Masyarakat dunia sekarang ini sudah sangat berkembang, baik dalam segi teknologi maupun pola kehidupan masyarakat yang dinamakan globalisasi. Indonesia tidak luput menjadi bagian masyarakat dunia yang juga mengikuti ideologi globalisasi ini. Pandangan yang beranggapan bahwa masyarakat sebagai entitas yang berada dalam satu lingkup dunia besar, memberikan pengaruhnya kepada berbagai bidang di dalam kehidupan, salah satunya pendidikan. Proses pertukaran ilmu pengetahuan antara masyarakat dunia diharapkan mempercepat perkembangan suatu negara serta menambahkan cara memandang suatu hal berdasarkan latar belakang yang berbeda dari setiap masyarakat dunia ini. Namun, sebuah perubahan yang memiliki kecenderungan untuk menyenggol pola pikir masyarakatnya akan menciptakan pro-kontra di dalam negara tersebut. Methodological Nationalism adalah salah satu bentuk hubungan yang saling menegasikan antara ilmu pengetahuan dan juga nasionalisme di era globalisasi ini, terutama ilmu-ilmu sosial di Indonesia.
Dengan adanya konsep Methodological Nationalism yang menjadikan dasar negara sebagai acuan nilai dalam bermasyarakat dapat menjadi masalah utama terhadap kebebasan pendidikan. Konsep tersebut juga mensimplifikasi model negara-bangsa maupun dunia yang kompleks pada tatanan administratif. Apakah hal tersebut merupakan suatu hal yang baik? Ataukah perlu dibatasi maupun dihilangkan dalam implementasinya? Apa implikasi nyatanya dalam kehidupan akademik?
Konsep Negara-Bangsa dan Methodological Nationalism
Keragaman teoritis, historis, budaya, serta geografis menjadi bagian saksi-saksi bisu yang mencerminkan komplikasi yang dihadapi oleh ilmu-ilmu sosial ketika mencoba untuk memahami konsep negara-bangsa. Selama satu abad terakhir, konsep negara-bangsa dianggap sebagai komunitas sosial dan politik modern serta primordial; dipahami sebagai struktur rasional dan komunitas khayalan; menciptakan kesejahteraan yang juga sebanyak penderitaan; sama-sama menjadi sumber demokrasi politik, kosmopolitanisme, dan pembersihan etnis; mengalami pengalaman pendudukan, perpecahan, dan kemudian penyatuan kembali; dan telah dilegitimasi seputar prinsip-prinsip etnis, ras, republik, monarki, liberal, multikultural, federal dan bahkan kelas. Namun, terlepas dari – atau lebih mungkin karena – semua variasi ini, negara-bangsa entah bagaimana berhasil menampilkan dirinya sebagai suatu bentuk organisasi sosial dan politik yang kokoh, stabil dan pada akhirnya merupakan bentuk yang diperlukan dari organisasi sosial dan politik dalam modernitas.
Sekali lagi dalam kasus ini, sumber dari dugaan soliditas ini terbukti sulit untuk diidentifikasi: peningkatan kendali negara atas populasi ‘nya’ melalui kebijakan nasionalisasi seperti kampanye melek huruf, sekolah, perpajakan dan perekrutan militer; penggunaan dan penyalahgunaan sentimen kepemilikan untuk menekankan perbedaan budaya dan / atau etnis; munculnya ‘sistem negara-bangsa’ yang terdiri dari semakin banyak anggota yang berdaulat paling tidak secara formal sama; perkembangan struktur kelas kapitalis di tingkat nasional dan perluasan kapitalisme di tingkat global; daya tarik ‘universalistik’ dari kedaulatan rakyat dan demokrasi. Negara-bangsa, pasti, adalah salah satu tema modernitas yang paling rumit.
1 Delanty, G., & Kumar, K. (2006). The SAGE Handbook of Nations and Nationalism. In SAGE Knowledge. http://sk.sagepub.com/reference/hdbk_nation
Argumen ini, yang kemudian dikenal sebagai salah satu faktor terciptanya Methodological Nationalism, dapat didefinisikan sebagai persamaan yang meresap dalam ilmu-ilmu sosial antara konsep ‘masyarakat’ dan negara-bangsa. Methodological Nationalism mengandaikan bahwa negara-bangsa adalah bentuk masyarakat yang wajar serta diperlukan dalam modernitas dan bahwa negara-bangsa menjadi prinsip pengorganisasian yang menyatukan seluruh proyek modernitas.
MN (Methodological Nationalism) mengacu pada asumsi bahwa kategori atau unit analisis alamiah untuk masyarakat ditentukan oleh batas nasional 2Shahjahan, R. A., & Kezar, A. J. (2013). Beyond the “National Container.” Educational Researcher, 42(1), 20–29. https://doi.org/10.3102/0013189×12463050 . Sebagai contoh, kerap kali kita mencoba menganalisis perubahan budaya, sosial, dan ekonomi dengan menganggap negara sebagai batasan-batasan variabel. Seolah-olah, perkembangan manusia dibatasi oleh garis batas negara-bangsa.
Di dalam MN terdapat dua karakteristik yang paling signifikan dan bagaimana mereka tercermin dalam penelitian di dunia pendidikan tinggi: (1) asumsi bahwa proses sosial muncul dalam batas negara-bangsa dan (2) sejarah wadah nasional- secara berkala dan saat ini memperkuat hubungan kekuasaan yang tidak setara. Cassirer membahas bagaimana hak-hak alamiah, kontrak sosial, kedaulatan rakyat dan ras, antara lain, adalah sumber-sumber yang dapat digunakan untuk membuat klaim atas negara; ia merekonstruksi bagaimana doktrin-doktrin yang berbeda ini dipegang terutama pada momen-momen berbeda dalam sejarah modern dan menunjukkan bahwa mitos-mitos ini merupakan ciri khas politik modern.3Ernst Cassirer. (2013). The myth of the state. Yale University Press, , Cop.
Melihat Seperti Sebuah Negara
Menurut Dave Lumenta, dosen Antropologi UI, sebagai salah satu pembicara dalam Diskusi Publik 19 yang dilaksanakan secara daring oleh Divisi Kajian Badan Otonom Economica, menyampaikan pandangannya mengenai MN. Menurutnya MN adalah sebuah kondisi yg harus dikritik, dengan asumsi bahwa negara-bangsa atau masyarakat adalah sesuatu yg alami sehingga membuat kita lengah disaat sedang melakukan sebuah penelitian ataupun mempengaruhi pola pikir kita sebagai akademisi. Kita sebagai masyarakat akademik tidak mempertanyakan mengenai bagaimana konsep negara ini tercipta akibat pemikiran bahwa negara sudah ada begitu saja, bahkan kita menganggap konsep masyarakat adalah sesuatu yang given. Sehingga hal-hal yg dianggap ideal oleh negara kemudian menjadi sesuatu yg diadopsi secara tidak sadar dalam pijakan epistemologi ilmu pengetahuan masyarakat akademik suatu negara.
Di dalam konsep transnasionalitas hal ini menjadi sebuah keanehan karena dengan cara pandang negara yang mengorganisasi kompleksitas realita sosial dengan simplifikasi menggunakan kategori-kategori tertentu. Contohnya pembatasan spasial secara administratif negara, “banyak sekali penelitian yang terpaku pada kategorisasi spasial negara ini sehingga didalam pengamatan tersebut luput untuk mengerti konsep interkoneksitas” tutur Dave. perlu ditekankan dan dipertanyakan apakah simplifikasi dengan kategorisasi ini menyusahkan kita sebagai masyarakat untuk memahami realitas sosial sepenuhnya, karena asumsi-asumsi yang diberikan oleh negara ini menjadikan diri kita tidak mengkritisi realitas sosial yang berbeda dari asumsi yang diberikan oleh pemerintah.
Lalu MN ini sangatlah dipengaruhi oleh bagaimana suatu negara bertindak dalam memerintah, sebagai sebuah institusi modern negara itu memiliki obsesi yang kuat untuk mengkategorisasikan segala sesuatu yang ada di dalam negara tersebut. Namun hal tersebut bukan berarti tidak memiliki implikasi pada kehidupan masyarakat, dengan mensimplifikasi realitas yang diciptakan oleh negara, masyarakat menjadi terbiasa dengan apa-apa yang ingin diperlihatkan oleh. negara kepada mereka dengan begitu terciptalah ketidak kritisan atau kegagapan pada hal-hal yang ada di realitas sosial yang kompleks ini.
Arti Dari Sebuah Nasionalisme
Bentuk nasionalisme yang ada pada negara kita Indonesia ini diajarkan sebagai sesuatu yg ajek, karena kita tidak perlu mempertanyakan hal tersebut akibat dari konsep nasionalisme yang dianggap sudah ada sejak awal mula terciptanya sebuah negara. Sejatinya nasionalisme ini adalah produk sejarah yang terlahir pada konteks sejarah tertentu, di Indonesia kelahiran nasionalisme terjadi setelah berhasil merdeka melawan kolonialisme, sehingga kita mempunyai bayangan bahwa bangsa Indonesia itu sudah ada sedari dulu, maka disaat kita mencoba untuk melihat dan memahami dunia posisi pandangan kita selalu berada dalam partisi negara-bangsa.
Pemahaman masyarakat atas konseptual negara bangsa menjadikan kita gagap saat mengetahui bahwa etnisitas tidak terbelenggu dalam batas teritorial sebuah negara, misalnya saja adanya Suku Bajau di Malaysia dan Filipina menjadi sesuatu yang baru dan tercengang akan realitas yang ada. Menurut Dave Lumenta Nasionalisme mengalami perubahan interpretasi dari waktu ke waktu, “Pada era 1920an mungkin nasionalisme adalah konsep pembebasan dari kolonialisme, sedangkan di era Presiden Sukarno nasionalisme yang dimaksud merupakan bagian dari internasionalisme dimana Indonesia gencar dalam mendukung kemerdekaan bangsa-bangsa lain yang mencirikan melihat permasalahan sebagai bagian dari bangsa-bangsa dunia bukan bangsa dan bangsa asing. Dan terakhir di era orde baru hingga saat ini konsep nasionalisme dilihat sebagai mencintai produk bangsa, yaitu penciptaan narasi untuk meningkatkan konsumsi lokal,” tutur nya.
Kita harus sadar bahwa nasionalisme sebagai suatu ideologi memiliki peluang untuk dimanfaatkan sebagai instrumen pembangun solidaritas. terciptanya nasionalisme ini diawali oleh perlawanan terhadap kolonialisme belanda yang berdasarkan kesamaan nasib bukan berasal dari kedaerahan, etnisitas ataupun solidaritas agama. Namun perlu diperhatikan bahwa nasionalisme memiliki sisi lain yaitu sebuah penyeragaman yang mana perlu berhati-hati untuk diterapkan dalam penelitian ataupun cara berpikir kita sebagai akademisi. menurut Dave penggunaan nasionalisme sebagai sebuah penyeragamaan pada pola pikir akademisi dapat memberikan asumsi-asumsi yang salah.
Nasionalisme juga dapat dijadikan sebuah instrumen kontrol, “Di UI sendiri pada 12 tahun silam saat program Kuliah Kerja Nyata masih diadakan, yang melakukan pembekalan adalah TNI,” sehingga pemahaman nasionalisme yang dibekali kepada mahasiswa yang ingin menjalankan KKN di daerah adalah paham nasionalisme TNI. Secara tidak langsung penanaman nasionalisme ini menjadi upaya negara membatasi pemikiran nasionalisme oleh mahasiswa agar seragam dan sesuai dengan pandangan nasionalisme yang ideal menurut negara. Hal yang menjadi persoalan menurut Dave adalah disaat kita melihat dari sisi bangsa, kita tidak melakukan interaksi dengan ilmu pengetahuan yang berasal dari orang asing karena tertahan oleh pemahaman nasionalisme ideal negara yang ditanamkan oleh negara.
Nasionalisme adalah penanaman solidaritas dari kecil agar kita bisa melihat diri kita berkontribusi sebagai entitas di dalam masyarakat sosial. Nasionalisme akan lebih bermanfaat jika kita tidak menerjemahkannya sebagai sesuatu yang dogmatis melainkan sebagai penanaman solidaritas yang riil di dalam masyarakat. Presiden Soekarno pernah menekankan untuk kita sebagai manusia, untuk lebih mencintai sesama manusia sehingga penggunaan nasionalisme selayaknya diperuntukan peningkatan solidaritas sosial bukan upaya pemaksaan penyeragaman pemahaman yang ideal bagi negara.
Pengetahuan, Pendidikan dan Kewarganegaraan
Pendidikan harus dibedakan dengan persekolahan, dengan menjadi terdidik seseorang tidak perlu harus mengenyam bangku sekolah. Dimana sekolah adalah salah satu cara untuk mencapai pendidikan. Menurut paparan Yanuar Nugroho sebagai pembicara kedua pada Diskusi Publik 19, pendidikan adalah pendampingan yang berdasarkan 3 hal yaitu taste, desire, and habit. Dimana pendidikan memiliki dua pertanyaan dasar yang dapat dipilih, antara permanensi atau transformasi, lalu menurut Illich pendidikan adalah sebuah alat yang bahkan bisa dijadikan untuk mempertahankan kekuasaan. 4Illich, I. (2002). Deschooling society. Marion Boyars. Dari pendidikan terciptalah penelitian yang berupa pencariaan atau pemaknaan suatu hal, terdapat tiga aspek dalam penelitian yaitu pemikiran, pencarian dan juga penjelasan. Tidak hanya pendidikan yang memiliki pertanyaan mendasar, penelitian pun memiliki juga memiliki dua pertanyaan antara diskursus atau transformasi.
Yanuar Nugroho memberikan contoh dari kejadian meletusnya Gunung Merapi pada Oktober 2010 silam, lima bulan kemudian setelah ledakan berlangsung akademisi asing lah yang menerbitkan dua jurnal pertama, dan pada satu tahun dari kejadian barulah penulis Indonesia mempublikasikan hasil penelitiannya yang mana saling berkorespondensi. Lalu terdapat contoh kolaborasi lain dengan pemenang nobel yang harus mendapatkan pembuktian dari dari banyak orang, maka dari itu dalam pencarian kebenaran dalam penelitian akademik kolaborasi adalah sebuah hal yang mutlak diperlukan.
Dengan membangun ekosistem pengetahuan negara akan menumbuhkan pemikiran kritis, membentuk perangai ilmiah masyarakatnya. Peran pemerintah dalam pembangunan ekosistem pengetahuan ini terdapat pada kebijakan publik, dimana kebijakan publik adalah sebuah tindakan yang dapat dipilih oleh pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. dalam penentuan kebijakan ini pemerintah memang tidak bisa mengurus segalanya yang ada di masyarakat karena masyarakat itu kompleks. sehingga perlu ada penentuan prioritas yang mana didorong oleh 4 faktor, ekonomis, sosial-budaya-ekologi, politik dan administrasi. Maka dari itu menurut Yanuar Nugroho integrasi dari penelitian dan kebijakan ini perlu sekali diadakan untuk mengatasi permasalahan seperti perbaikan koordinasi dan memecahkan pengkotak-kotakan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pembuat kebijakan, memastikan pelaksanaan sesuai dengan perencanaan agar proses pembuatan kebijakan oleh pemerintah lebih baik, yang terakhir mendorong penggunaan data dan riset untuk kebijakan agar tercipta pelayanan publik yang lebih baik, tertarget, dan akurat.
Methodological Nationalism dan Kebebasan Akademik
Berdasarkan triangulasi data kualitatif dan kuantitatif, studi tentang dinamika di kelas-kelas fakultas profesi sosial Belanda menyoroti dampak mengganggu nasionalisme pada pendidikan kewarganegaraan, meluas ke mata kuliah lain juga. 5Siebers, H. (2018). Are education and nationalism a happy marriage? Ethno-nationalist disruptions of education in Dutch classrooms. British Journal of Sociology of Education, 40(1), 33–49. https://doi.org/10.1080/01425692.2018.1480354 Wacana etno-nasionalis di media dan politik Belanda serta pendekatan multikulturalisme yang digunakan dalam pendidikan kewarganegaraan memicu konflik antara pelajar non-migran dan pelajar dengan latar belakang migrasi yang mengganggu pendidikan. Dikatakan bahwa dalam pengaturan global seperti kelas-kelas ini, pendekatan yang lebih layak untuk pendidikan kewarganegaraan akan mengambil perspektif kelembagaan daripada perspektif komunitarian.
Marginson dan Rhoades (2002), misalnya, mencatat, “Kami melihat universitas sebagai aktor yang semakin global, memperluas pengaruh mereka secara internasional” (hal. 288). Literatur ini menyoroti efek drastis globalisasi pada objek inti studi pendidikan tinggi – melalui perubahan teknologi, peningkatan mobilitas akademik, ekonomi pengetahuan global, struktur pemerintahan baru, kemitraan internasional, dan internasionalisasi kurikulum dan siswa – yang mana pada gilirannya membentuk kembali fungsi, batas, dan lanskap lembaga pendidikan tinggi dan mereka yang bekerja / belajar di dalamnya. Karena itu, melibatkan proses sosial tidak dapat lagi direduksi atau dibatasi pada kekuatan sosial secara eksklusif di dalam negara-bangsa (yang menjadi fokus MN), tetapi semakin berasal dari kekuatan di luar wadah nasional. 6Wimmer, A., & Glick Schiller, N. (2002). Methodological nationalism and beyond: nation-state building, migration and the social sciences. Global Networks, 2(4), 301–334. https://doi.org/10.1111/1471-0374.00043
Dalam (Beyond the “National Container”: Addressing Methodological Nationalism in Higher Education Research) 7Shahjahan, R. A., & Kezar, A. J. (2013). Beyond the “National Container.” Educational Researcher, 42(1), 20–29. https://doi.org/10.3102/0013189×12463050 , dapat dilihat bahwa dengan memperluas cara para sarjana pendidikan tinggi mengkonseptualisasikan fenomena penting yang sudah berlangsung lama di lapangan seperti pengalaman mahasiswa, keragaman, dan pemerintahan serta menambah diskusi tentang globalisasi pendidikan tinggi dengan menunjuk pada masalah spesifik dengan wadah nasional; bias bagi orang untuk terus melihat dunia melalui lensa ini — it’s very powerful historic draw; and the connection of the national container to unequal power relationships and reduced responsibility for human suffering tied to national boundaries. It is important to note that we are not arguing against using the nation-state as a unit of analysis, but unpacking the assumptions underlying the nation-state informed by MN — sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, berkembang secara internal, dan bagian dari proyek pembangunan bangsa.
Kesimpulan Diskusi
Jika kita melihat hal-hal seperti ini, MN menjadi yang tertinggi dari mitos negara modern. MN kemudian harus ditolak karena sejarah dan ciri-ciri utama negara-bangsa dibuat secara artifisial agar sesuai dengan sejarah dan ciri-ciri utama modernitas itu sendiri. Nasionalisme metodologis perlu dilampaui karena, alih-alih membiarkan kita menangkap komplikasi aktual dari sejarah negara-bangsa dalam modernitas, ia mengubah negara-bangsa menjadi prinsip pengorganisasian alami modernitas.
Meninjau dari Chernilo (2007), adalah “bagaimana berteori negara bangsa tanpa jatuh kembali ke nasionalisme metodologis” dalam pendidikan tinggi (hlm. 20)8Beilharz, P. (2008). Review: Daniel Chernilo, A Social Theory of the Nation State: The Political Forms of Modernity beyond Methodological Nationalism (Routledge, 2007). Thesis Eleven, 93(1), 133–134. https://doi.org/10.1177/07255136080930011002 . Salah satu cara untuk bergerak di luar MN adalah dengan tidak memahami pendidikan tinggi sebagai yang secara eksklusif terkait dengan negara-bangsa atau didorong secara internal, tetapi dibangun melalui cara kerja yang kompleks dan interaksi proses sosial yang kompleks yang multidimensi dan juga geopolitik. Menyoroti “isme” ini sebenarnya tentang mengakui bahwa batas-batas nasional / daerah selalu keropos. Oleh karena itu, penting untuk melihat dunia sebagai matriks interkoneksi di mana ada banyak pemain, proses, dan kebijakan serupa yang perlu kita pikirkan dan telusuri lebih dalam. Namun, dengan adanya MN hal tersebut menjadi terbatas karena implementasinya menghasilkan kategorisasi sosial yang kita gunakan untuk mewakili dan memahami pendidikan tinggi.
Editor: Muhammad Daffa Nurfauzan, Rama Vandika Daniswara
Illustrator: Akmal Haikal Rahadian
Referensi
↵1 | Delanty, G., & Kumar, K. (2006). The SAGE Handbook of Nations and Nationalism. In SAGE Knowledge. http://sk.sagepub.com/reference/hdbk_nation |
---|---|
↵2, ↵7 | Shahjahan, R. A., & Kezar, A. J. (2013). Beyond the “National Container.” Educational Researcher, 42(1), 20–29. https://doi.org/10.3102/0013189×12463050 |
↵3 | Ernst Cassirer. (2013). The myth of the state. Yale University Press, , Cop. |
↵4 | Illich, I. (2002). Deschooling society. Marion Boyars. |
↵5 | Siebers, H. (2018). Are education and nationalism a happy marriage? Ethno-nationalist disruptions of education in Dutch classrooms. British Journal of Sociology of Education, 40(1), 33–49. https://doi.org/10.1080/01425692.2018.1480354 |
↵6 | Wimmer, A., & Glick Schiller, N. (2002). Methodological nationalism and beyond: nation-state building, migration and the social sciences. Global Networks, 2(4), 301–334. https://doi.org/10.1111/1471-0374.00043 |
↵8 | Beilharz, P. (2008). Review: Daniel Chernilo, A Social Theory of the Nation State: The Political Forms of Modernity beyond Methodological Nationalism (Routledge, 2007). Thesis Eleven, 93(1), 133–134. https://doi.org/10.1177/07255136080930011002 |
Discussion about this post