Penulis: Guntur Alam
Di dinding kamarku sebelah kanan, ada seekor laba-laba hitam besar yang bersarang. Saking besarnya, jaring laba-laba itu seperti gulungan nilon yang membentuk perangkap. Bila aku terjerat di sana, aku tidak akan pernah bisa lepas. Dengan kaki-kakinya yang kurus dan panjang serta mulutnya yang lebar, dia hanya butuh waktu beberapa menit untuk membungkusku jadi dadar gulung isi daging.
Awalnya aku menyukai kehadiran laba-laba itu di kamarku, sebab sejak kemunculannya nyamuk-nyamuk dan serangga yang mengesalkan itu sudah menghilang. Semua lenyap dan berakhir dalam perutnya. Namun aku tidak menyukainya yang kerap mengentak-entakkan kakinya ke dinding kamar, juga suara berisiknya saat menjerat mangsa.
Bila malam tiba—tidak tiap malam—laba-laba itu akan turun dari dinding kamar dan merangkak ke atas ranjangku. Aku geli dan merinding ketika kaki-kaki panjangnya serta bulu-bulu kasar yang tumbuh di tubuhnya menyentuh kulitku. Badanku meremang, lebih-lebih bila dia mulai menjilatiku.
Dulu, pertama kali dia melakukan itu, aku ketakutan setengah mati. Aku menerka dia akan memangsaku hidup-hidup, seperti nyamuk dan serangga-serangga yang terkubur di dalam perutnya itu. Namun ternyata tidak. Dia tidak memakanku, dia hanya menjilatiku dan menggigitku.
Aku tak suka dijilati. Geli. Juga sakit, tetapi dia tak mendengarkan ucapanku, dia terus melakukannya. Aku pernah mengancamnya. Akan kuusir kau. Kurusak sarangmu. Dia tidak tinggal diam. Aku akan menggulung dan memakanmu hidup-hidup. Aku mengkeret saat mendengar ancamannya itu, terlebih saat dia mengucapkan kata-katanya dia menggerak-gerakan kaki-kakinya yang panjang itu. Kaki-kaki yang menyimpan pisau.
♦♦♦
Terkadang laba-laba besar itu juga bisa bertingkah manis. Seperti sore ini, saat aku tengah sibuk mengerjakan PR dari ibu guru, dia turun dari sarangnya di dinding kanan kamarku. Aku merasakan kehadirannya saat kakinya menjejak lantai kamar, lalu udara terasa hangat di tengkukku.
“Abang punya gulali dan arum manis,” sepasang tangan yang masing-masing menggenggam gulali dan arum manis menutupi pandanganku dari buku tulis. “Kamu mau yang mana?”
“Kata ibu jangan makan permen, entar gigiku bolong dan sakit.”
“Kalau sekali-sekali nggak bakalan sakit. Abang janji gak bakalan cerita ke Tante,” dia tersenyum lebar. Ucapan dan senyumnya menarikku ke suatu siang yang tak ingin kuingat.
Di kursi ruang tamu, duduk seorang laki-laki jangkung dengan mata jenaka dan senyum lebar ke arahku. Aku yang baru pulang sekolah menatapnya bingung. Ibu muncul dari dapur dengan segelas air putih.
“Eh, jagoan ibu sudah pulang,” sapaan ibu kujawab dengan pertanyaan yang bersarang di bola mata. “Ini Bang Zen. Kamu ingat? Anak Om Frengki. Tempat kamu mancing ikan saat pulang kampung.”
Ucapan ibu membawa ingatanku pada sosok laki-laki tambun yang perutnya bergoyang-goyang bila dia tertawa. Aku ingat, saat kelas satu SD dan libur lebaran, aku bersama ayah memancing ikan di empang yang ada di belakang rumah Om Frengki. Dan ingatanku terhenti pada sosok yang duduk di sofa ruang tamu. Dia ada di sana.
“Kamu tinggal di sini saja. Kamar Joshua cukup besar untuk kalian berdua. Biaya kos mahal. Kalau ke kampus tinggal naik bis satu kali.”
Ucapan ibu itu menyudahi ingatanku. Gulali dan arum manis masih menghalangi pandanganku akan buku tulis dan PR yang tengah kukerjakan.
“Gulali,” aku mengambilnya dan mulai menjilatinya.
“Pintar. Itu baru adik abang,” dia mencium pipiku, juga mengusap rambutku. Agak geli, tapi aku sudah terbiasa dengan geli. Laba-laba hitam besar di dinding kamar itu telah mengajariku cara menghadapi geli.
“Pejamkan matamu. Entar nggak geli lagi,” bisik laba-laba itu dalam gelapnya kamar. Aku tertelungkup di atas ranjang. Agak dingin. Bukan karena AC, tapi karena celana-bajuku entah ada di mana.
♦♦♦
Aku tak tahu bagaimana caranya mengusir laba-laba hitam besar itu. Aku ingin meminta ibu atau ayah untuk mengusirnya, tetapi aku tak berani karena laba-laba itu pernah mengancam, dia akan memakan ayah-ibu jika itu kulakukan.
Aku tahu, laba-laba itu tidak hanya menggertak. Dia serius. Dia sangat serius dengan ancamannya itu. Aku sudah pernah berusaha membangkang dan tak ingin menuruti keinginannya.
Malam itu, saat hujan deras aku terbangun karena merasa dingin dan sesuatu yang berat menindihku. Aku berusaha bergerak dan melepaskan diri ketika menyadari kalau laba-laba besar berbulu itu sudah menjepit tubuhku. Aku tak ingin mati konyol, juga tak ingin merasakan sakit dan geli itu lagi. Namun laba-laba itu tak menyerah. Dia tak akan begitu mudah melepaskan mangsanya.
“Lepasin! Aku bakalan ngejerit!”
Laba-laba itu langsung menyumpal mulutku dengan bajuku sendiri. Aku masih berusaha melepaskan diri, tapi tak bisa karena laba-laba itu sudah memiting tanganku ke belakang. Mataku memanas, aku tahu air mata sudah turun di sana. Rasanya sakit sekali. Kupikir tanganku akan patah.
“Ampun!”
“Nggak akan kulepas kalau kamu melawan,” dia berbisik tepat di telingaku. Aku menggeleng dengan mata basah.
Mata kami bertemu. Dalam remang kamar aku bisa melihat matanya berkilat-kilat senang, juga seringai di wajahnya yang sangat mengerikan.
“Karena kamu nakal malam ini, aku nggak akan mengampunimu.”
Aku menggeleng cepat. Mulutku terasa sakit karena sumpalan baju itu. Dia terkekeh. Bulu kudukku berdiri mendengar tawanya itu. Aku seperti tengah melihat hantu yang ada di film.
Dia tergesa mengambil celana piyamaku, lalu mengikat tanganku dengan sangat kencang. Aku meringis.
“Sudah. Jangan nangis.” Suaranya berusaha lembut. “Kalau kamu nggak nakal, nggak kayak gini, kan?”
Aku terpaksa mengangguk, karena aku tahu, bila aku tidak mengangguk, dia akan menyakitiku.
“Sekarang pejamkan matamu. Kita tidur.”
Aku menurut lagi. Memejamkan mata. Dia memelukku dan geli itu menyerang. Aku ingin menjerit, tetapi tak bisa. Rasanya sakit, mungkin seperti ini juga yang dirasakan Pusi, kucing kesayanganku yang laba-laba itu benamkan dalam bak mandi.
“Bila kamu nakal lagi, kamu akan seperti Pusi,” ucapnya waktu itu. “Kupintal dengan benang sampai mati. Nggak bisa napas. Nggak bisa ketemu Mama Papa lagi. Nggak bisa sekolah. Nggak bisa main. Nggak bisa makan gulali atau arum manis.”
Laba-laba itu tidak pernah main-main dengan ancamannya Itulah kenapa aku takut padanya. Sangat takut.
♦♦♦
Bila malam, aku dibalut cemas, jika dia turun dari dinding kamar dan merangkak ke atas ranjangku, menindihku, serta mulai menjilatiku. Biasanya aku akan menggigit bibir karena laba-laba itu akan membunuhku bila aku berteriak.
Namun malam ini aku akan melawannya. Kusimpan pensilku yang paling tajam di bawah bantal. Saat lampu kamar sudah dimatikan, aku berhitung dan menunggunya turun. Dia merangkak ke atas lantai, aku mendengarnya. Bulu kudukku meremang saat tangannya mulai menyentuh kulit punggungku. Tanganku gemetar di balik bantal, mencengkeram pensil kuat-kuat. Tangan laba-laba itu mulai meraba, masuk ke dalam celana, mengusap kulit pantatku. Aku menggigil.
Kutarik tangan dari balik bantal. Pensil terhunus di sana. Kutikam ia. Berkali-kali. Aku menjerit. Dia menjerit. Panik. Suara jeritan kami bersahut-sahutan. Terdengar suara ayah-ibu di balik pintu kamar. Aku terus menikamnya.
Jeritannya seperti amukan laba-laba yang batal kawin. Terasa ada air hangat yang mengenai kulit tanganku. Aku tak peduli. Ini kamarku, aku akan merebutnya kembali.
GUNTUR ALAM
Guntur Alam adalah seorang novelis dan cerpenis yang tulisannya banyak mengisi berbagai surat kabar di Indonesia. Karya teranyarnya adalah buku kumpulan cerpen gotik Magi Perempuan dan Malam Kunang-kunang (Gramedia Pustaka Utama: Agustus 2015). Sebuah novel romance populernya Satu Kisah yang Tak Terucap, seri #Indonesiana sedang proses terbit di Gagas Media, 2016.
Discussion about this post