Sejak awal munculnya virus COVID-19 di Indonesia, pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan pembatasan penyebaran virus. Pada 1 Juli 2021 kemarin, pemerintah kembali menetapkan kebijakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) darurat karena melonjaknya kasus COVID-19.
Kebijakan lockdown total sempat menjadi salah satu pertimbangan kebijakan populer karena dinilai lebih ketat dan maksimal dalam membatasi penyebaran virus COVID-19. Menurut Teguh Dartanto, Dosen Ekonomi Kesehatan FEB UI, penerapan lockdown cukup sulit diterapkan karena masyarakat Indonesia multikultural, sumber daya yang tidak mencukupi, serta sistem administrasi dan birokrasi yang masih tidak teratur. “PPKM menurut saya, jika ini dilakukan dengan benar, dapat menjadi keseimbangan di jalan tengah,” ujar Teguh.
“Untuk menerapkan lockdown diperlukan institusi dan jaminan sosial yang lebih baik. Apabila pemerintah gagal menjamin hal tersebut, maka akan terjadi keributan sosial yang lebih costly,” tambahnya.
Tidak hanya itu, berbagai penentangan terhadap lockdown total membuat kebijakan tersebut mustahil untuk dilakukan. Melihat dari sulitnya melaksanakan lockdown total, pemerintah mengambil langkah pembatasan bertahap. Namun, apakah berbagai kebijakan tersebut seperti PPKM sudah efektif dalam implementasinya?
PSBB, PPKM Mikro, PPKM Darurat, Hanya Sebatas Nama?
Menurut Lina Miftahul Jannah, Dosen Kebijakan Publik FIA UI, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah memang bersifat inkremental atau secara bertahap dan bersifat longgar-ketat sesuai dengan kasus yang terjadi. Aneka kebijakan untuk menangani penyebaran virus COVID-19 telah digencarkan oleh pemerintah, mulai dari PSBB, PPKM Mikro bahkan PPKM darurat dengan berbagai levelnya.
Teguh menyoroti berbagai nama kebijakan tersebut hanyalah sebuah nama kebijakan semata dan tidak memiliki hubungan dengan dunia medis. Namun, ungkapan level yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat menjadi sebuah sinyal untuk masyarakat agar mengetahui seberapa tinggikah darurat COVID-19 di Indonesia.
Penerapan PPKM darurat level 4 yang terjadi saat ini merupakan sinyal keras dari pemerintah mengenai kasus COVID-19 yang sangat tinggi. Penerapan PPKM darurat pun telah dilaksanakan pada tanggal 3 hingga 20 Juli untuk pulau Jawa dan Bali. Kemudian, PPKM diperpanjang kembali hingga 25 Juli 2021.
Perlu diketahui, bahwasanya penerapan PPKM darurat ini memiliki perbedaan dengan PPKM mikro. Dalam pelaksanaannya, PPKM mikro masih memperbolehkan mobilitas masyarakat untuk beraktivitas, seperti mengizinkan para pekerja sektor non esensial untuk Work From Office (WFO) dengan besaran 25 persen dan membuka berbagai pusat perbelanjaan atau mall. Berbeda dengan hal itu, pada kebijakan PPKM darurat, seluruh mobilitas dan kegiatan masyarakat sangatlah diperketat, bahkan sektor esensial pun hanya diizinkan untuk beroperasi WFO dengan maksimal 50 persen.
PPKM untuk Kepentingan Siapa?
Kendati demikian, kebijakan PPKM darurat merupakan usaha dari pemerintah untuk mengakomodir antara kepentingan kesehatan dan ekonomi. Sayangnya, mengingat kasus COVID-19 yang terus melonjak, pemerintah harus memiliki sikap yang tegas. Sebab, kebijakan pemerintah yang cenderung longgar-ketat, menggambarkan adanya inkonsistensi dalam penanganan COVID-19, padahal kondisi COVID-19 di Indonesia sangatlah mengkhawatirkan.
“Kondisi yang dihadapi oleh Indonesia adalah trade off antara kesehatan dan ekonomi, sehingga diperlukan adanya keberanian untuk menelan pil pahit di depan demi kebaikan jangka panjang,” ucap Teguh.
Adapun maksud dari pernyataan Teguh tersebut, prioritas pemerintah saat ini adalah menangani masalah kesehatan dengan kebijakan yang ketat. Sebab, kebijakan pemerintah selalu normatif atau dengan kata lain menyeimbangkan antara kepentingan kesehatan dan ekonomi akan menjadi bom waktu jangka panjang. Pada akhirnya, ekonomi pada jangka panjang akan tetap terpuruk karena hilangnya sumber daya manusia.
Mirisnya, kebijakan PPKM darurat tidak hanya sebatas untuk kepentingan kesehatan dan ekonomi semata, melainkan terdapat kepentingan berbagai pihak di tingkat kementerian yang saling tarik-menarik.
“Hal itu karena setiap kementerian memiliki target dalam masa jabatannya atau yang biasa disebut Key Performance Indicator (KPI). Misalnya, kepentingan kementerian pariwisata yang menginginkan adanya peningkatan jumlah wisatawan di Indonesia,” tukas Lina.
Oleh karena itu, apabila unsur kepentingan antar kementerian ini terlalu mendominasi, dikhawatirkan kebijakan PPKM Darurat pun akan menjadi sebuah nama kebijakan saja, seperti aneka kebijakan lainnya yang pernah diterapkan.
Dampak PPKM Darurat
Menurut Teguh, kebijakan perpanjangan PPKM yang diambil oleh pemerintah kerap kali menimbulkan keragu-raguan di kalangan para pelaku bisnis karena kurangnya sosialisasi, arahan, serta indikator yang jelas. Para pelaku bisnis tidak dapat melakukan antisipasi terlebih dahulu. Selain itu, pekerja harian dan pekerja lepas yang memang bekerja di sektor-sektor usaha yang tidak dapat melakukan WFH (Work From Home), terutama mereka yang berada di daerah perkotaan juga sangat terdampak.
“Kelompok rentan inilah yang harus menjadi concern dari pemerintah, bagaimana menyiapkan sistem perlindungan sosial yang efektif. Dan ini juga tidak bisa menjadi fully tanggung jawab dari pemerintah pusat, tetapi pemerintah daerah yang harus berperan aktif memitigasinya,” ujar Teguh.
Evaluasi dari Penerapan PPKM Darurat
Berbagai kebijakan pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah sejauh ini memiliki satu tujuan yang sama, yaitu untuk membatasi penyebaran virus COVID-19. Diperlukan evaluasi yang mendalam agar kebijakan pembatasan pergerakan masyarakat ini tidak berlangsung secara berlarut-larut. Lina menerangkan bahwa pengelolaan di bidang kesehatan seperti testing dan tracing perlu dipercepat. Kesiapan daerah juga perlu diperhatikan.
“Berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, masalah kesehatan diserahkan kepada pemerintah daerah. Diperlukan kepala daerah yang mampu bertindak cepat dan melakukan inovasi,” ujar Lina.
Lina juga menambahkan bahwa diperlukan juga sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat, daerah, hingga pelaksananya. Lina menekankan perlu adanya sinkronisasi kebijakan dan birokrasi dalam program bantuan sosial yang kerap masih belum terarah.
“Sebaiknya pemerintah memperbaiki dan mengembangkan Geographical Information System (GIS) untuk mengetahui klaster dari kasus COVID-19”, ucap Teguh. Dengan pengembangan tersebut, kebijakan yang telah dibuat pun akan dapat lebih efektif untuk mengendalikan kasus penyebaran. Selain itu, mitigasi dan distribusi bantuan untuk masyarakat yang terdampak dapat dimonitor dengan baik oleh pemerintah.
Tidak hanya itu, Teguh juga menyarankan bahwa pemerintah perlu menerapkan on demand social application, sebuah aplikasi yang dapat segera menolong pihak-pihak yang paling terdampak. Sistem tersebut dapat dievaluasi secara berkala untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian, efek negatif dari pelaksanaan PPKM dapat diminimalisir oleh pemerintah.
Lantas Apakah PPKM Darurat Perlu Diperpanjang?
Berkaca dari situasi yang terus melonjak dan sulit terkendali, Teguh Dartanto menegaskan, kebijakan PPKM perlu diperpanjang. Akan tetapi, perpanjangan ini harus diiringi dengan bantuan sosial dan tolak ukur yang baik. Tidak hanya itu, pelaksanaannya pun harus dapat persisten dan konsisten sehingga tujuan dari kebijakan ini dapat terwujud dengan baik dan efektif.
Ilustrasi oleh Shahifa Assajjadiyyah
Editor: Maurizky Febriansyah, Muhammad Ramadhani
Discussion about this post