Penulis: Rifhano Patonangi | Editor: Prisca Lidya Patty
Saya lahir di tahun 1996 dari kedua orang tua saya di Jakarta, dibesarkan dengan kasih sayang dan pengorbanan mereka untuk membesarkan saya. Hal itu membuat saya mempercayai bahwa seyogyanya orang tua adalah kontributor akan apa yang membentuk kita menjadi individu unik sekarang. Melihat kenyataannya, perkembangan dalam dunia medis telah membuat adanya ledakan populasi di beberapa sudut dunia. Perkembangan ekonomi global pun mendukung kesejahteraan rakyat di ragam negara dan mempengaruhi kehidupan setiap individu menuju masa depan yang lebih baik. Di abad ke-21 ini, menurut pengamatan saya, sayangnya terdapat suatu ‘regresi’ dari cara bagaimana orang tua Indonesia membesarkan anaknya dan bagaimana mereka bertahan di era modern. Mungkinkah hipotesa saya benar?
Faktanya, pemerintah telah melakukan program Keluarga Berencana guna mengontrol pertumbuhan populasi rakyat Indonesia semenjak tahun 1960-an, setengah abad yang lalu. Keluarga Berenca menjadi program pemerintah untuk menekan laju pertumbuhan penduduk, namun fakta yang terjadi sekarang adalah Indonesia menduduki peringkat 4 negara dengan tingkat populasi terpadat, dengan jumlah penduduk sampai pada akhir tahun 2015 berjumlahkan 256 juta orang. Jika disandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 yang berjumlah 237,6 juta, terdapat kenaikan penduduk sekitar 18,4 juta. Dan jika dialokasikan tiap bulan maka pertumbuhan penduduk per bulannya mencapai 1,5 juta. Angka yang besar ini menunjukkan makin banyak orang yang menikah dan punya anak, dan diantaranya masih pada usia muda. Tetapi apakah individu-individu muda yang telah menghasilkan suatu produk berupa makhluk hidup ini mampu untuk mempertanggung-jawabkan ciptaan mereka ? Makin banyak anak makin banyak rezeki ?
Angka kemiskinan Indonesia dari tahun 2006 sampai tahun 2014 menurun, dengan persentasi kemiskinan relatif terhadap total jumlah penduduk mencapai 11%. Namun jumlah tersebut masih tergolong besar, dengan jumlah sekitar 27,8 juta. Keluarga yang termasuk dalam angka 11% tersebut dipastikan secara finansial tidak mumpuni baik untuk memenuhi kebutuhan individual ataupun kebutuhan keluarganya sehari-hari. Anak-anak yang hidup dan dibesarkan dengan lingkungan ini ada kemungkinan menjadi masalah pada jangka panjang, karena dengan kondisi kemiskinan dikeluarga dan sekitarnya akan menyebabkan efek yang negatif pada mereka dalam jangka panjang.
Peforma akademis dan pola sifat anak-anak dapat dilihat dari keadaan sosio-ekonomi keluarga mereka. Kemiskinan mempengaruhi sifat dan peforma akademis dari anak-anak umur 5 tahun, dimana kemampuan linguistik dan daya ingat menjadi yang paling terpengaruh. Hal ini bisa dijelaskan bahwa keluarga dengan pendapatan dibawah garis kemiskinan tidak mendapatkan akses terhadap barang-barang penunjang kehidupan. Dengan akses untuk hal-hal penting tersebut hampir tidak tercapai, maka ada kemungkinan besar asupan gizi untuk anak-anak ini kurang dan membuat perkembangan mereka terhambat atau ‘rusak’. Begitu pula dengan akses mereka pada pendidikan yang tak dapat diraih sehingga kemapuan kognitif menjadi barang langka diantara mereka.
Lalu bagaimana cara mereka bertahan hidup ? Kebanyakan orang yang berasal dari lingkup kemiskinan tidak memiliki skill sehingga kebanyakan tidak bekerja. Anak pun berubah peran dari yang seharusnya disediakan nafkah hidup menjadi penyedia nafkah hidup, pertukaran peran yang aneh tapi setidaknya terjadi pada mereka. Jadilah mereka seperti yang kita kenal anak jalanan, mengamen dan mengemis menjadi sumber nafkah mereka untuk menghidupi keluarga. Namun tidak hanya itu, karena yang disebutkan tadi kurang hardcore skills. Pada tahun 2004 diperkirakan ada sekitar 70.000 anak perempuan dari keluarga miskin bekerja sebagai pekerja seks komersial. Sementara catatan Kepolisian Daerah Metro Jaya periode 2003-2004 menunjukkan bentuk kenakalan (kejahatan) yang umum dilakukan anak seperti curanmor (pencurian motor), pengeroyokan, dan pemerkosaan.
Kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor yang menciptakan masalah ini. Memangnya yang miskin saja yang anaknya jadi biang onar ? Tidak selalu penunjang material adalah akar dari permasalahan pengembangan anak. Toh walaupun datang dari keluarga yang berkecukupan, tidak menjamin bahwa kemampuan kognitif dan perkembangan emosi mereka baik-baik saja. Ada beberapa kasus kejahatan di Indonesia yang melibatkan anak-anak yang datang dari keluarga berkecukupan. Tapi kalau begitu, masalahnya bukan datang dari keadaan ekonomi, namun dari gaya pengasuhan orang tua.
Waktu yang diberikan orang tua untuk anaknya berpengaruh banyak dalam perkembangan mereka. Orang tua bekerja zaman sekarang bisa dikatakan kurang lebih menyerahkan sebagian besar waktunya untuk bekerja. Seyogyanya orang tua memberikan quality time yang cukup untuk anak-anaknya sehingga perilaku dan kemampuan kognitif anak dapat dibentuk lebih mudah dan kemungkinan penyimpangan dapat diperkecil. Grafik diatas menunjukkan percakapan akan lebih cenderung intens antara anak dan orang tua dengan Social Economic Status yang tinggi, menengah pada SES tengah, dan rendah pada SES rendah. Orang tua dari Middle-Low SES (klasifikasi dari sebagian besar orang tua Indonesia) cenderung memilih untuk menempatkan kerja sebagai prioritas utama akan kehilangan kesempatan untuk membesarkan anaknya dengan pendekatan orang tua-anak. Anak-anak yang merasa diabaikan atau tidak mendapatkan cukup perhatian akan mendapati efeknya pada jangka panjang seperti kurang menghargai, sulit berbaur pada lingkungan, apalagi bertanggung jawab. Ini karena nilai-nilai tersebut minim ditanamkan oleh orang tuanya.
Kekurangan waktu yang harusnya diberikan untuk mengawasi dan membesarkan anak sudah disita oleh pekerjaan. Dengan kesibukan yang ada, maka anak akan terlantarkan dan terpaksa harus belajar dari apa yang dilihat atau dari apapun yang ada didekatnya disaat itu. Disini datang peran orang yang sering kita lihat memakai baju putih dan mengurus anak-anak orang tua sibuk ini : pembantu atau nanny. Orang tua yang sibuk kebanyakan memilih untuk mendelegasikan tugas membesarkan anak mereka kepada pihak ketiga yang sama sekali tidak mengenal anak tersebut. Seringkali kita lihat di beberapa tempat umum seperti mall dan tempat wisata keluarga, dimana yang menggenggam dan mengawasi kebutuhan anak-anak mereka adalah pembantunya. Padahal dengan waktu yang cukup untuk dihabiskan dengan anak dan dipasangkan dengan sikap orangtua yang positif seperti menghargai dan memberikan umpan balik yang konstruktif daripada memberikan umpan balik negative dan bersifat ketus pada pengembangan anak. Data diatas menunjukkan perbedaan marginal bagi orang tua dengan feedback positif (bentuk kotak), sementara orang tua dengan feedback negative memiliki hasil yang counterproductive bagi perkembangan anak terutama anak umur 12-24 bulan.
Lalu darimana mereka belajar akan nilai-nilai kehidupan ? Kita tahu bahwa lingkungan memiliki peran besar dalam membentuk perilaku kita, terutama bagi anak-anak yang masih dalam proses pembelajaran. Ketika orang tua sibuk kerja dan pembantu sibuk bekerja di rumah, anak bisa menjadi asosial di rumah atau mencari peer group sendiri. Memilih teman adalah hal yang sering dikatakan orang-orang, namun celakanya adalah ketika sang anak memilih teman yang salah, ia akan belajar banyak hal dari mereka, dan salah satu proses pembelajaran kepribadian adalah untuk meniru dari apa yang mereka lihat. Peer pressure menjadi hal yang lumrah ketika titik berat kehidupan sosial anak adalah pada peer group mereka. Dengan minimnya pengawasan dari orang tua maka anak tidak memiliki filter untuk tahu mana yang harus ia contoh dan mana yang tidak.
Pertanyaan yang muncul adalah, kalau pendapatan Anda dibawah garis kemiskinan dan kebutuhan sehari-hari Anda saja belum tentu terpenuhi, maka mengapa Anda menambah beban hidup dengan ingin mendirikan keluarga ? Memang tidak memikirkan nasib pasangan dan anak kedepannya ? Lalu kalau sudah berkecukupan, yakin Anda stabil secara emosional dan siap menjadi orang-tua ? Ataukah pernikahan hanya untuk melegalkan hasrat birahi Anda ? Saya tidak tahu.
Rifhano Patonangi (Accounting 2014), is a Senior Analyst at B.O. Economica. He is both a Marxist and a Keynesian. He has a keen interest in science and technology.
Referensi :
Ascd.org. (2016). How Poverty Affects Behavior and Academic Performance. [online] Available at: http://www.ascd.org/publications/books/109074/chapters/How-Poverty-Affects-Behavior-and-Academic-Performance.aspx [Accessed 29 Apr. 2016].
Juvenile Delinquency: The Influence of Family, Peer and Economic Factors on Juvenile Delinquents. (2015). Scientia Agriculturae, 9(1).
KEMISKINAN, KEBIJAKAN NEGARA DAN KENAKALAN ANAK. (2016). Jurnal Kriminologi Indonesia, 3(3), pp.3-6.
Kordi, A. and Baharudin, R. (2010). Parenting Attitude and Style and Its Effect on Children’s School Achievements. International Journal of Psychological Studies, 2(2).
Discussion about this post