Penulis: Nahla Nurusshafa | Editor: Prisca Lidya Patty
Dalam rangka mendorong pemasukan pemerintah pada sektor pajak, pada Selasa, 28 Juni 2016 DPR akhirnya resmi mengesahkan UU mengenai tax amnesty atau pengampunan pajak. Perjalanan pengesahan RUU tax amnesty hingga menjadi sebuah undang-undang pada Selasa lalu menuai pro-kontra dari berbagai kalangan. Dalam sidang paripurna penentuan UU ini, terdapat kubu 3 fraksi yang menolak pengesahan UU tax amnesty yaitu Fraksi PKS, Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Partai Demokrat. Selain itu, penolakan datang dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA). Namun, banyak pula pihak yang menilai kebijakan ini adalah kebijakan yang tepat untuk ditempuh Indonesia saat ini, ditengah adanya defisit anggaran sebesar 1,3% dari PDB dan ekonomi yang terus lesu. Lalu, apakah tax amnesty merupakan jalan terbaik yang harus Indonesia tempuh untuk memperbaiki segala kondisi yang ada?
“Tax amnesties have been designed to cover all taxpayers, broad categories of taxpayers (e.g., small taxpayers, identified delinquent taxpayers), or tax types (e.g., corporate income tax, sales tax). Amnesties differ with regard to what is forgiven (e.g., interest, penalties, tax liabilities, criminal prosecution). In some cases, only the penalty and interest components of the liability—which often account for the bulk of the overall tax debt—may be forgiven, partially or fully. In other cases, the basic tax liability itself may be reduced.” (IMF, 2006)
Tax amnesty adalah kebijakan pemerintah memberikan pengampunan pajak kepada wajib pajak yang pernah melakukan pelanggaran perpajakan di masa lalu. Tax amnesty diberikan dengan tujuan untuk mendapatkan kembali basis data pajak yang lebih baik. Disamping itu, mengajak mereka yang pernah melakukan pelanggaran untuk melaporkan kembali pajaknya secara benar sehingga diharapkan meningkatkan kepatuhan terhadap perpajakan di masa depan.
Permasalahan seperti kebutuhan Indonesia untuk menutup defisit anggaran, melakukan pembangunan untuk memacu pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan penyerapan anggaran dari sektor pajak merupakan alasan diberlakukannya kebijakan tax amnesty ini. Namun, apakah tax amnesty adalah solusi terbaik dalam mengatasi permasalahan tersebut?
Kebutuhan Melaksanakan Tax Amnesty
Dalam kebijakan APBN 2016 pemerintah menetapkan target penerimaan pendapatan negara sebesar Rp1.822,5 triliun, dan sumbangan perpajakan mencapai 75% atau sebesar Rp1.360,2 triliun. Berbeda dalam APBN-P 2015 yaitu sebesar Rp1.761,6 triliun dan sumbangan perpajakan mencapai Rp1.294,3 triliun. Kenaikan ini diharapkan ada pada pajak penghasilan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Untuk mendorong penerimaan negara pemerintah mengusulkan adanya kebijakan tax amnesty. Dalam rangka memperkuat basis pajak, tax amnesty diharapkan dapat memperkuat APBN melalui penerimaan pajak baru. Selain itu, ada ekspektasi potensi penerimaan yang akan bertambah dalam APBN kita baik di tahun ini dan di tahun-tahun mendatang, agar APBN kita lebih sustainable. Aturan pelaksanaan tax amnesty ini adalah sebagai berikut:
- Untuk wajib pajak usaha kecil menengah yang mengungkapkan harta sampai Rp10 miliar, tarif tebusan sebesar 0,5%, sedangkan yang mengungkapkan lebih dari Rp 10 miliar dikenai 2%.
- Wajib pajak yang bersedia merepatriasi asetnya di luar negeri akan diberikan tarif tebusan sebesar 2% untuk Juli-September 2016, 3% untuk periode Oktober-Desember 2016, dan 5% untuk periode 1 Januari 2017 sampai 31 Maret 2017.
- Wajib pajak yang mendeklarasikan asetnya di luar negeri tanpa repatriasi akan dikenai tarif 4% untuk periode Juli-September 2016, 6% untuk periode Oktober-Desember 2016, dan 10% untuk periode Januari-Maret 2017.
Dengan adanya tax amnesty ini, biaya yang seharusnya dibayar wajib pajak yang lalai (tax avoider) akan lebih rendah, sehingga hal tersebut akan menginsentif para tax avoider untuk melaporkan hartanya sehingga meningkatkan penerimaan perpajakan dan menambah realisasi penerimaan negara. Sehingga dengan adanya hal tersebut, kebijakan ini akan mempengaruhi kebijakan ekonomi secara menyeluruh, seperti meningkatkan likuiditas negara, maupun meningkatkan penerimaan pemerintah sehingga pendapatan negara akan semakin besar, dan pengeluaran pemerintah bisa lebih besar untuk pembangunan. Hal ini berimplikasi dengan peningkatan pembangunan, dan mengurangi pengangguran.
Rencana kebijakan tax amnesty ini akan dilaksanakan selama satu tahun, dimulai paling lambat 1 Juli 2016 dan akan berakhir pada akhir Maret 2017. Harapan dari pelaksanaan kebijakan ini adalah meningatkan jumlah penerimaan pajak sebesar 165 triliun rupiah. Tax amnesty hanya mengampuni sanksi pajak terdahulu, dengan mekanisme penetapan 2% untuk asset yang belum dilaporkan. Tax amnesty berbeda dengan tarif pajak normal dimana penetapan 25% tarif pajak normal untuk badan terhadap income, dan 30% tarif pajak normal untuk orang terhadap income. Tax amnesty diharapkan akan menjadi repatriasi terhadap dana di luar negeri, dan menambah likuidasi Indonesia.
Konsekuensi Pelaksanaan Tax Amnesty
Walaupun tax amnesty digadang-gadang akan menaikkan penerimaan pemerintah dan mempercepat proses pembangunan, hal ini tidak bisa dijadikan satu-satunya landasan pelaksanaan tax amnesty. Pengampunan pajak juga belum tentu berhasil menarik dana yang di simpan di luar dan belum tentu berhasil menambah likuiditas dalam negeri (Jay K). Pasalnya, Indonesia juga telah menetapkan kebijakan serupa pada tahun 1984 dan terbukti tidak efektif. Kemudian pemerintah kembali menetapkan kebijakan serupa yang dikenal dengan kebijakan sunset policy tahun 2008. Pemerintah memberikan penghapusan sanksi administrasi bagi WP yang kurang bayar maupun melakukan kesalahan dalam pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) pajaknya. Sayang, kebijakan tersebut juga tidak terbukti efektif.
Selain itu, Rosengard, direktur akademis Harvard Kennedy School, menyatakan pengampunan pajak tanpa reformasi sistem perpajakan akan memunculkan moral hazard. Michael Keen, Deputi Direktur Departemen Fiskal IMF juga mengatakan hal senada. Menurutnya, sulit untuk menemukan alasan yang kuat untuk mendukung kebijakan ini. Pelaksaan tax amnesty ini akan menciderai keadilan sosial bagi para wajib pajak yang selama ini taat membayar pajak. Bagimana tidak, masyarakat yang taat membayar pajak akan mendapatkan kondisi yang sama dengan pelanggar pajak (tax avoider). Para tax avoider ini akan menanggung biaya yang lebih murah akan tunggakan pajak yang selama ini tidak dibayarkannya, Selain itu tax amnesty dapat menginsentif masyarakat untuk malas membayar pajak bagi para pembayar pajak taat karena adanya kebijakan ini. Stigma baru akan kepatuhan membayar pajak mungkin akan kian luntur dikarenakan tax amnesty. Kecenderungan untuk berpikir adanya tax amnesty lagi di kemudian hari akan meningkat, sehingga hal tersebut membuat kemalasan membayar pajak bagi wajib pajak yang patuh akan timbul. Parle & Hirlinger (1986) juga tidak menemukan adanya keuntungan jangka panjang dari kebijakan ini. Disamping itu, adanya kebijakan tax amnesty ini dapat menyebabkan potensi penerimaan negara akan berkurang. Hal tersebut dikarenakan jumlah yang seharusnya didapatkan negara terpotong akibat adanya tax amnesty.
Tepatkah Tax Amnesty sebagai Jalan Keluar Permasalahan yang Ada?
Data yang diperoleh dari direktorat pajak dan kementrian keuangan menunjukkan bahwa pada 31 Agustus 2015, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 598,270 triliun. Dari target penerimaan pajak yang ditetapkan sesuai APBN-P 2015 sebesar Rp 1.294,258 triliun, realisasi penerimaan pajak mencapai 46,22%. Pertumbuhan tertinggi dicatatkan oleh PPh Non Migas Lainnya yakni 63,91%, atau sebesar Rp 63,73 miliar dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp 38,88 miliar. Dengan kinerja tersebut, penerimaan dari PPh Non Migas Lainnya sudah mencapai 96,80% dari target yang ditetapkan di tahun 2015. Pertumbuhan tertinggi kedua dicatatkan oleh PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi yakni 27,63%, atau sebesar Rp 4,225 triliun dibandingkan periode yang sama di 2014 sebesar Rp 3,310 triliun. Dengan kinerja tersebut, penerimaan dari PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi sudah mencapai 81,03% dari target yang ditetapkan di tahun 2015.
Pertumbuhan yang tinggi ini salah satunya dipicu oleh tingginya pelunasan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) buah dari keberhasilan deterrent effect penegakan hukum khususnya pencegahan ke luar negeri dan penyanderaan (gijzeling) wajib pajak.
Tak berbeda dengan data di atas, realisasi penerimaan pajak tahun 2013 adalah 916,299.57 miliar rupiah atau sebesar 92.07% dari rencana penerimaan pajak. Kondisi ini membaik dari tahun 2012 yaitu sebesar 835,255.12 miliar rupiah dengan pertumbuhan 9.70%. Tren realisasi pajak terus meningkat dari tahun ke tahun.
Sedangkan menurut laporan ekonomi dan keuangan bulan April yang dikeluarkan kementrian keuangan melalui badan kebijakan fiskal menyatakan bahwa pada tahun 2015 tax to GDP ratio Indonesia hanya sekitar 10,9 persen, lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN yang berada pada kisaran 14-15 persen.
Kendati demikian, hal ini menunjukkan bahwa realisasi penerimaan pajak, tidak menunjukkan kekhawatiran yang berlebih. Buktinya, data mengenai realisasi pajak 2015 mulai membaik daripada 2014, pun sama halnya dari tahun 2012 ke 2013 di mana terdapat pertumbuhan secara konsisten.
Realisasi Penerimaan Negara 2010-2016 (dalam miliar rupiah)
Keterangan:
- LKPP
- APBN-P
- RAPBN
Tax amnesty tidak perlu dilakukan dalam upaya peningkatan penerimaan pemerintah melalui pajak. Walaupun penerimaan pajak kita tergolong rendah – ditinjau dari tax to GDP ratio yang masih meunjukkan angka 10,9 persen, hal yang perlu dilakukan pemerintah adalah memperbaiki penegakan hukum dalam pajak, pencegahan ke luar negeri dan penyanderaan wajib pajak, hal serupa yang dilakukan pemerintah pada tahun 2015 untuk meningkatkan penerimaan pajak. Hal ini merupakan cara alternatif yang dapat ditempuh pemerintah walaupun tidak bisa memberikan peningkatan penerimaan pajak secara instan. Memperbaiki regulasi dan memperketat penegakan hukum bagi penyeleweng pajak merupakan tugas jangka panjang yang harus ditempuh pemerintah.
Setiap kebijakan tidak bisa terlepas dari sisi negatif sebagai konsekuensi logis adanya trade-off yang dilakukan pemangku kebijakan. Pemangku kebijakan hanya bisa menimbang mana yang membawa dampak lebih besar dalam pelaksanaannya untuk masyarakat secara luas. Undang-undang mengenai tax amnesty telah resmi ditetapkan sejak Selasa, 28 Juni 2016 dan akan mulai diberlakukan paling lambat 1 Juli 2016. Yang paling penting saat ini adalah mengawasi pemberlakuan UU ini agar berjalan sesuai dengan aturan, dan memperjelas aturan yang ditetapkan bagi pemangku kebijakan. Aturan yang ada harus sebisa mungkin melindungi lebih banyak pihak dari ketidakadilan yang ada dari UU ini. Sebagai warga negara Indonesia yang taat pajak, adalah sebuah kebutuhan dan keharusan untuk mengawasi penerapan kebijakan baru pemerintah ini.
Nahla Nurusshafa (Management 2015), is a Junior Analyst at B.O. Economica. Future economist who has interest in social affairs and humanity.
Referensi:
Budget Office, Congressional. (2011). Reducing the Deficit: Spending and revenue Option: The Congress of The United States
Kemenkeu. (2016). Laporan Ekonomi dan Keuangan Mingguan (4-10 April 2016): Badan Kebijakn Fiskal
Le Borgne, Eric. (2006). Economic and Political Determinants of Tax Amnesties in the U.S. States: IMF Working Paper
“Realisasi Penerimaan Pajak Per 30 November 2015 | Direktorat Jenderal Pajak”. Pajak.go.id. N.p., 2016. Web. 15 Apr. 2016.
“Tax Amnesty Dan Kinerja Perpajakan 2016 | Kementerian Keuangan RI | Ministry Of Finance Of Republic Of Indonesia”. Kemenkeu.go.id. N.p., 2016. Web. 14 Apr. 2016.
“Tax Amnesty Dan Momentum Reformasi | Kementerian Keuangan RI | Ministry Of Finance Of Republic Of Indonesia”. Kemenkeu.go.id. N.p., 2016. Web. 15 Apr. 2016.
“Tax Amnesty | Kementerian Keuangan RI | Ministry Of Finance Of Republic Of Indonesia”. Kemenkeu.go.id. N.p., 2016. Web. 15 Apr. 2016.
Discussion about this post