Jakarta, 17 Juli 2018, Komnas Pengendalian Tembakau bersama Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) mengadakan konferensi pers mengenai Dukungan Publik Terhadap Kenaikan Harga Rokok di Indonesia: Rakyat Siap, Menterinya Jangan Gagap. Konferensi pers ini diadakan di Hotel Akmani, Menteng, Jakarta Pusat dan dilakukan untuk menindaklanjuti gerakan #RokokHarusMahal yang dilakukan oleh Komnas Pengendalian Tembakau. Pada konferensi pers ini, turut dijabarkan pula hasil survei tentang Dukungan Publik Terhadap Kenaikan Harga Rokok yang dilakukan oleh PKJS-UI. Acara diisi oleh Renny Nurhasanah (anggota tim peneliti PKJS-UI), Ruddy Gobel (Chief of Communications and Partnership, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan-TNP2K) dan Prof. Hasbullah Thabrany (Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia). Kegiatan ini turut mengundang kalangan mahasiswa yang diharapkan mampu mensosialisasikan riset tersebut kedalam lingkungan generasi muda dan juga Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia untuk berbagi pengalaman kepada media.
Acara dibuka oleh Renny Nurhasanah, anggota tim peneliti PKJS-UI yang menjabarkan hasil survei yang mereka lakukan. “ Dari 1000 responden, sebanyak 88% responden setuju terhadap kenaikan harga rokok.” Jelas Renny. Kemudian ia menambahkan bahwa dari 404 responden yang merokok, 66% diantaranya akan berhenti apabila harga rokok naik menjadi Rp60.000 per bungkus dan sebesar 74% akan berhenti apabila harganya menjadi Rp70.000 per bungkus. Hal ini menunjukkan dibutuhkan kenaikan harga yang cukup signifikan untuk menurunkan jumlah perokok di Indonesia dengan harga rata – rata rokok per bungkus saat ini adalah Rp17.000.
Berikutnya, penjelasan dilanjutkan oleh Ruddy Gobel mengenai Prevalensi Rokok & Tembakau Dalam Konteks Penanggulangan Kemiskinan. “Persoalan yang ditimbulkan oleh rokok tidak hanya persoalan kesehatan tetapi juga persoalan kemiskinan.” Ujar Ruddy dalam membuka penjelasannya. Ruddy juga mengatakan bahwa rokok merupakan pengeluaran terbesar kedua setelah beras yang dilakukan oleh masyarakat miskin yaitu sekitar 11%-12% dari total pengeluaran, bahkan jumlahnya jauh lebih besar dari pengeluaran untuk biaya pendidikan dan untuk makanan bergizi seperti telur dan daging ayam. Ruddy menambahkan bahwa hampir separuh dari masyarakat miskin menkonsumsi rokok, dan angka prevalensi tersebut secara perlahan turun di tingkat pendapatan dan pendidikan yang lebih tinggi.
Penjabaran terakhir dilakukan oleh Prof. Hasbullah Thabrany mengenai penerapan cukai untuk mengendalikan konsumsi rokok. “Pemerintah ragu – ragu bertindak untuk menaikkan cukai, padahal negara lain sudah berani melakukannya.” Sebut Prof. Hasbullah. Beliau menjelaskan data dari Tobacco Control mengatakan bahwa Indonesia memiliki harga rokok relative yang paling murah dibandingkan seluruh dunia. “ Kami mendesak pemerintah untuk menaikkan cukai rokok paling sedikit sebesar 20% per tahun depan agar tujuan utama UU Cukai, yaitu mengendalikan konsumsi rokok dan menurunkan prevalensi perokok 1% per tahun dapat tercapai. Pemerintah tidak perlu gagap dan takut akan berefek buruk kepada petani dan pekerja rokok. Penelitian Bank Dunia telah juga membuktikan bahwa angka kemiskinan di kalangan petani tembakau dan pekerja rokok jauh lebih tinggi dari angka kemiskinan umum. Masyarakat pasti mendukung pemerintah. ” Tutup Prof. Hasbullah
Penulis : Alya Faradisi, Raka Priyambodo
Discussion about this post