Baru-baru ini, sivitas akademika Universitas Indonesia (UI) dikagetkan oleh postingan terkait pengunduran diri 13 anggota Satgas PPKS UI Periode 2022-2024 pada Senin (01/04). Dalam rentang waktu 1 Januari 2023 hingga 4 Maret 2024, Satgas PPKS UI telah menerima dan menangani 78 laporan kasus kekerasan seksual dan kini tersisa satu kasus yang masih dalam proses penanganan. Sayangnya, dalam menangani setiap kasus, tindakan Satgas PPKS UI ini tidak mendapatkan kepedulian dan tindak lanjut dari pihak universitas.
Dalam pertemuan yang terpisah, Economica berkesempatan mewawancarai Yohanna Magdalena (Yohanna), Mantan Anggota Satgas PPKS UI, dan Rendy Dharmawansyah (Rendy), Mantan Fungsionaris Departemen Aksi dan Propaganda (Akprop) BEM UI untuk mendengarkan respon mereka mengenai pengunduran diri Satgas PPKS UI.
Kacaunya Sistem Keuangan Satgas PPKS UI
Salah satu alasan yang memperkuat pengunduran diri Satgas PPKS UI adalah masalah sistem keuangan, di mana mahasiswa secara sukarela bekerja selama 12 jam sehari dan sering mengeluarkan uang pribadi mereka untuk aktivitas di lapangan. “Semua anggota satgas sudah pernah nombok. Misalnya tiba-tiba ada kejadian kasus pemerkosaan, tentu perlu segera diperiksa secara medis karena baru terjadi. Tentu saja kita tidak bisa melewatkan celah waktu yang sedikit ini, lalu duitnya dari mana? Kita tidak punya duit kan, ya sudah akhirnya ‘Oh ini gua punya duit lebih, ini duit sekian ratus ribu’ gitu,” ujar Yohanna, salah satu mantan anggota Satgas PPKS UI.
Yohanna juga menyayangkan tidak adanya sistem anggaran resmi dari Satgas PPKS UI. Ini membuat ia dan anggota lainnya yang seorang mahasiswa, dosen, dan tenaga pendidik biasa harus mengeluarkan uang lebih (di luar kebutuhan sehari-hari) untuk menangani berbagai kasus yang masuk. “Bahkan, aku juga sering banget dulu di akhir bulan sudah tidak punya duit. Begitu juga dengan yang lain. Dan sampai sekarang belum direimburse,” tambahnya.
‘SIPDUGA UI’, Platform Pengganti Satgas
Pada Rabu (17/04), UI melalui instagram @univ_indonesia mengumumkan bahwa saat ini pengaduan mengenai kekerasan seksual bisa dilaporkan melalui SIPDUGA UI (Sistem Pengaduan Dugaan Sementara). Postingan tersebut tentu saja menimbulkan respon dari berbagai pihak, karena sesuai amanat dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dalam Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 terkait dengan penanganan kekerasan seksual adalah dilakukan melalui satgas. “Pertama, secara regulasi dari permendikbudristek (pembentukan SIPDUGA) itu sudah sangat salah secara prosedural dan yang kedua, aku sangat mengkhawatirkan keamanan orang-orang yang beneran ngelapor lewat SIPDUGA UI. Apakah mereka akan mendapatkan apa yang mereka layak dapatkan, apakah anggota (SIPDUGA) yang akan berhadapan dengan mereka paham perspektifnya, apakah (mereka) punya perspektif korban, apa isu kekerasan seksual, dan apakah mereka nggak dipersalahkan?” terang Yohanna.
Yohanna juga memberikan kritiknya terkait mekanisme kerja SIPDUGA, karena tidak hanya mengatur satu kasus, namun sembilan kasus sekaligus, sehingga dapat memicu ketidakefektifan dan membentuk stigma bagi korban. “Mekanisme tersebut menyatukan kekerasan seksual dengan perzinahan kesusilaan. Aku rasa sudah jelas, dengan begitu korban yang melapor atas kekerasan seksual, akan dianggap melakukan pelanggaran kesusilaan,” ujarnya.
Tanggapan Mantan Fungsionaris Departemen Akprop BEM UI
Rendy Dharmawansyah (Rendy), salah satu mantan fungsionaris Departemen Akprop BEM UI, juga ikut menunjukan rasa kecewa, sedih, dan marah atas terjadinya kasus ini. “Universitas kita sudah tidak punya lagi platform atau ruang resmi (sebagai) kanal pelaporan untuk pencegahan dan penangan kasus kekerasan seksual,” ungkapnya. Selain itu, Rendy juga mengungkapkan rasa malunya terhadap UI karena menjadi kampus pertama di Indonesia yang tidak mendukung adanya Satgas PPKS. “Karena ini kali pertama kampus di Indonesia yang benar-benar tidak mendukung adanya satgas. Kalau kita tengok Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, dan kalau tidak salah Universitas Udayana atau Universitas Diponegoro, itu pihak rektoratnya mendukung administrasi dan pendanaan operasional dari satgas itu sendiri, semua disupport gitu, beda halnya dengan Universitas Indonesia,” ujar Rendy.
Pengunduran Satgas PPKS UI juga memunculkan tagar #SaveSatgasPPKSUI di media sosial, dengan harapan agar pihak rektorat memberikan dukungan penuh terhadap penangan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Terakhir, Rendy juga mengungkapkan harapannya kepada pengurus Satgas PPKS yang telah bekerja secara sukarela selama ini. “Terkait pengunduran PPKS, harapannya para pengurus satgas ini, yang mayoritas bekerja secara sukarela, dapat mendapatkan dukungan yang lebih baik dari pihak universitas,” katanya.
Harapan Mahasiswa terhadap Penanganan Kekerasan Seksual di UI
Rendy berharap agar pimpinan universitas mendengarkan suara mereka dan memberikan perhatian yang serius terhadap masalah kekerasan seksual di lingkungan kampus. “(Pimpinan UI) harus bisa lebih aware dan lebih peduli ke teman-teman satgas. Bersyukur ada 13 orang yang mau memberikan segala usaha mereka (Satgas PPKS UI) buat 40 ribu lebih IKM UI,” tutur Rendy.
Memiliki harapan yang sama, Yohanna ingin masalah ini mendapatkan perhatian dari Kemendikbud selaku pembuat kebijakan. “Aku merasa, justru yang perlu turun tangan adalah yang diatasnya lagi. Pihak kementerian (Kemdikbud), mas menteri Nadiem, langsung turun tangan, karena siapa lagi yang bisa ngomong sama rektor selain beliau,” ucap Yohanna sebagai mahasiswa yang pernah bekerja di satgas.
Editor: Fauziah Nurjizah Adilah, Marshellin Fatricia, Rafa Zulhaq Rizaldi, dan Titania Nikita
Discussion about this post