Now I wish we would smile more
It will be okay because today’s me is doing fine
Yesterday’s you, now it’s all clear
I want to hug the many thorns in the rose that used to sprout
The smiling kid, the child who used to just laugh brightly
When I see you like that, I keep laughing
—Inner child, BTS
Penggalan bait diatas merupakan terjemahan lagu dari boyband ternama BTS yang berjudul Inner Child. Lagu yang dinyanyikan oleh anggota bernama V mengisahkan perjuangan seorang anak laki-laki yang sudah mencapai titik kesuksesannya. Meskipun begitu, anak yang telah tumbuh dewasa ini masih mendapati dalam dirinya sesosok anak kecil yang mengalami ketakutan hebat. Ia kemudian menyadari bahwa sosok tersebut akan selalu berada dalam tubuh dewasanya. Sampai pada akhirnya ia memahami, untuk menyembuhkannya, ia harus terlebih dahulu berdamai dengan masa lalu.
Berkaitan tema lagu tersebut, inner child sebagai salah satu topik dalam kesehatan mental, menarik banyak perhatian. Banyak orang yang kini menyadari kehadiran inner child dalam diri mereka, namun tidak mengetahui bagaimana cara mendamaikannya.
Sisi Positif dan Negatif Inner Child
Menurut Annisa Poedji Pratiwi, psikolog dari Charisma Consulting, inner child merupakan salah satu bagian dari keanekaragaman sub-sub kepribadian (mini personalities) dalam diri seseorang yang berwujud anak-anak. Sebagaimana sub-kepribadian yang lainnya, perwujudan dari inner child bergantung pada stimulus yang hadir dalam diri seseorang. Stimulus ini akan membuat cara berpikir, merasa, dan bentuk respons yang terlihat seolah-olah bagaikan sifat anak-anak.
Karakteristik yang tampak dari sub-kepribadian tersebut bisa berbentuk positif atau negatif. Ketika stimulus positif hadir dan sisi positif inner child lebih menonjol dalam kepribadian seseorang, maka pada saat itu free child—bagian dari inner child yang lebih mendominasi pada kepribadian seseorang. Sisi positif inner child sangat mirip dengan jiwa manusia di usia anak-anak, seperti merasa bebas, antusias, kreatif, fokus, energik, dan memiliki keingintahuan yang besar. Sayangnya, sisi negatif dari inner child muncul sebagai perwujudan sifat buruk yang terjadi ketika masih kecil, seperti tidak memiliki kontrol atas diri dan terlalu mudah mengekspresikan kemarahan. Inner child pada asalnya bersifat netral, namun seringkali dikonotasikan negatif karena muncul di waktu yang tidak tepat. Jika mini personality ini muncul pada waktu dan keadaan yang tepat, sifat tersebut bisa saja mendukung kepribadian dewasa seseorang.
Ciri-ciri Kemunculan Inner Child Negatif
Annisa kemudian menerangkan ciri-ciri kemunculan inner child yang membawa pengaruh negatif. Pertama, seorang pribadi dewasa akan menghasilkan emosi negatif, pemikiran, hingga kondisi fisik yang negatif. Ketika seseorang dihadapkan dengan suatu masalah, maka orang-orang dengan inner child negatif akan menampakkan sisi kekanak-kanakannya, seperti marah atau menyelesaikan masalah dengan cara yang tidak baik. Setelah masalah mereda, ia akan merasa bersalah atas perilakunya sebelumnya. Meskipun ia paham akan kesalahannya, ia akan terus melakukan hal yang sama secara berulang dan merasa bahwa dirinya tidak bisa mengontrol kesalahannya.
Kedua, adanya ketidakselarasan antara hati dan pikiran. Berkaitan dengan hal ini, orang-orang yang sedang melalui inner child akan lebih perhitungan dan temperamental, seperti anak kecil yang melakukan sesuatu dengan mengharapkan pengakuan atau penerimaan. Ciri terakhir, watak negatif dari inner child juga seringkali muncul pada waktu yang tidak tepat.
Tanda Pengalaman Traumatik
Annisa menuturkan adanya beberapa penelitian terbaru mengenai kemungkinan trauma yang diturunkan secara genetik atau bisa disebut dengan istilah transgenerational trauma. Pengalaman traumatik yang dialami oleh orangtua atau bahkan nenek dan kakek dapat bertransmisi melalui DNA yang mengalir seiring dengan berlangsungnya proses keturunan sehingga trauma ini memberikan sebuah ‘tugas’ untuk dipulihkan bagi orang yang mengalaminya.
Inner child awalnya terbentuk dari pengalaman ataupun kejadian yang terjadi di masa lalu. Hal ini dapat disebut sebagai adversity childhood experience, yaitu membekasnya suatu pengalaman berat atau bahkan traumatik yang dialami saat masih kecil. Tidak hanya itu, pola pengasuhan orangtua dan interaksi sosial yang kurang menyenangkan juga dapat menciptakan sub-kepribadian baru.
Inner child seringkali memunculkan diri dan membajak pribadi dewasa ketika seseorang kembali mengalami kejadian yang sudah pernah terjadi di masa lampau sehingga tanpa sadar reaksi yang dulu pernah dikeluarkan dan terpendam dalam diri akan terulang kembali. Perlu digaris bawahi bahwa setiap manusia pasti memiliki sifat inner child dalam dirinya. Hal yang membuatnya berbeda adalah bagaimana individu menyikapi sisi negatif dari sub-kepribadian inner child.
Memulihkan Inner Child
Agar pribadi dewasa dapat menyembuhkan sifat inner child yang bereaksi negatif, dianjurkan agar memiliki self awareness dan menanamkan perilaku positif di kegiatan sehari-hari. Menurut Annisa, langkah utama dalam berdamai dengan masalah ini adalah pengakuan terhadap diri sendiri dan jujur akan kenyataan bahwa dia memiliki inner child. Keadaan fisik dan mental yang baik akan mampu membantu mengenali luka maupun trauma di masa kecil. Namun, untuk memulihkannya secara menyeluruh, manusia tidak dapat melakukannya sendiri. Diperlukan tenaga psikolog klinis maupun psikiater agar dapat membantu menguraikan trauma dan berdamai dengan inner child yang tersimpan dalam pribadi seseorang. (Baca juga: Tips Pertama Kali Konseling Online dengan Psikolog: Apa Saja yang Perlu Dipersiapkan?)
Editor: Tesalonika Hana, Rani Widyan
Discussion about this post