Maraknya isu mengenai omnibus law, salah satunya adalah RUU Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) telah meresahkan masyarakat Indonesia. Untuk memahami isu tersebut lebih mendalam, Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) mengadakan diskusi publik dengan tema “Omnibus Law : Sapu Jagat atau Sapu Rakyat?”
Diskusi publik ini diadakan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) pada Kamis, 20 Februari 2020 dan dimoderatori oleh Ketua Umum BEM UI, Fajar Adi Nugroho. Dalam diskusi ini BEM UI mengundang empat pembicara, yaitu Maria Farida Indrati selaku Guru Besar FH UI, Faisal Basri selaku ekonom senior INDEF, M. R. Andri Gunawan Wibisana selaku Dosen Hukum Lingkungan FH UI, serta Arif Maulana selaku Direktur LBH Jakarta untuk membahas topik tersebut. Diskusi berjalan dengan menarik dan dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai fakultas di Universitas Indonesia.
Omnibus Law dalam Kacamata Hukum
Maria Farida Indrati memulai pembahasannya dengan melihat pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Maria menyebutkan bahwa Indonesia menganut tradisi civil law dengan sumber hukum tertinggi Pancasila dan UUD 1945. Selanjutnya, Maria memberikan penjelasan mengenai omnibus law. Maria mengatakan Omnibus Law dibuat untuk menyederhanakan berbagai macam peraturan yang tidak sejenis dalam satu undang-undang, menyebarkan argumentasi yang menyenangkan dan memberikan kemudahan dengan adanya penyederhanaan. Meskipun sering disebut sebagai undang-undang payung, Maria justru menganggapnya sebagai payung terbalik sebab omnibus law seharusnya merupakan undang-undang “induk,” bukan rangkuman undang-undang menjadi satu dokumen.
Faisal Basri: Omnibus Law Disusun untuk Pihak yang Belum Kebagian Investasi
Faisal melanjutkan diskusi dengan memberikan pandangannya terhadap omnibus law. Ia menyatakan ketidaksetujuan terhadap pendapat pemerintah bahwa omnibus law bertujuan untuk meningkatkan investasi Indonesia yang kian menurun. “Investasi baik-baik saja, investasi kita meningkat terus. Jadi ini untuk investasi bagi yang belum kebagian,” tuturnya. Faisal menjelaskan bahwa Investasi ini diperuntukkan bagi industri batu bara yang menjadi semakin diekspansi berkat RUU Cilaka. Faisal kemudian menyajikan pelbagai data-data—inflasi mencapai titik terendah, rasio gini turun ke titik 0.4, dan angka kemiskinan turun hingga 9 persen—yang berlawanan dengan pernyataan investasi di Indonesia menurun.
“Apa yang ada di pikiran Pak Jokowi? Pak Jokowi sudah melakukan pembangunan, kita hargai, tetapi dia kesal karena pertumbuhan (ekonomi) terus turun,” ujar Faisal. Jokowi pun menyalahkan investasi atas penurunan pertumbuhan ekonomi tersebut dan berkata bahwa belum ada kebijakan investasi yang “nendang”. Meskipun begitu, Faisal menerangkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan lebih tinggi dari China, Malaysia, Afrika Selatan, dan Brazil. Investasi sendiri menyumbang 32,33 persen dalam PDB Indonesia dan merupakan peringkat kedua terbesar. Bahkan sebelum adanya omnibus law, 48,1 persen investor asing di Indonesia berkata akan melakukan ekspansi.
Ia menambahkan, kedepannya, Indonesia akan dihadapkan pada banyak tantangan. Pertama, investasi Indonesia terlalu banyak pada sektor properti, dibandingkan dengan mesin dan peralatan yang menghasilkan sesuatu. Kedua, bank-bank di Indonesia terlalu sering berganti komisaris dan direksi. “Bahkan Rektor UI dibolehkan jadi komisaris. Menurut saya, sudah gila nih UI! Harusnya dibikin ‘undang-undang’ di UI, rektor tidak boleh merangkap komisaris. Supaya bisa fokus mengurusi kita, tetapi dilanggar. Turunkan! Pak Harto saja bisa diturunkan, masa rektor tidak bisa?” tegas Faisal yang disambut tawa dan tepuk tangan peserta diskusi. Ketiga, kemampuan bank di Indonesia memberikan kredit hanya 42.8%, sementara di China mencapai 218.3%. “Jantung lembaga ekonomi itu di lembaga keuangan, dan jantung itu tidak ada di kita,” ujarnya. Keempat, investasi Indonesia banyak, tetapi hasilnya sedikit. Dalam ekonomi, keadaan tersebut dinamakan ICOR (Initial Capital Output Ratio). Kelima, terdapat penurunan pada pajak dalam setengah abad terakhir.
Selepas diskusi publik, tim Economica mewawancarai Maria dan Faisal mengenai kelanjutan RUU Cilaka. Maria memaparkan bahwa tidak terlalu masalah dengan waktu yang singkat, namun lebih mengarah pada substansi hukum yang terdapat dalam draf RUU Cilaka. Terlalu banyak peraturan yang dijadikan satu akan mempersulit sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Kemudian, apabila digabung dan terkodifikasi, undang-undang yang disatukan hanya sepotong-sepotong dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan akan menjadi masalah.
Senada dengan Maria, Faisal Basri secara tegas menyatakan bahwa ini sudah termasuk kezaliman yang perekonomian di Indonesia, Faisal menjelaskan seharusnya transformasi terjadi. Ketika ditanya pendapatnya mengenai instrumen omnibus law sebagai transformasi perekonomian, seharusnya instrumen itu terdapat pengubahan struktur. Namun, yang substansi yang ada didalamnya hanya berbicara mengenai investasi saja. Hal-hal lain yang tidak disinggung dalam draf RUU Cilaka, adalah tidak adanya upaya dalam meningkatkan industri manufaktur, mengubah struktur ekspor dari berbasis komoditi menjadi manufaktur. “Gada semua hal mengenai transformasi perekonomian, itu namanya strategi industrialisasi” tutup Faisal.
Editor: Philipus Susanto, Rani Widyaningsih
Discussion about this post