Tepat hari ini, 20 Januari 2019, Edy Rachmayadi turun dari jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI pada Kongres PSSI 2019 di Bali.
Sudah menjadi rahasia umum, praktik match-fixing sangat kental dengan PSSI. Sehingga, tak peduli seberapa lihai permainannya dan semahir apapun skill pemainnya, skor akhir sudah ditentukan dari awal oleh para pengurus PSSI.
Untuk menghadapi hal tersebut, Polisi membentuk Satgas Antimafia Bola untuk mengusut kasus tersebut akhir 2018 lalu. Namun, PSSI sangat sulit ditembus bagaikan Benteng Takeshi. Organisasi persatuan sepakbola ini begitu eksklusif dan tidak mau terbuka. Sesuai prosedur, Satgas tersebut akhirnya memutuskan untuk memanggil semua eksekutif PSSI untuk menelisik lebih lanjut. Dari tubuh PSSI sendiri, Edy, sebagai Ketua Umum, sangat mendukung Satgas untuk terjun ke dalam kepengurusannya. Mengikuti pemimpinnya, Ratu Tisha (Sekretaris) dan Berlington Siahaan (Bendahara) yang memenuhi panggilan Satgas. Namun, Joko Driyono (Wakil Ketua Umum) yang merupakan orang lama di PSSI sama sekali belum memenuhi panggilan polisi terkait pemberantasan kasus match-fixing tersebut. Hal ini memunculkan dua kubu yang berseberangan pada tubuh eksekutif PSSI yang berujung pada mundurnya Edi, sang Ketua Umum.
Beberapa pertanyaan muncul, apakah memang sistemnya yang salah atau memang para pengurusnya yang salah?
Seperti yang dilansir Kompas (20/1), “saya mundur bukan karena saya tidak bertanggung jawab, tetapi karena saya bertanggung jawab,” ucap Edy dalam pidatonya. Dari pidato tersebut, kata “tanggung jawab” memiliki makna yang abstrak. Tidak jelas, apa tanggung jawab mereka yang dapat kita rasakan, kepada siapa mereka bertanggung jawab, dan apa saja tolak ukur yang jelas dari tanggung jawab tersebut. Jika memang benar, PSSI bertanggung jawab pada masyarakat, mengapa PSSI begitu eksklusif dan masyarakat tidak boleh mengetahui informasi apa yang ada didalamnya? Dari sistemnya sendiri, belum jelas. Jika sudah begini, tidak aneh PSSI begitu eksklusif, dan pengurus didalamnya memiliki performa yang tidak begitu bagus, dan itu bukan sepenuhnya salah para pengurusnya. Jika dibiarkan seperti ini, mau siapapun pengurusnya, PSSI akan sama saja sampai kapanpun.
Namun sebenarnya, mendalami permasalahan saja belum cukup dalam menyelesaikan masalah. Sesungguhnya, solusi apa yang dibutuhkan? Bagaimana cara supaya kondisi seperti ini tidak terulang?
Menurut Jensen & Meckling, 1976 melalui teori keagenan, cara untuk mengatasinya adalah dengan menghadirkan pihak yang jelas bagi pengurus PSSI untuk mereka mempertanggungjawabkan pekerjaannya. Nantinya, pihak tersebut yang akan memantau kinerja PSSI secara berkala dan menegur secara langsung apabila mereka mangkir dari kewajibannya.
Tak hanya dari segi struktur, keuangan juga perlu diperhatikan untuk mendukung solusi tersebut. Solusi yang pertama adalah PSSI berutang terlebih dahulu. Menurut Myers & Majluf, 2000, dalam teori Capital Structure-nya, hutang dapat membuat manajer untuk dapat bekerja lebih baik. Dengan hutang, pengurus PSSI dapat secara sukarela untuk bekerja lebih giat. Jika tidak, PSSI akan terlilit utang dan tentu berdampak pada nama baik para pengurus.
Jika memang belum berhasil, solusi kedua yaitu menggunakan pihak ketiga. Mereka dapat menggunakan Kantor Akuntan Publik untuk mengaudit dan mengukur kinerja, sekaligus membuktikan kepada publik bahwa kinjera diukur secara objektif. Tidak hanya asal jadi juara, parameter keuangan yang sehat juga dibutuhkan bahwa pengurus PSSI adalah pengurus yang profesional.
Solusi terakhir, jika proses audit belum cukup, PSSI dapat melakukan press release rutin atas informasi perusahaannya. Sehingga, publik dapat mengukur secara objektif kinerja dari pengurus PSSI serta memberikan rekomendasi agar PSSI dapat berkembang menjadi Persatuan Sepakbola yang lebih professional.
Tapi, apa urusan kita membahas ini?
Editor: Dimas Kusuma
Penulis: Tri Sutrisno Adri
Foto: Bola.com
Tri Sutrisno Adri dan Dimas Kusuma adalah mahasiswa Manajemen FEB UI yang tertarik dalam studi budaya dan industri kreatif.
Discussion about this post