“Kita suka dipuji-puji sama orang diseluruh dunia sebagai the most diverse ethnicities in the world…mereka menutup mata, bahwa dalam rangka menjaga NKRI yang seharusnya memiliki lebih dari 400 bahasa, 700 etnis, banyak di antara mereka yang dicuekin, didiskriminasi, dan direpresi.”, ujar Haris selepas menghembuskan asap rokoknya.
Indonesia tidak main-main saat menyatakan statusnya sebagai negara hukum. Segala upaya dilakukan demi tegaknya keadilan dan nihilnya diskriminasi. UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis sudah berikhtiar untuk menaungi perbedaan ras di masyarakat mulai dari definisi, pertanggungjawaban, dan mekanisme penyelesaian apabila terjadi pelanggaran. Selain tingkat nasional, Indonesia juga menandatangani perjanjian internasional yang menaungi penghapusan diskriminasi rasial, International Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD), yang difasilitasi oleh PBB. Pembentukan perjanjian ini termotivasi dari fenomena apartheid di Afrika selatan, dan mengajak semua negara aktif dalam upaya mencegah segala bentuk diskriminasi rasial.
Dilihat dari kelengkapan regulasi serta partisipasi Indonesia dalam penghapusan diskriminasi ras dan etnis, tercermin jelas tekad dan posisi negara ini terhadap isu tersebut. Namun, siapa sangka menandatangani perjanjian internasional dan memiliki perundang-undangan yang membahas isu tersebut belum cukup untuk mencegah diskriminasi rasial terjadi di negara ini? Upaya yang dilakukan Indonesia pada kenyataannya kerap masih berfokus pada penyelesaian masalah, bukan pencegahan sebelum diskriminasi rasial itu terjadi. “Tidak ada bagian dari undang-undang atau regulasi lainnya di Indonesia yang memberi tuntutan kepada pemerintah terkait penghapusan diskriminasi ras dan etnis, maupun penjabaran caranya,” ungkap Haris Azhar, selaku pendiri Lokataru.
Regulasi Tanpa Makna
Jumlah instrumen-instrumen penegakan HAM, termasuk untuk isu rasisme di Indonesia sayangnya tidak selaras dengan efektivitasnya. Hal ini melatarbelakangi kenyataan pahit bahwa Indonesia belum pernah menyelesaikan secara tuntas kasus-kasus yang sifatnya pelanggaran atas HAM. Undang-Undang perlu strategi dan kebijakan untuk implikasi nyata di masyarakat, tetapi pemerintah sendiri tidak memiliki bahan dasar pemetaan (baseline) untuk mengukur apakah ada diskriminasi rasial di Indonesia. Seringkali, Indonesia hanya merespon kejadian buruk yang terjadi dan ramai diperbincangkan. Padahal, menurut Haris, diskriminasi rasial kerap ditemukan pada kebijakan sosial, ekonomi, dan pembangunan yang tidak menerapkan prinsip equity, yakni memberi lebih kepada mereka yang lebih membutuhkan atau berkekurangan.
“Dari sisi kebijakan publik, negara cenderung menolak dan meredupkan pembahasan mengenai perbedaan ras dan etnis yang ada. Meskipun Indonesia terus dijunjung tinggi akan keberagaman etnis, agama, ras, kepercayaan, wilayah, dan latar belakang, negara ini takut untuk membicarakan perbedaan tersebut,” ungkap Haris. SARA seringkali dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan berkonotasi negatif. Produk-produk hukum berupa pedoman kebijaksanaan, peraturan menteri, bahkan peraturan di tingkat daerah terkait hal tersebut tidak mau membahasnya secara spesifik. Kenyataannya, justru yang kerap dibahas ialah bagaimana pemerintah menekan hal ini agar tidak muncul ke publik sehingga bisa dan/sehingga menimbulkan pergolakan. Efektivitas peraturan akan diskriminasi dan toleransi menjadi dipertanyakan bila hal-hal yang membedakan masyarakat Indonesia sendiri tidak pernah dibicarakan. “Indonesia tidak memberi ruang yang nyaman untuk mengangkat isu ini sehingga semua peraturan yang ada itu lemah dan tidak mengakomodasi,” ucapnya.
“Apakah kita menaungi? Tidak, karena ada vakum akibat ketiadaan ruang untuk membicarakan isu ini, sehingga kebijakanannya tidak merepresentrasikan kebutuhan yang sebenarnya,” ungkap peneliti kebijakan publik, Ravio Patra, dengan tegas.
Meskipun terdapat kekosongan ruang diskusi di atas, upaya pemerintah ada dan terlihat untuk mengakui keberagaman Indonesia. Joko Widodo kerap memakai baju adat untuk menunjukkan multikulturalisme negara ini. Namun apakah upaya itu efektif? Bisa jadi terlalu abu-abu untuk menjawabnya. Sebuah strategi representatif untuk implementasi hal ini bisa dilihat dari upaya Presiden Indonesia ketiga, Gus Dur, yang berani mengambil kebijakan untuk regulasi yang diskriminatif terhadap agama Konghucu. Ia tidak menutup mata akan diskriminasi yang dialami orang etnis Tionghoa dan mau mengambil tindakan untuk membenahinya, sehingga di masa depan, diskriminasi tersebut bisa hilang sepenuhnya. “Sayangnya, efektivitas strategi penghapusan diskriminasi ini tidak berlanjut, karena kebutuhan Indonesia akan pemimpin yang nekat dan mau ambil aksi kembali kalah dengan yang suka representasi saja,” ucap Haris mengungkapkan pemikirannya.
Diskriminasi Struktural dalam Pemerintahan
Seringkali rasisme bukan sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan bersifat kolektif. Suatu kelompok ras atau etnis yang berbeda umumnya disertai kesamaan kepercayaan, kedaerahan, suku yang juga termarginalisasi di negara ini. Kolektivisme ini kerap membuat diskursus tentang isu ini sering terjebak Peraturan KUHP Pasal 14, 15, dan 16 UU No. 1 Tahun 1946 terkait provokasi untuk mempidanakan individu yang mengangkat isu ini.
Berbeda dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia yang sama-sama merupakan negara multikultural, Indonesia melakukan asimilasi untuk semua penduduknya. Di Singapura dan Malaysia, terdapat segregasi, seperti perbedaan wilayah orang India, orang Melayu, dan orang Tionghoa. Menurut Ravio, secara sosial mereka telah mengakui perbedaan identitas rasial yang ada sehingga dapat mengimplementasikan strategi untuk mengakomodasinya. Sebaliknya, Indonesia nyatanya tidak mengakui dan mengurusi perbedaan ini. “Indonesia hanya ingin orang Papua, orang Aceh, orang Tionghoa, dan semua ras atau etnis lainnya menjadi orang Indonesia dengan akomodasi dari pemerintah yang sama dan pemberlakuan kebijakan yang setara. Persepsi bahwa peraturan itu harus mengatur semua hal ini kerap menepis tuntutan perbedaan yang tertera dari identitas bawaan dan kondisi masing-masing golongan tersebut,” jelas Ravio.
Salah satu lubang akibat persepsi tersebut dapat dilihat dari peraturan daerah yang mengatur masyarakat untuk berpakaian syariah di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Perda yang diskriminatif ini tidak bisa direvisi karena agar mendapati pelayanan publik, termasuk untuk melaporkan perda tersebut, warga perlu berpakaian syariah. Hal ini merupakan contoh peraturan yang melatarbelakangi kelemahan penanganan HAM di Indonesia yang berpegangan pada evidence-based policy, di mana keputusan atau kebijakan akan baru diurus setelah ada bukti. “Dengan evidence-based policy, polisi Kabupaten Bulukumba justru mengatakan bahwa selama 3 tahun terakhir tidak ada laporan terkait tindakan diskriminatif di wilayah tersebut, tanpa menggubris hak dasar masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik yang sudah direnggut sedari awal,” pungkas Ravio lebih lanjut.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) kerap menemukan Perda yang diskriminatif di Indonesia. Ravio menjelaskan bahwa kategorisasi kebijakan yang diskriminatif ini mencakup internalisasi rasisme yang bersifat struktural dan sistematik, di mana pemerintah menghasilkan desain kebijakan yang sifatnya diskriminatif. Kebijakan tersebut akan mengakibatkan satu atau lebih pihak/kelompok dirugikan secara disproporsional karena nilai atau norma yang dianut secara eksklusif oleh satu kelompok saja justru diberlakukan bagi semua orang. Di peraturan seperti ini, diskriminasi terjadi dan harus segera diperbaiki. Internalisasi diskriminasi di pemerintahan Indonesia harus segera dihapuskan karena tidak sesuai dengan jati diri Indonesia sebagai negara multikulturalisme dengan segala regulasi hukumnya yang mengaku melindungi perbedaan ras dan etnis di negara ini.
Gemakan suara korban, Indonesia masih menderita
Kembali lagi, masyarakat sulit untuk menuntut perubahan dan penghapusan tersebut bila isu ini sendiri tidak punya ruang untuk dibicarakan. Hal inilah yang melatarbelakangi tabiat Indonesia untuk tidak memperjelas peraturan untuk mengakomodasi seluruh masyarakatnya. Menurut Ravio, permasalahan utamanya datang dari paradigma. Di Indonesia, membicarakan tentang ras seolah-olah membawa kekacauan dan provokasi. Penelitian dan penulisan mengenai isu ini juga sulit. Hal ini karena dalam penelitian dibutuhkan banyak data, sedangkan Indonesia sendiri tidak menyediakan data tersebut akibat diskursus yang dicegah dan suara korban yang ditutup-tutupi. Ravio menambahkan, bahkan bila penelitian tersebut sudah mendapatkan data yang dibutuhkan, hasilnya kerap dan mudah untuk didiskreditkan oleh pemerintah.
“So it’s almost like the system is out to defeat you, lo kalah sebelum bertanding, lo mau mencari cara apapun untuk membuka diskursus itu, there is no way for you to around it, either lo bakal di diskredit secara personal atau lo diskredit secara institusi,” ujar Ravio kecewa.
Sudah seharusnya Indonesia membuka ruang untuk diskursus dan penulisan dari penelitian serta kajian tentang isu diskriminasi ras dan etnis ini. Realita yang dipertontonkan kepada masyarakat akan menjadi pintu untuk kesadaran dan kepedulian masyarakat Indonesia terhadap kasus ini. Diskriminasi di negara ini adalah sebuah urgensi yang perlu Indonesia bicarakan, bukan sembunyikan.
Sistem regulasi pemerintahan Indonesia tidak menunjukkan posisinya yang pro-korban. Menjadi aktivis HAM selama belasan tahun menyuarakan isu ini ke pemerintah membuat Haris pesimis dengan generasinya. Ia berharap generasi muda terutama generasi bonus demografi yang banyak jumlahnya dapat dan berkenan untuk mengemban tugas memperbaiki permasalahan di negeri ini. Haris percaya bahwa mengubah pemainnya akan mengubah mekanisme permainannya juga, dan dari sana muncul tugas anak muda untuk membangun platform perubahan. Menurutnya pemuda harus berani menentang dan nekat.
“Yang penting kalian bisa mengubah pemainnya, supaya jangan dia-dia lagi.”, pinta Haris.
Risiko dari perubahan pasti ada, tetapi Indonesia harus siap menghadapinya. Regulasi dan kebijakan HAM akan isu diskriminasi ras dan etnis yang ada masih tidak efektif selama kebebasan bersuara masih ditekan. Masyarakat umum tidak tahu bahwa ada kelompok yang sedang meronta karena ketidakadilan yang mereka hadapi. Strategi pemerintah akan efektif saat ada tekad dan keberanian untuk mengambil perubahan nyata. Hal ini bisa dimulai dari membuka ruang pertukaran informasi dan diskusi sehingga masyarakat bisa dengan nyaman membicarakan multikulturalisme yang selama ini dibanggakan tanpa melupakan isu-isu yang ada di dalamnya. Pada akhirnya, dengan perubahan tersebut diharapkan suara korban dapat bergema lebih keras lagi, sehingga semua orang tahu bahwa Indonesia tidak sedang baik-baik saja.
Editor: Ruthana Bitia, Maurizky Febriansyah, Christabel Nathania
Discussion about this post