Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) menyelenggarakan sesi diskusi online tentang kegagalan pemerintah dalam menangani pandemi yang sedang berlangsung. Diskusi diadakan secara langsung melalui akun Instagram @bemui_official pada tanggal 7 April 2020 pukul 19.00, dengan Ketua BEM UI 2020, Fajar Adi Nugroho, sebagai moderator dan Kepala Biro Penelitian dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang & Korban Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar, sebagai pembicara tentang masalah yang ada.
Terdapat kekhawatiran masyarakat mengenai langkah pemerintah dalam meminimalisir dampak pandemi Covid-19. Pasalnya, Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa ada perbedaan antara data yang disediakan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan pemerintah daerah. Kurangnya transparansi dalam data yang disediakan oleh pemerintah pusat dinilai mampu menghalangi pihak-pihak untuk menentukan langkah-langkah yang tepat dalam melindungi diri mereka sendiri dan orang lain. Kurangnya transparansi dan perbedaan data yang ada telah menyebabkan kepanikan nasional di antara masyarakat.
Masalah ini semakin diperbesar karena pemerintah mengelak telah memberikan informasi yang asimetris antara pemerintah pusat dan daerah, dan menyalahkan pemerintah daerah atas kesalahan penanganan karena kurangnya kepatuhan mereka pada aliran birokrasi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Selanjutnya, pemerintah pusat juga mencegah pemerintah daerah mengambil langkah-langkah independen untuk mengurangi jumlah kematian lewat yurisdiksi masing-masing, seperti isolasi mandiri di seluruh kota. “Negara itu penting,” kata Rivanlee, “untuk menjamin ruang kritik dari tenaga medis yang mengeluhkan atau memberi masukan, (untuk) menjamin tersebarnya (alat pelindung diri) secara merata dari pemerintah pusat, dan itu harus dipantau. Ketiga, membuka data tenaga kesehatan yang sudah gugur sampai hari ini, dan menyampaikannya ke publik,” jelasnya.
Keengganan pemerintah pusat untuk mendelegasikan dan mendistribusikan kekuasaan ke berbagai daerah, telah mengurangi langkah-langkah pencegahan yang dapat menurunkan jumlah kematian dan mempertaruhkan daerah-daerah yang kurang siap dengan arus pergerakan orang yang tidak terkendali.
Salah satu langkah yang diambil oleh pemerintah pusat dalam menangani krisis pandemi adalah melalui penerapan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang pada awalnya sempat dicegah ketika diterapkan secara mandiri oleh pemerintah daerah. Tetapi kebijakan tersebut menuai kontra ketika Kepolisian RI (Polri) mengeluarkan pernyataan tentang adanya hukuman terhadap pelaku penyebaran hoaks tentang Covid-19 dan juga penghinaan pada presiden.
Kepanikan antar penduduk meningkat lebih cepat ketika presiden menyebutkan kemungkinan darurat sipil. Kekhawatiran penyalahgunaan kekuasaan bukan tanpa dasar, karena langkah-langkah yang diambil dalam menerapkan PSBB telah mengarah pada penegakan hukuman penjara. Kurangnya parameter tetap dan terukur yang ditetapkan dalam menetapkan status darurat sipil dapat meningkatkan tingkat kecemasan ditengah masyarakat, dan dianggap mengurangi ruang kritik di masyarakat.
Rivanlee menyatakan keproaktifan masyarakat dalam masalah yang dihadapi akan menjadi kunci dalam menentukan nasib bangsa ini. Keterlibatan publik dengan hal ini memastikan bahwa kami dapat meminta pertanggungjawaban pemerintah atas pilihan apapun yang mereka putuskan demi keamanan dan kesehatan masyarakat.
Dalam pernyataan penutupnya, dia kembali menegaskan pentingnya penggunaan ruang apa pun yang kita miliki untuk mengkritisi tindakan pemerintah, menuntut keterbukaan dalam informasi publik, dan menekan pemerintah menempatkan para ahli, seperti medis dan praktisi dalam menentukan kebijakan. “Posisikan mereka di atas kepentingan politik,” seru Rivanlee, “karena jika tidak, berarti masih ada ketertutupan informasi, ego sektoral tinggi,” tutup Rivan.
Beberapa cara pemerintah dinilai gagal dalam menangani pandemi ini disebabkan oleh sifat birokrasi pemerintah pusat dan ketakutan yang berasal dari erosi sistem pemerintahan itu. Isu-isu seperti kurangnya transparansi data mengenai masalah ini, penyalahan pemerintah daerah dalam menangani situasi, dan juga proposal terbaru dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Darurat Sipil, kerap dikritik karena dinilai kurang akuntabel dan berpotensi pada penyalahgunaan oleh pihak berwenang.
Editor: Rani Widyaningsih, Haikal Qinthara
Discussion about this post