Kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh Egit Tri Suseno, mahasiswa FEB UI angkatan 2018, turut menyita perhatian Dekanat FEB UI. Dekanat FEB UI turut memberikan perhatian terhadap kasus tersebut. “Kami dari dekanat tentu menyesalkan kejadian ini dan turut bersimpati kepada korban dan mendukung sepenuhnya pemulihan trauma yang dialami korban serta mendukung korban untuk mendapatkan keadilan,” ujar Kepala Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) FEB UI Muhammad Irfan Syaebani. Ia berjanji bahwa tidak akan tinggal diam terhadap kasus ini, namun, pihak kampus hanya dapat memberikan sanksi yang terkait dengan pelanggaran kode etik civitas academica.
Sanksi yang dimaksud adalah yang bersangkutan dapat dikeluarkan dari kampus apabila terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap tata tertib kehidupan kampus. Selain itu, sanksi yang dapat diberikan oleh Dekanat adalah sanksi akademik sesuai dengan wewenang kampus yang terbatas pada ranah akademik, di antaranya adalah dengan memberikan skorsing dan teguran lisan ataupun tertulis. Dari sisi kemahasiswaan sendiri, sanksi yang paling berat adalah dikeluarkan dari keanggotaan IKM sehingga yang bersangkutan tidak dapat berpartisipasi dalam kegiatan kemahasiswaan dan keorganisasian, serta tidak memiliki hak untuk dipilih dan memilih dalam Pemira.
Proses Pengusutan Kasus yang Terbuka dan Transparan
Ketika ditanya mengenai tahapan Dekanat dalam mencapai tahap pemberian sanksi untuk kasus serupa, Bani menjelaskan, “Umumnya khusus untuk kasus pelecehan/kekerasan seksual, biasanya kami (Pihak Dekanat FEB UI) mendapat aduan dari HopeHelps UI. Kemudian dilakukan proses penyelidikan berupa cross-check mengenai apa yang dilaporkan dan juga mendengarkan pembelaan yang diajukan oleh tertuduh. Selanjutnya, dari hasil cross-check tersebut akan diputuskan apakah memang terjadi pelanggaran tata tertib kehidupan kampus atau tidak.”
Bani juga menambahkan, “Jika terjadi pelanggaran maka akan diberikan sanksi yang sesuai dengan kesalahannya. Dan prosesnya terbuka serta transparan, karena kami pun menghadirkan semua pihak terkait (tentu saja dengan melindungi identitas korban) dan jika sanksi sudah ada maka akan dikeluarkan keputusan berupa surat resmi dari kampus.”
Dekanat Klaim Telah Ada Upaya Pencegahan
Selanjutnya Bani mengklaim Dekanat FEB UI sendiri telah melakukan beberapa kebijakan guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, tidak hanya terkait isu kekerasan seksual tetapi juga isu lain seperti perundungan dan ekstremisme. Kebijakan itu berupa:
- Anjuran untuk kegiatan/aktivitas mahasiswa tidak dilaksanakan hingga larut malam. Jika ada kegiatan hingga larut malam maka harus ada izin khusus.
- Larangan untuk menginap di kampus atau di sekretariat organisasi.
- Anjuran untuk tidak mengadakan acara di luar kampus. Adapun jika acara harus dilakukan di luar kampus dan menginap, maka harus dikomunikasikan dan mendapat izin khusus serta harus disertai dengan surat izin orang tua.
Selain itu, Bani menambahkan bahwa universitas juga tidak tinggal diam dan melakukan berbagai upaya preventif dalam mengatasi permasalahan ini. Langkah yang dilakukan seperti meluncurkan HopeHelps UI, kanal pengaduan tindakan kekerasan seksual di kampus, serta mengadakan pelatihan terkait kesadaran akan isu kekerasan seksual bekerja sama dengan organisasi mahasiswa dan difasilitasi oleh kampus.
Urgensi Pengesahan RUU-PKS dalam Menilik Persoalan Kekerasan Seksual di Kampus
Dalam menanggapi isu ini, Bani juga berpendapat bahwa isu kekerasan seksual ini bertambah pelik akibat tidak adanya dasar hukum yang dapat menjerat pelaku. “Terlebih RUU-PKS pun tak kunjung selesai. Ini kemudian merambat panjang, korban tidak dapat mendapatkan keadilan secara hukum karena jika kasus ini diteruskan ke ranah hukum pun sulit. Akibatnya korban menjadi frustasi dan mencari celah cara untuk menghukum tertuduh,” tambah beliau.
Sekarang ini, terdapat dua cara penghukuman, namun tak satupun dapat memberikan keadilan. Opsi pertama adalah dengan membawa kasus ke pihak kampus dikarenakan baik pelaku maupun korban merupakan mahasiswa FEB UI. “Padahal jika dicermati lebih lanjut kejadiannya sebenarnya berada di luar ranah kampus, karena peristiwa terjadi di luar kegiatan yang berada di bawah pengawasan kampus dan/atau di area yang merupakan kawasan yang diawasi oleh kampus,” jelas Bani. Opsi kedua adalah dengan melakukan penghakiman sepihak (humiliation) melalui media sosial. Menurut Bani, cara ini menciderai keadilan pihak tertuduh karena dihakimi sepihak dan dipermalukan tanpa kesempatan untuk melakukan pembelaan.
Akibat kenihilan dasar hukum ini, hukum yang berlaku pada isu ini seperti hukum rimba. Baik pihak korban maupun tertuduh sama-sama kesulitan mendapatkan keadilan. Padahal, jika ada aturan dan hukum yang jelas, semua pihak terlindungi. Korban bisa mendapatkan keadilan atas kekerasan seksual yang dialaminya dan pelaku bisa dihukum dengan tetap memperhatikan asas praduga tak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang kuat.
Bani juga berpendapat bahwa budaya victim blaming harus dihilangkan. “Isu ini adalah keprihatinan kita semua dan korban bukan pihak yang seharusnya disalahkan. Semoga dari kasus ini kita belajar bahwa isu ini tidak bisa diabaikan begitu saja tanpa ada dasar hukum pidana yang mampu menjerat pelaku dan memberikan efek jera,” pungkasnya menutup wawancara.
Editor: Fadhil Ramadhan, Phillipus Susanto, Haikal Qinthara
Discussion about this post