Economica
  • Hard News
    • Soft News
  • Sastra
  • Mild Report
    • In-Depth
  • Penelitian
    • Kilas Riset
    • Mini Economica
    • Cerita Data
    • Riset
  • Kajian
  • Majalah Economica
  • UI Guide
No Result
View All Result
Economica
  • Hard News
    • Soft News
  • Sastra
  • Mild Report
    • In-Depth
  • Penelitian
    • Kilas Riset
    • Mini Economica
    • Cerita Data
    • Riset
  • Kajian
  • Majalah Economica
  • UI Guide
No Result
View All Result
Economica
Home Kajian

Mysticism and Stoicism: Contrasting Worldview Paradigms

by Siti Raisya & Muhammad Rafi Haqqani
11 Desember 2025
in Kajian

Pemikiran umat manusia mengalami sejarah yang panjang. Menurut Munir (2012), umat manusia dan bangsanya dilanda oleh perubahan di berbagai sendi kehidupan, dimana perkembangan teknologi serta informasi mengubah pola pikir umat manusia saat ini menjadi serba instan 1Pokok dalam Fils M. Munir, “Ide-Ide afat Sejarah,” Jurnal Filsafat 22, no. 3 (2012): 273–274,. Tan Malaka di dalam Madilog (1943) juga setuju bahwa sejarah panjang interaksi manusia dengan alam, masyarakat, dan proses berpikirnya sendiri sesungguhnya dipaksa akan realitas2 T. Malaka, Madilog (Widjaya, 1943).. Peran pemikiran dalam diri manusia lantas membangun jati diri serta tujuan hidup yang dirasa memberikan kemerdekaan. Maka dari itu, manusia harus berpikir berdasarkan alam dan bukti nyata yang ada di dalamnya serta tidak tunduk pada dogma dan mitos yang tidak bisa dibuktikan, dalam hal ini termasuk hal-hal gaib dan supranatural yang terlanjur membudaya pada masyarakat Indonesia. 

Cara berpikir yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya dalam menganalisis sebab-akibat menjadi definisi dari logika mistika. Logika mistika menafsirkan peristiwa-peristiwa alam dalam cara pandang supernatural3S. Subagja, “Studi Kritik Pemikiran Tan Malaka tentang Logika Mistika dalam Madilog Perspektif Hadis,” Jurnal Riset Agama 4, no. 2 (2024): 81–93. Dalam antropologi klasik, logika mistika dijelaskan sebagai penalaran yang di mana batas antara alam fisik dan supranatural menjadi kabur alias sulit untuk dibedakan satu sama lainnya, disebut sebagai prelogical mentality4L.Lévy-Bruhl, How Natives Think (Allen & Unwin, 1926). Mentalitas yang cenderung mengaitkan peristiwa dengan kekuatan di luar kendali dirinya seperti halnya roh, intervensi metafisik, dan sebagainya membuat seseorang dengan logika tersebut memandang berlebihan terhadap aspek yang tidak menjadi fokus kontrol.

Sangat berbeda logika mistika yang mengandalkan hal-hal gaib, stoikisme sendiri menjadi kontra dari jenis pemikiran tersebut. Stoikisme merupakan aliran dalam ilmu filsafat etika yang menekankan konsep hidup manusia sesungguhnya ditentukan oleh penilaian internal dan bukan dinilai dari kondisi eksternal. Stoikisme dalam kajian klasik diangkat sebagai moral sistem yang fokus pada rasionalitas, kebijakan, dan kontrol diri5J. Annas, “Ethics in Stoic Philosophy,” Phronesis 52, no. 1 (2007): 58–87. Inti dari konsep stoikisme adalah dikotomi kontrol, yakni memisahkan hal-hal yang berada dalam kuasa manusia (opini, keputusan, tindakan) dan hal-hal yang berada di luar kuasanya (cuaca, tubuh, status sosial, reaksi orang lain). Tujuan dari stoikisme bukanlah untuk mengabaikan emosi dalam kehidupan, melainkan untuk membuat pengambilan keputusan menjadi lebih akurat. Hal itu karena penilaian yang keliru terhadap hal-hal eksternal dapat memicu emosi yang cenderung destruktif kurang merepresentasikan moral individu sesungguhnya 6A. A. Long, “Stoic Ethics: A Reappraisal,” The Monist 79, no. 2 (1996): 150–178.

Maka dari itu, praktik stoikisme akan menghasilkan sifat mental yang lebih stabil terhadap gangguan eksternal. Penganut stoikisme dilatih untuk lebih mudah menerima bahwa peristiwa eksternal yang berada di luar kendalinya  tidak bisa menjadi dasar introspeksi moral yang ada dalam dirinya. Hal ini disebut sebagai psychological resilience through rational judgement, yakni kemampuan untuk mengendalikan batin dengan melihat dunia dengan cara yang lebih sederhana. Cara berpikir ini lantas mengembangkan pola penerimaan terhadap keberagaman situasi dan kondisi, karena dengan berpikir rasional, seseorang akan mengesampingkan aspek gangguan emosional yang tidak diperlukan. 

Tabel di bawah ini menyajikan perbandingan konsep antara logika mistika dan stoikisme  yang disimpulkan dari Madilog serta beberapa jurnal dalam kehidupan sehari-hari.

 

Tabel Perbandingan Logika Mistika VS Stoikisme

Aspek Logika Mistika Stoikisme
Dasar penalaran Didasari oleh keyakinan terhadap hal-hal supranatural, simbolisme, dan aspek gaib. Mengedepankan rasionalitas dan analisis sebab-akibat.
Sumber kebenaran Tradisi, mitos, intuisi spiritual, pertanda kosmis. Pengamatan yang objektif dan konsistensi.
Pandangan tentang kontrol Keputusan hidup ditentukan oleh kekuatan eksternal seperti roh, energi, takdir, dan metafisik Keputusan hidup 

memaksimalkan hanya pada hal-hal yang bisa dikendalikan.

Penjelasan atas peristiwa Mengaitkan kejadian tertentu dengan hal-hal gaib (sial, karma, gangguan roh) Menjelaskan peristiwa secara logis dan faktual.
Sikap terhadap hasil Cenderung pasrah dan terlalu percaya akan takdir. Bertanggung jawab atas tindakan dan process oriented.
Cara menghadapi masalah Ritual, jimat, firasat, dukun, dll. Analisis masalah, pengendalian diri dan emosi, evaluasi tindakan.
Contoh 
  1. Kegagalan bisnis disebabkan karena dukun santet;
  2. Menunda perjalanan karena weton yang sedang buruk.
  1. Kegagalan bisnis disebabkan oleh kekurangan pengalaman dalam pengelolaan;
  2. Memutuskan waktu perjalanan sesuai kondisi cuaca, dan situasi perjalanan.
Konsekuensi Cenderung kurang mengandalkan logika yang kritis dan pesimis. Cenderung rasional dan penuh strategi.

 

Berdasarkan tabel di atas, perbedaan perilaku yang terjadi antara penganut logika mistika dan stoikisme digambarkan sebagai akibat dari kesenjangan dalam cara berpikir. Penganut logika mistika cenderung memberikan respons yang ritualistik serta eksternalistik ketika dihadapkan masalah tertentu. Hal sebaliknya terjadi pada penganut stoikisme. Penganut stoikisme lebih baik dalam menganalisis, mengendalikan, serta mengevaluasi pergerakan dan perilaku mereka ketika menghadapi masalah dibandingkan dengan penganut logika mistika. Kesenjangan yang terlihat pun berdampak pada pola pengambilan keputusan di kehidupan sehari–hari.

Tan Malaka dalam Madilog (1943) mengusung kemerdekaan untuk dimulai dengan mengubah pola pikir yang membudaya di masyarakat Indonesia. Ia menyaksikan sendiri melalui perannya sebagai guru, aktivis, dan pengorganisir buruh zaman kolonial, bahwa terdapat rendahnya rasa tanggung jawab seorang tuan terhadap kesejahteraan buruh yang dipekerjakan. Pola berulang yang mengikat para buruh untuk tidak melibatkan aksi demi kesejahteraan mereka itu diperparah dengan logika mistika. Para buruh dan masyarakat miskin beranggapan kalau kemiskinan sudah menjadi takdir, kutukan, atau garis nasib yang sama sekali tidak bisa diubah. Kecerdasan strategi pemerintah kolonial untuk melestarikan hal tersebut seperti memanfaatkan tokoh-tokoh feodal dan pemuka lokal yang menyebarkan ketakutan metafisik, mitos, serta larangan gaib lainnya berakibat pada masyarakat yang sebetulnya tertindas tidak akan pernah mengerti tentang struktur kapitalisme, bagaimana mereka sebenarnya mengalami eksploitasi, serta tidak melakukan perlawanan karena merasa semuanya adalah jalan yang digariskan.

Arah dari perkembangan logika mistika hingga masa kini berdampak pada berbagai kalangan masyarakat, terutama masyarakat daerah pedesaan yang cenderung mengalami ketertinggalan dari peradaban modern. Sebab dari hal ini yaitu kemajuan pada zaman modern yang semakin mengedepankan keilmiahan. Masyarakat Indonesia termasuk masih tertinggal dibandingkan negara-negara barat karena masih adanya keyakinan mistis7Anisa dkk., “Pengaruh Kurangnya Literasi serta Kemampuan dalam Berpikir Kritis yang Masih Rendah dalam Pendidikan di Indonesia,” 2021, dikutip dalam S. Subagja, “Studi Kritik Pemikiran Tan Malaka tentang Logika Mistika dalam Madilog Perspektif Hadis,” Jurnal Riset Agama 4, no. 2 (2024): 81–93. Ketertinggalan yang dimaksud merupakan daya kritis untuk keperluan menganalisa sesuatu permasalahan. Hasil penelitian dari Suratno & Kurniati tahun 2017 menunjukkan bahwa minat siswa untuk melakukan pembuktian prinsip, penyelidikan, dan penggeneralisasian masih kurang memuaskan8Suratno & Kurniati, “Implementasi model pembelajaran math-science berbasis performance assessment untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa di daerah perkebunan kopi Jember,” 2017, dikutip dalam Susilowati, Sajidan, dkk., “Keefektifan Perangkat Pembelajaran Berbasis Inquiry Lesson Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa,” Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan 22, no. 1 (2018): 49–60. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia masih memiliki tingkat kepercayaan terhadap logika mistika yang tinggi, hingga menyebabkan rendahnya daya kritis pada warganya. Jika daya kritis warga negara tertentu tidak mengalami ketertinggalan, maka tingkat kepercayaan terhadap logika mistika menjadi lebih rendah pula. Hal tersebut sejalan dengan temuan dari Wilson (2018), bahwa pendidikan kuliah yang mengutamakan proses berpikir kritis dengan mengkonfrontasi pemikiran paranormal dan pseudosains berhasil menurunkan keyakinan mahasiswa terhadap hal-hal yang disebutkan itu9J. A. Wilson, “Reducing Pseudoscientific and Paranormal Beliefs in University Students Through a Course in Science and Critical Thinking,” Science & Education 27 (2018): 183–210. 

 

Stoikisme: Menerapkan Dikotomi Kontrol 

Stoikisme adalah suatu konsep filosofis yang mengajarkan kita untuk fokus hanya pada dikotomi kontrol. Filosofi ini mengarahkan bahwa usaha, pilihan, dan penilaian terhadap situasi tertentu hanya ditujukan terhadap hal-hal yang dirasa memengaruhi secara aktual. Pola pikir stoikisme akan membantu individu untuk menghindari kekhawatiran terhadap hal-hal yang di luar jangkauan dan kontrol mereka. Dalam psikologi klinis, prinsip stoikisme diadopsi menjadi Cognitive Behavioral Therapy (CBT). CBT melatih seseorang untuk menyadari bahwa mereka dapat mengganti berbagai distorsi kognitif, seperti menyalahkan hal-hal yang diluar kontrol individu dengan pemikiran rasional. CBT mengajarkan bahwa situasi bukanlah penyebab dari kegagalan, kesedihan, ataupun kecemasan, melainkan disebabkan oleh persepsi kita terhadap situasi yang dialami. 

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Mueller dan Dweck (1998) menjadi penting dalam mendasari teori pemahaman tentang growth mindset. Eksperimen ini memberikan serangkaian teka-teki untuk dipecahkan kepada beberapa siswa sekolah dasar. Prosedur eksperimen dibagi ke dalam tiga tahap utama. Pada tahap pertama, seluruh peserta diberikan teka-teki dengan tingkat kesulitan yang relatif rendah sehingga sebagian besar sisanya dapat menyelesaikan tantangan tersebut dengan baik. Setelah menyelesaikan tugas tersebut, anak-anak yang diteliti ini secara acak ditempatkan pada dua kelompok yang beda dengan jenis perlakuan yang berbeda. 

Kelompok pertama menerima pujian berdasarkan kemampuan bawaan atau yang disebut bakat alamiah, yakni kecerdasan yang dianggap sebagai sifat yang melekat dari lahir. Sedangkan, kelompok kedua memperoleh pujian berdasarkan hasil dari usaha yang mereka kerjakan. Anak-anak yang berada dalam kelompok kedua menerima pujian yang menekankan proses, kerja keras, dan ketekunan yang mereka tunjukkan selama mengerjakan tugas sehingga fokus pemberian pujian tidak diarahkan pada kualitas bawaan semata, melainkan pada tindakan dan pendekatan yang dapat dikendalikan oleh individu.

Hasil dari eksperimen ini menunjukkan bahwa kelopok pertama atau yang dipuji berdasarkan bakat intelektual menunjukkan penurunan motivasi dan performa ketika menghadapi tugas yang lebih sulit dari sebelumnya. Mereka lebih cepat merasa frustasi, menurunkan usaha, serta menafsirkan kegagalan sebagai bukti bahwa mereka tidak cukup pintar. Ketika mereka diberikan kembali tugas yang relatif mudah, kelompok ini mencatatkan penurunan kinerja yang signifikan dibandingkan dengan hasil yang mereka dapatkan pada tahap awal, menunjukkan bahwa pengalaman mengalami kegagalan sebelumnya berdampak negatif terhadap kepercayaan diri dan kemampuan mereka untuk pulih sepenuhnya. Sebaliknya, anak-anak yang menerima pujian berbasis usaha yang mereka keluarkan menampilkan respons yang lebih adaptif. Mereka menunjukkan daya tahan yang lebih tinggi ketika berhadapan dengan tugas yang relatif sulit, mempertahankan motivasi, serta mencoba berbagai strategi untuk dapat menyelesaikan suatu permasalahan. Sehingga, pada tahap akhir eksperimen, kelompok ini menunjukkan peningkatan performa yang lebih baik dibandingkan tahap awal. Hal ini menunjukkan bahwa pujian yang berfokus pada proses membuat anak lebih mampu mempertahankan orientasi belajar dan tidak mudah terpengaruh ketika mengalami kegagalan10 C. M. Mueller dan C. S. Dweck, “Praise for Intelligence Can Undermine Children’s Motivation and Performance,” Journal of Personality and Social Psychology 75, no. 1 (1998): 33–52.

Maka dari itu, Dweck dan Mueller (1998) menyimpulkan bahwa jenis pujian yang diberikan kepada anak memiliki pengaruh secara langsung terhadap proses dan hasil yang dialami setiap kelompok. Pujian yang menekankan kemampuan bawaan (bakat) cenderung menumbuhkan fixed mindset, yang membuat anak lebih rentan terhadap keengganan untuk menghadapi tantangan. Sebaliknya, pujian yang difokuskan pada usaha mendukung dalam membentuk growth mindset, dimana kemampuan dapat berkembang melalui daya juang individu. Hasil eksperimen ini membuktikan bahwa secara psikologis, ketika kita dapat fokus pada hal yang bisa dikontrol, maka kita akan menciptakan mentalitas yang stabil dan tidak mudah terguncang oleh kegagalan eksternal. 

Dalam skala makroekonomi, suatu kesimpulan mengenai efektivitas mindset stoikisme dari tingkat individu yang dibuktikan oleh Dweck lantas didukung dengan model matematika dalam riset terbaru yang dilakukan oleh Karani dan Saravanan (2024) 11 N. Karani dan D. Saravanan, “Stoic Economics: A Theoretical Examination of a Shift in Consumer Philosophy towards Stoicism,” Journal of Economics, Finance and Accounting Studies 6, no. 5 (2024): 66–72. Mereka mengusulkan bahwa prinsip ini secara keseluruhan berfungsi sebagai mekanisme dalam stabilisasi pasar yang dapat menghentikan siklus Fear and Greed ketika temuan Dweck mengonfirmasi bahwa fokus pada kendali internal meningkatkan rasionalitas dan resiliensi individu.

Penelitian ini menggambarkan dunia yang berada dalam model masyarakat y, yakni terdapat konsumen yang masih terikat pada sebagian besar kondisi pasar modern yang memiliki kebiasaan dan perilaku pasar berbeda dari konsumen tradisional. Model matematika yang digunakan membuktikan bahwa penerapan prinsip stoikisme tidak menghambat pertumbuhan ekonomi dan justru mengarahkannya kembali kepada masyarakat yang menerima manfaat dengan lebih berkelanjutan. Karani dan Saravanan memproyeksikan bahwa pada tingkat agregat, prinsip ini berfungsi sebagai mekanisme stabilisasi pasar yang meredam siklus Fear and Greed. Mereka menganalisis bahwa perilaku ekonomi konvensional sering kali didorong oleh keputusan yang cenderung impulsif dan kepanikan terhadap faktor eksternal di luar kontrol sehingga memicu volatilitas ekstrem. Melalui penerapan stoikisme, dimana kekayaan atau wealth dipandang sebagai “preferred indifferent”, yakni kekayaan dipandang sebagai sesuatu yang tidak terlalu bernilai dan keputusan didasarkan atas kebajikan atau kesejahteraan jangka panjang, penelitian ini menemukan adanya perubahan terhadap pola pertumbuhan ekonomi secara signifikan berbeda dengan model kapitalisme pada era modern. 

Untuk memvisualisasikan dampak psikologis terhadap stabilitas makroekonomi, Karani dan Saravanan (2024) mengajukan model pertumbuhan ekonomi yang dimodifikasi sebagai berikut:

Ilustrasi 1 Model Pertumbuhan Ekonomi Stoikisme. Diadaptasi dari “Stoic Economics: A Theoretical Examination of a Shift in Consumer Philosophy towards Stoicism,” oleh N. Karani dan D. Saravanan, 2024.

Seperti terlihat pada Ilustrasi 1, terdapat dua jalur pertumbuhan yang saling berhubungan kontras. Garis biru yang melengkung naik-turun merepresentasikan kondisi pasar yang dikendalikan oleh emosi Fear and Greed. Grafik ini menggambarkan siklus boom-and-bust, yakni keserakahan yang menciptakan kenaikan yang cukup signifikan lalu diikuti oleh fluktuasi pasar (terlihat dari pola kenaikan dan penurunan grafik). Sebaliknya, fungsi linear yang digambarkan dengan garis lurus melambangkan pertumbuhan ekonomi yang stabil dimana pengambilan keputusan tidak berdasarkan pada emosi Fear and Greed, akan tetapi keputusan diambil berdasarkan pertimbangan jangka panjang.
Stoikisme berfungsi sebagai “peredam guncangan” (terlihat dari proses transformasi kurva yang awalnya fluktuatif menjadi linear). Model matematika dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa penerapan stoikisme memiliki kemampuan dalam mengubah pola pertumbuhan ekonomi yang semula berdasarkan pemikiran yang cenderung emosional (irasional) menjadi lebih rasional sehingga menciptakan pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan stabilitas dan kesejahteraan.

 

Kesimpulan

Ketertinggalan Indonesia dalam melahirkan generasi yang kritis salah satunya disebabkan oleh kepercayaan logika mistika. Hasil penelitian terdahulu (termasuk juga model matematika) juga telah membantu dalam pembuktian hipotesis tersebut, yakni suatu kelompok yang mempercayai faktor bawaan (di luar kendali) secara berlebihan akan menghadapi stagnasi yang fatal ketika dihadapkan pada beberapa kondisi ekstrim seperti krisis ekonomi, teknologi, maupun geopolitik. Sedangkan, jika suatu kelompok menerapkan pola pengambilan keputusan rasional yang didukung oleh prinsip stoikisme (dikotomi kontrol), mereka cenderung akan lebih mudah untuk mencapai kesejahteraan karena meningkatnya kualitas atas pengambilan keputusan secara objektif. Tan Malaka dalam Madilog menekankan esensi pertentangan terhadap logika mistika dan takhayul dengan strategi yang rasional serta dibuktikan secara ilmiah. Hal tersebut lantas menjadi prasyarat untuk mewujudkan “kemerdekaan sejati” dalam bidang ekonomi maupun politik di negeri ini. Setiap individu sepatutnya mampu mentransformasi perilaku yang semula mengalami ketergantungan pada external locus of control menjadi pemikiran yang lebih optimis terhadap merit yang diperoleh atas usaha dan kerja keras mereka dibandingkan hanya bersandar pada kepasrahan terhadap faktor takdir, mitos, dan hal lain yang merupakan turunan dari logika mistika. 

Referensi[+]

Referensi
↵1 Pokok dalam Fils M. Munir, “Ide-Ide afat Sejarah,” Jurnal Filsafat 22, no. 3 (2012): 273–274,
↵2  T. Malaka, Madilog (Widjaya, 1943).
↵3 S. Subagja, “Studi Kritik Pemikiran Tan Malaka tentang Logika Mistika dalam Madilog Perspektif Hadis,” Jurnal Riset Agama 4, no. 2 (2024): 81–93
↵4 L.Lévy-Bruhl, How Natives Think (Allen & Unwin, 1926
↵5 J. Annas, “Ethics in Stoic Philosophy,” Phronesis 52, no. 1 (2007): 58–87
↵6 A. A. Long, “Stoic Ethics: A Reappraisal,” The Monist 79, no. 2 (1996): 150–178
↵7 Anisa dkk., “Pengaruh Kurangnya Literasi serta Kemampuan dalam Berpikir Kritis yang Masih Rendah dalam Pendidikan di Indonesia,” 2021, dikutip dalam S. Subagja, “Studi Kritik Pemikiran Tan Malaka tentang Logika Mistika dalam Madilog Perspektif Hadis,” Jurnal Riset Agama 4, no. 2 (2024): 81–93
↵8 Suratno & Kurniati, “Implementasi model pembelajaran math-science berbasis performance assessment untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa di daerah perkebunan kopi Jember,” 2017, dikutip dalam Susilowati, Sajidan, dkk., “Keefektifan Perangkat Pembelajaran Berbasis Inquiry Lesson Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa,” Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan 22, no. 1 (2018): 49–60
↵9 J. A. Wilson, “Reducing Pseudoscientific and Paranormal Beliefs in University Students Through a Course in Science and Critical Thinking,” Science & Education 27 (2018): 183–210
↵10  C. M. Mueller dan C. S. Dweck, “Praise for Intelligence Can Undermine Children’s Motivation and Performance,” Journal of Personality and Social Psychology 75, no. 1 (1998): 33–52
↵11  N. Karani dan D. Saravanan, “Stoic Economics: A Theoretical Examination of a Shift in Consumer Philosophy towards Stoicism,” Journal of Economics, Finance and Accounting Studies 6, no. 5 (2024): 66–72

Related Posts

Dari Persepsi ke Aksi: Pengaruh Price, Availability, dan Value terhadap Green Purchase Intention Mahasiswa FEB UI
Cerita Data

Dari Persepsi ke Aksi: Pengaruh Price, Availability, dan Value terhadap Green Purchase Intention Mahasiswa FEB UI

Pemira IKM FEB UI 2025: Dinamika Calon hingga Lini Masa yang Tak Teratur
Hard News

Pemira IKM FEB UI 2025: Dinamika Calon hingga Lini Masa yang Tak Teratur

Discussion about this post

  • Tentang
  • Kontak
  • Kebijakan Privasi

© 2024 Badan Otonom Economica

Situs ini menggunakan cookie. Dengan menggunakan situs ini Anda memberikan izin atas cookie yang digunakan.

Selengkapnya Saya Setuju
Privacy & Cookies Policy

Privacy Overview

This website uses cookies to improve your experience while you navigate through the website. Out of these cookies, the cookies that are categorized as necessary are stored on your browser as they are essential for the working of basic functionalities of the website. We also use third-party cookies that help us analyze and understand how you use this website. These cookies will be stored in your browser only with your consent. You also have the option to opt-out of these cookies. But opting out of some of these cookies may have an effect on your browsing experience.
Necessary
Always Enabled
Necessary cookies are absolutely essential for the website to function properly. This category only includes cookies that ensures basic functionalities and security features of the website. These cookies do not store any personal information.
Non-necessary
Any cookies that may not be particularly necessary for the website to function and is used specifically to collect user personal data via analytics, ads, other embedded contents are termed as non-necessary cookies. It is mandatory to procure user consent prior to running these cookies on your website.
SAVE & ACCEPT
No Result
View All Result
  • Hard News
    • Soft News
  • Sastra
  • Mild Report
    • In-Depth
  • Penelitian
    • Kilas Riset
    • Mini Economica
    • Cerita Data
    • Riset
  • Kajian
  • Majalah Economica
  • UI Guide