuju bahwa penting bagi industri film untuk tetap mendengarkan kritik-kritik konstruktif yang datang dari berbagai pihak, termasuk para ahli agama dan psikolog, serta masyarakat luas. Hanya dengan demikian, industri film dapat terus berkembang secara holistik, menjaga kualitas karya seni, dan menghasilkan konten yang bermakna bagi penonton, tanpa mengesampingkan tanggung jawab moral dan etika dalam representasi agama dalam karya-karya mereka.
Mencari Keseimbangan: Batasan Penggunaan Unsur Agama dalam Film Horor
Batas pengikutsertaan unsur agama ke dalam industri hiburan sendiri sebenarnya cukup sulit untuk ditentukan, mengingat tendensi yang dibawakan oleh film-film horor seringkali berkaitan erat dengan takhayul dan hal-hal mistis yang sebenarnya pun diakui di dalam kepercayaan masyarakat kita. Terlepas dari kenyataan ini, pembuat film harus tetap berhati-hati untuk tidak mengeksploitasi agama secara berlebihan yang dapat merendahkan nilai keyakinan dan praktik keagamaan.
Penting untuk menjaga keseimbangan antara menghibur penonton dan menghormati agama. Pembuat film harus mempertimbangkan bagaimana penggunaan simbol dan narasi keagamaan dapat memengaruhi persepsi dan perasaan penonton. Berbagai pendekatan kreatif, seperti menggunakan agama sebagai latar belakang cerita tanpa memusatkan cerita pada aspek yang kontroversial, dapat membantu menjaga kesensitifan substansi agama.
Fokus pada pengembangan cerita dan karakter yang kompleks juga penting. Alih-alih menggunakan agama sebagai alat untuk menakuti penonton, pembuat film dapat menjadikan agama sebagai elemen naratif yang memperkaya alur cerita. Dengan cara ini, agama dapat diintegrasikan dengan cara yang bermakna dan relevan sehingga mendukung perjalanan karakter dalam cerita. Layaknya The Exorcist karya William Friedkin, film ini tidak hanya menampilkan aspek-aspek horor, tetapi juga mengeksplorasi perjuangan spiritual karakter-karakter utama dan memberikan penghormatan terhadap praktik agama. The Exorcist berhasil menyampaikan ketakutan dan ketegangan dengan cara yang seimbang tanpa merendahkan agama atau keyakinan penonton.
Selain itu, berkonsultasi dengan ahli agama dan pihak terkait lainnya dapat memberikan pandangan yang lebih jelas dan akurat mengenai batasan-batasan yang sebaiknya dihindari. Dengan cara ini, industri hiburan dapat menghasilkan karya yang lebih menghormati agama sekaligus menjaga daya tarik film horor sebagai primadona.
Mencari Jalan Tengah: Kesimpulan
Dalam menghadapi tantangan eksploitasi simbol agama dalam film horor, menemukan jalan tengah adalah tugas yang mendesak bagi sineas dan industri film. Eksploitasi berlebihan terhadap simbol agama dapat merusak hubungan antara masyarakat dan keyakinan keagamaan mereka, serta memperburuk stereotip negatif. Untuk menjaga keseimbangan, pembuat film perlu menghormati nilai-nilai agama sambil tetap menciptakan karya yang menghibur dan menegangkan.
Penting bagi industri film untuk mempertimbangkan pendekatan kreatif yang melibatkan agama sebagai elemen naratif yang mendalam, tanpa melupakan tanggung jawab moral dan etika. Konsultasi dengan ahli agama, psikolog, dan pihak terkait lainnya dapat membantu menentukan batasan yang tepat dalam representasi agama dalam film horor.
Sementara film horor terus berkontribusi pada ekonomi kreatif dan memperoleh pengakuan internasional, pendapat konstruktif dari berbagai pihak tidak boleh diabaikan. Hanya dengan mendengarkan kritik-kritik yang jujur dan mempertimbangkan dampak sosial dan budaya yang lebih luas, industri film dapat menciptakan karya yang lebih bermakna, inklusif, dan menghormati nilai-nilai masyarakat.
Referensi:
[1] Firdaus, Alwin. (2023, April 11). Ikonografi Islam dalam Film Horor Kontemporer. Retrieved April 9, 2023, from https://tirto.id/ikonografi-islam-dalam-film-horor-kontemporer-gEoJ
[2] Rumaru, Shulhan. (2019, April 24). Libidonomics Industri Film Horor Indonesia. Retrieved April 9, 2023, from https://pepnews.com/gaya/p-4155c603f87895d/libidonomics-industri-film-horor-indonesia
[3] Yohanna, Debby. Hartiana T. I. P. dkk. (2020). “Desakralisasi film horor Indonesia dalam kajian reception analysis”. PRO TVF 4, 1-19
[4] Ilhamsyah, Muhammad. (2024, Maret 30). Film Horor: Stereotip Islamophobia dan Desakralisasi Agama yang Terselubung. From Film Horor: Stereotip Islamophobia dan Desakralisasi Agama yang Terselubung | kumparan.com
Discussion about this post