“Fetish is the exploration of sex as art, and the refinement of one’s personal desires. Anything can be fetishized. There’ll be new fetish forever. I feel that the 21st century is all about fetish.”
Demikian jawaban seorang Rick Castro, seorang fotografer spesialis sadomasokis legendaris, ketika ditanya mengenai arti di balik kompilasi foto Rick Owens’ AW14 menswear lookbook. Pasalnya, ia menjadikan ayahnya, Ricky Owens yang berusia 93 tahun sebagai objek foto dengan pose yang mungkin bagi sebagian orang terlihat ‘aneh’. Karena foto itu dan segala kegilaannya dia dijuluki sebagai “King of Fetish”.
Berbicara mengenai fetish, menurut Zoya Amirin, seorang pakar Psikolog Seksual/ Clinical Sexologist dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia mengatakan fetish sejatinya merupakan penyimpangan perilaku seksual (paraphilia) di mana seorang individu merasa terangsang dengan bagian tubuh non-seksual atau benda-benda non-seksual. Bagian tubuh non-seksual dapat berupa bagian tubuh selain payudara dan alat kelamin, contohnya seperti jempol kaki, jari-jari kaki, telapak kaki, betis, lutut, pusar, ketiak, bahkan hingga tulang belikat.
Sedangkan benda-benda non seksual dapat berupa benda-benda yang tidak berhubungan dengan seksualitas pada umumnya seperti sex toys dan pakaian dalam (lingerie), melainkan benda-benda seperti selimut bayi, kaos kaki, sepatu hak tinggi, atau bahkan kain jarik. “Seorang penderita fetish dapat terangsang hanya dengan menyentuh, melihat, memandang bagian tubuh atau benda-benda tersebut,” jelas Zoya.
Fetish biasanya juga diikuti dengan penyimpangan seksual lainnya. Sebagai contoh, biasanya pada kelainan seksual masokisme atau sadomasokis—kepuasan seksual dicapai dengan kekerasan, ada pula fetish yang mengiringinya yaitu fetish terhadap benda berbahan kulit. Begitu pun pada necrophilia (kelainan seksual dengan mayat) terdapat fetish yang mengikutinya yaitu fetish pada kain jarik atau kain kafan.
Zoya menegaskan bahwa kelainan fetish tidak diwariskan secara genetik dan tidak dapat menular karena fetish bukan penyakit genetik maupun penyakit menular. Fetish merupakan gangguan perilaku seksual, di mana letak permasalahan ada di lingkungan sosialnya, bukan terletak pada bagaimana si individu ini diturunkan.
Indikasi Penderita Kelainan Fetish
Seorang individu terindikasi menderita kelainan fetish apabila selama kurang lebih tiga sampai enam bulan merasakan tense (ketegangan) atau tekanan yang sangat tinggi untuk mengekspresikan hasrat seksualnya. Di mana pada saat muncul ketegangan untuk mengekspresikan seksualitas fetish-nya tersebut, seorang individu tidak dapat menjalankan fungsi sosialnya secara normal, seperti tidak dapat bekerja, tidak dapat kuliah, bahkan tidak dapat beraktivitas.
Beberapa penderita kelainan fetish menyadari bahwa dirinya memiliki kelainan tersebut ketika masih berusia dini, tetapi kebanyakan teridentifikasi lebih kuat ketika dia sudah aktif secara seksual, yaitu ketika sudah mengalami pubertas. “Ketika si laki-laki sudah mimpi basah, wanita sudah menstruasi, sudah mulai keluar tanda-tanda seksual sekunder, biasanya pada masa-masa itu baru seorang individu menyadari akan hal-hal yang menimpa dirinya dan bagaimana dia berproses terhadap gangguan-gangguan seksualnya,” jelas Zoya.
Kurangnya Kasih Sayang Orang Terdekat
Ada banyak penyebab atau sumber-sumber seseorang dapat memiliki kelainan fetish. Namun, tidak seperti yang disangka oleh khalayak umum, kebanyakan orang yang memiliki gangguan fetish bukan disebabkan karena ia pernah disiksa atau mengalami pelecehan seksual pada masa kecilnya, melainkan disebabkan oleh kurangnya afeksi dari orang terdekat. Ketika orang tersebut harus mengidentifikasikan dirinya dengan rasa sayang, orang yang bisa memberikan rasa sayang dan rasa aman itu tidak didapatkan. Rasa sayang dan aman justru didapatkan dari sumber hal lain, sehingga hal-hal yang membuat ia merasakan cinta dengan nyaman ditransformasikan menjadi hasrat seksual.
Zoya mencontohkan, “Misalnya ketika seseorang tidak mendapatkan kasih sayang ibunya atau ayahnya, dia bisa merasa nyaman dengan adanya kain jarik. Jadi ketika dia memeluk kain jarik, dia merasa nyaman dan dicintai, dan akhirnya ketika dia sudah memasuki masa akil balik (pubertas), kenyamanan-kenyamanan yang didapatkan pada kain jarik itu berubah menjadi rangsangan seksual. Kira-kira sebagian besar kasusnya seperti itu, tetapi sangat bervariasi tergantung dari sumber-sumber masalah setiap orang. Ada yang bisa diidentifikasi ada yang relatif tidak bisa diidentifikasi,” terangnya.
Pengaruh Lingkungan Bukan Pemicu Utama
Meskipun fetish merupakan masalah sosial yang kerap kali dianggap erat kaitannya dengan pengaruh lingkungan, Zoya menjelaskan bahwa fetish adalah tentang bagaimana individu mengidentifikasi cinta, kasih sayang, dan masalah-masalah seksual dalam hidupnya, bukan distimulus oleh lingkungan secara garis besar. “Jadi bukan distimulasi oleh lingkungan secara garis besar, melainkan bagaimana si individu mempersepsi dirinya, cintanya, kasih sayangnya, mengidentifikasikan objek affection-nya ketika ada masa transisi, ketika dia membutuhkan perhatian kasih sayang, dan sebagainya. Jadi bukan dipicu oleh lingkungan semerta-merta,” tutur Zoya.
Zoya juga menambahkan, “Lingkungan hanya bisa memicu jika dia-nya sendiri mengalami problem pada masa proses identifikasi masalah yang dihadapi itu. Jadi bagaimana dia mentransformasi kebutuhan-kebutuhan kasih sayangnya ke dalam benda-benda atau bagian tubuh non-seksual yang akhirnya kebutuhan kasih sayang ini bertransformasi menjadi kebutuhan-kebutuhan seksual,” terangnya.
Fetish: Mekanisme Pertahanan Diri Individu yang Tidak Sehat
Fetish sebenarnya merupakan proses displacement, sebuah mekanisme pertahanan diri manusia yang tidak sehat. Rasa sayang yang tidak didapatkan oleh orang terdekat—yang seharusnya digantikan oleh hal-hal positif—justru malah digantikan oleh benda-benda yang dirasa dapat memberikan rasa kasih sayang dan aman. “Karena dia tidak bisa mendapatkan kasih sayang, lalu saat dia memegang kain jarik, memegang sepatu, ketiak, atau kaki membuat dia merasa nyaman, sehingga rasa kasih sayang yang dia butuhkan itu di-displace atau digantikan dengan bagian tubuh atau benda-benda non seksual ini. Di mana kasih sayang itu di-displace menjadi hasrat seksual,” jelas Zoya.
Sedangkan pada kondisi normal, menurut Zoya, mekanisme pertahanan diri sehat yang dipilih oleh manusia yaitu melakukan sublimasi, yaitu dengan cara merubahnya menjadi bentuk kebiasaan lain. “Misalnya dia tidak mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya, dia akan ikut karate sebagai pengganti,” terang Zoya.
Fetish Tidak Dapat Disembuhkan?
Menurut Zoya, sama seperti gangguan-gangguan seksual lainnya, fetish pada prinsipnya sama dengan diabetes, tidak bisa disembuhkan tetapi bisa terkontrol. Hasrat seksual yang muncul dari kelainan fetish belum tentu mengganggu, buktinya banyak orang yang hidup nyaman dengan kelainan fetish yang dimilikinya. Zoya juga tidak sependapat jika penyimpangan perilaku seksual yang dikaitkan dengan tindakan kriminal. “Sebenarnya penyimpangan perilaku seksual itu bukan tindakan kriminal, itu hanya hasratnya, dia punya hasrat pedofil sekalipun, dia punya hasrat kepada anak kecil enggak papa, asal jangan dia melampiaskan hasrat itu. Itu yang bahaya kan?” ujar Zoya.
Yang terpenting menurut Zoya adalah bagaimana caranya ketika seseorang memiliki kelainan fetish, seseorang tersebut dapat melampiaskan hasrat seksualnya tanpa pemaksaan (coerciveness) atau dengan atas dasar suka sama suka (consensual). Zoya memberi contoh pada kasus fetish kain jarik, “Misalnya kasus fetish kain jarik, kalau dia (Gilang -red) menyukai orang yang terbungkus kain jarik, mengapa dia tidak meminta baik-baik, (bisa dengan mengatakan) “Saya tuh merasa terangsang loh ketika kamu terbungkus dengan kain jarik. Tetapi, tidak manipulasi alasan riset sebagai mahasiswa fakultas sastra,” jelasnya.
“Apakah semua penyimpangan harus disembuhkan? Tidak. Yang penting tidak melakukan kekerasan atau kejahatan pada orang lain. Tidak ada orang yang berharap untuk mempunyai sebuah penyimpangan atau hasrat seksual yang berbeda dari kebanyakan orang lain, tetapi ketika itu dialami dia dapat meminta bantuan untuk dapat mengekspresikan hasrat seksualnya itu dengan cara yang lebih sehat. (Salah satu) caranya dengan berproses pergi berkonsultasi dengan seksolog.”
Hukuman Pidana: Sudahkah Tepat?
Zoya mengatakan pemberian hukuman pidana tidak dapat ditinjau dari aspek psikologis, sebab pada dasarnya hukuman pidana diberikan kepada semua manusia untuk memberi efek jera. Dalam kaitannya dengan penderita kelainan fetish, hukuman pidana hanya dapat memberi efek jera untuk menghukum tindakan memaksa, tidak konsensual, atau manipulatif yang dilakukan oleh penderita fetish dalam mengekspresikan hasrat seksualnya. Namun, hukuman pidana tidak dapat memberikan kesembuhan pada gangguan fetish-nya, karena untuk mengontrol kelainan fetish tersebut harus ada rehabilitasi, tetapi untuk memberikan efek jera supaya tidak memaksa orang lain.
Sejalan dengan pendapat Zoya, Dosen Kriminologi Universitas Indonesia, Dr. Arthur Josias Simon juga mengatakan bahwa kelainan fetish baru dapat disebut pelanggaran hukum atau kejahatan apabila kelainan fetish yang dilakukan telah memenuhi unsur-unsur pidana atau pelanggaran hukum, seperti penganiayaan, pembunuhan, atau menimbulkan kerugian. Ia juga berpendapat bahwa sebaiknya diberlakukan treatment khusus terlebih dahulu sebelum dibawa ke ranah hukum. Sebab, hukuman pidana belum tentu efektif apabila dikenakan bagi penderita kelainan fetish. Menurutnya, efektif atau tidaknya hukuman pidana terhadap penderita kelainan fetish sangat bergantung pada motif, jenis pidana, kebutuhan risiko pelaku, dan sistem peradilan pidana. “Efektif bila pelaku menyadari dan tidak berbuat kembali (proses pemulihan). Tidak efektif jika hukuman penjara malah menimbulkan efek prisonisasi,” tutup Arthur.
Editor: Tesalonika Hana, Rani Widyaningsih
Ilustrasi: Haikal
Discussion about this post