Ingatkah kapan terakhir kali kamu membuat sebuah daftar pertimbangan sebelum memutuskan untuk membeli sesuatu? Asumsikan kamu ingin membeli sepatu baru tetapi dihadapkan pada pilihan merek yang beragam dengan spesifikasi yang berbeda-beda. Kamu akan menelusurinya satu per satu dan membuat daftar kekurangan maupun kelebihannya secara rinci. Namun, di sisi lain, kamu telah menentukan pilihan secara tidak langsung sampai tidak perlu lagi membuat daftar pertimbangan yang akan membuang waktu saja.
Seorang profesor dari Harvard University, Gerald Zaltman, mengatakan bahwa 95% konsumen memutuskan suatu pembelian di bawah sadar mereka. Nyatanya, konsumen tidak selalu berpikir secara rasional. Mereka seringkali bertindak berdasarkan naluri atau dorongan dari rasa emosional sendiri. Phillip Adcock, seorang pakar perilaku konsumen, mengatakan bahwa reaksi emosional timbul 3000 kali lebih cepat daripada pikiran rasional sehingga manusia cenderung menggunakan rasionalitasnya untuk memvalidasi dorongan awal mereka. Hal ini terbukti dalam eksperimen uji rasa Pepsi dan Coke yang dilakukan oleh Read Montague pada tahun 2004. Dalam tantangan tersebut, responden mencicipi Coke dan Pepsi secara buta. Menurut fMRI (Functional Magnetic Resonance Imaging) yang digunakan untuk memindai otak, responden lebih menyukai rasa Pepsi daripada Coke. Namun, sebelum uji dimulai, mereka mengatakan hal sebaliknya. McClure et al. (2004) menemukan bahwa strategi pemasaran dan citra merek Coke jauh lebih baik daripada Pepsi dan berhasil menciptakan sugesti bahwa Coke memiliki rasa yang lebih enak.
Dewasa ini, perusahaan mulai mengembangkan strategi pemasaran melalui teknologi pencitraan otak atau neuromarketing. Teknologi ini merupakan kombinasi antara ilmu saraf, psikologi, dan pemasaran yang dapat memahami
perilaku konsumen melalui aktivitas otak, emosi, dan respons pikir terhadap sebuah produk atau iklan. Berbagai dimensi pada neuromarketing dapat memengaruhi konsumen untuk menjatuhkan pilihannya terhadap produk dari merek tertentu, seperti suara, warna, rasa, bau, visual, bahkan emosi.
Salah satu bentuk dari dimensi suara adalah jingle atau musik pendek yang berisi slogan suatu merek. Jingle kerap digunakan sebagai metode psikologis yang diterapkan kepada konsumen untuk mengingat suatu produk dan meningkatkan penjualan pasar. Jingle akan membentuk sebuah citra unik di benak konsumen mengenai produk yang ditawarkan. Musik yang populer dan irama yang mudah diingat akan memberikan stimulus yang lebih efektif pada otak untuk menarik perhatian konsumen. Hal ini dapat dibuktikan dengan penggunaan electroencephalograph (EEG), sebuah alat yang dapat memahami respons stimulus dari konsumen melalui pengukuran aktivitas listrik yang terjadi di dalam otak. Jingle yang mudah diingat akan menghasilkan energi yang besar dalam F4 channel, salah satu channel EEG yang terletak di area frontal pada otak sebagai penyimpan short-term memory. Dalam beberapa studi, telah terbukti bahwa jingle dari merek ternama mampu menghasilkan energi terbesar pada EEG dan mampu mempengaruhi perilaku konsumen untuk melakukan pembelian.
Neuromarketing memiliki peran krusial dalam membentuk strategi perusahaan untuk mencapai target pasar dengan cara yang lebih efektif. Meskipun begitu, konsumen kerap merasa hak privasinya terancam karena neuromarketing memiliki tingkat akurasi yang tinggi dalam memprediksi sebuah pilihan. Konsumen merasa perusahaan lebih mengetahui apa yang mereka inginkan daripada diri mereka sendiri untuk tujuan komersial tanpa pengetahuan atau persetujuan mereka. Namun, hal ini dianggap berlebihan, mengingat tidak semua konsumen aktif berpartisipasi dalam studi penelitian eksperimental neuromarketing. Selain itu, prosedur persetujuan tindakan telah memastikan bahwa setiap individu yang terlibat dalam proses penelitian mengizinkan penggunaan data dan memiliki kontrol atas partisipasi mereka. Individu perlu memahami tujuan keterlibatannya secara menyeluruh sehingga tidak merasa sekadar digunakan sebagai subjek belaka.
Konsumen menilai neuromarketing menghalangi mereka untuk menetapkan keputusan pembelian atas dasar kebebasan memilih yang dimiliki oleh setiap individu. Namun realitanya, prediksi neuromarketing lebih bersifat probabilistik dibandingkan deterministik. Perusahaan yang mengimplementasikan neuromarketing mampu membantu konsumen mendapatkan produk yang mereka inginkan, bukan memaksa maupun menentang keinginan mereka sendiri. Pada akhirnya, konsumen tetap memiliki kebebasan untuk memilih karena neuromarketing tidak dapat membuat konsumen menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak mereka minati.
Selanjutnya, konsumen juga menganggap kehadiran neuromarketing dapat memanipulasi otak mereka untuk menjadi lebih konsumtif. Neuromarketing seakan-akan menekan tombol beli yang ada di dalam otak mereka. Meskipun begitu, seorang ilmuwan saraf, Molly Crocket mengonfirmasi bahwa neuromarketing tidak dapat membaca pikiran atau bahkan menghalangi niat awal manusia. Tidak ada hal seperti tombol beli yang berada di dalam otak manusia. Hal itu hanya suatu respons otak dalam mengintegrasikan berbagai sinyal dan informasi untuk menghasilkan keputusan pembelian.Seperti yang kita ketahui, sesuatu yang berlebihan tidak selalu baik. Begitu juga dengan teknologi neuromarketing yang mendapatkan tanggapan negatif dari konsumen akan hal privasi, kebebasan memilih, dan manipulasi dalam pengambilan keputusan pembelian. Neuromarketing tetap memiliki batasan seperti teknologi lainnya yang tidak dapat menyaingi akal budi manusia. Oleh karena itu, kita bisa mengombinasikan pemahaman perilaku manusia dengan analisis data melalui neuromarketing untuk meningkatkan personalisasi dalam penargetan perusahaan kepada konsumen tanpa merasa terancam.
Foto oleh Mediamodifier
Editor: Muhammad Rafly Fadhly Putra
Referensi:
Berjanovic, D. (2018, September 14). Is there a “buy” button inside the brain – Danica Berjanovic – Medium. Medium; Medium. https://medium.com/@danica.berjanovic/is-there-a-buy-button-inside-the-brain
Chierotti, L. (2018, March 26). Harvard Professor Says 95% of Purchasing Decisions Are Subconscious. Inc.com; Inc. https://www.inc.com/logan-chierotti/harvard-professor-says-95-of-purchasing-dec isions-are-subconscious.html
Flores, J., Baruca, A., & Saldivar, R. (2014). Is neuromarketing ethical? Consumers say yes. Consumers say no. Journal of Legal, Ethical and Regulatory Issues, 17(2), 77–91.
https://digitalcommons.sacredheart.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1390&contex t=wcob_fac
Friday Talk: Neuromarketing Can be Great, But Be Careful | State of Digital. (2013, February 8). State of Digital. https://www.stateofdigital.com/friday-talk-neuromarketing-can-be-great-but-be-ca reful/
Hilman Fauzi, Rafif Rizqullah, Ariyanti, M., & Ivy Anindhita Hadyningtyas. (2022). Neuromarketing Study: The Effect of Jingle on Consumer Behavior. Asean Marketing Journal, 14(2). https://doi.org/10.21002/amj.v14i2.1204
Jacobson, B. (2017, October 23). Debunking 5 Big Myths About Neuromarketing. Orbit Media Studios. https://www.orbitmedia.com/blog/neuromarketing-myths/
McClure, Samuel M. & Li, Jian & Tomlin, Damon & Cypert, Kim & Montague, Latané & Montague, Pendleton. (2004). Neural Correlates of Behavioral Preference for Culturally Familiar Drinks. Neuron.
When Neuromarketing Crosses the Line. (2019, January 23). Harvard Business Review. https://hbr.org/2019/01/when-neuromarketing-crosses-the-line
Discussion about this post