“Aduhh Jakarta macet mulu tiap hari, mana udaranya polusi doang”
Batuk-batuk karena polusi udara, capek karena perjalanan jauh dari rumah ke kantor, jalan kaki di pinggir jalan dengan kekhawatiran akan resiko tertabrak saat mau ke warung terdekat, dan permasalahan sehari-hari warga Jakarta lainnya. Permasalahan-permasalahan tadi seolah sudah jadi makanan sehari-hari sebagian warga Jakarta. Berdasarkan situs IQAir, pada bulan Juni 2022 lalu, Air Quality Index DKI menjadi yang terburuk di dunia dengan skor 163 (tidak sehat). Mengenai kemacetan, Polda Metro Jaya mencatat bahwa indeks kemacetan di Jakarta sudah di atas 50% pada awal 2023, mendekati angka indeks kemacetan di Ibu Kota sebelum pandemi, tepatnya pada 2019. Data-data tersebut menimbulkan pertanyaan, “Mengapa kita bisa terjebak dalam lingkungan seperti ini bertahun-tahun?” Coba perhatikan foto jalan Gatot Subroto di Jakarta Selatan ini sebagai salah satu contoh.
Jika pembaca sekalian ada keperluan dan harus melewati jalanan yang super lebar dan sangat panjang seperti ini, sepertinya pembaca sendiri sudah tahu mana cara bermobilitas yang lebih nyaman antara naik mobil atau berjalan kaki. “Ya berarti masalah pilihan aja kan, orang-orang mah jelas milih cara yang lebih nyaman dalam bermobilitas, yaitu menggunakan mobil pribadi dan kamu sendiri yang memilih berjalan kaki”. Nah, disinilah permasalahannya berasal, yaitu desain kota yang lebih memanjakan pengguna mobil. Pilihan warga Jakarta untuk naik mobil itulah yang membuat parahnya polusi dan padatnya kemacetan bisa terjadi bertahun-tahun. Lalu, bagaimana cara mengatasi semua permasalahan ini?
Kota Ramah Pejalan Kaki
Kota yang ramah pejalan kaki adalah kota yang mendesain jalan, trotoar, dan ruang publik agar memprioritaskan kebutuhan dan kenyamanan pejalan kaki, sehingga warga kota dapat berjalan atau bersepeda ke tempat tujuan mereka dengan mudah dan aman. Ruang publik juga dirancang untuk menjadi tempat berkumpul dan bersosialisasi yang menyenangkan. Seiring dengan pertumbuhan kota-kota di seluruh dunia yang menghadapi tantangan seperti kemacetan lalu lintas dan polusi udara, kebutuhan akan kota yang ramah pejalan kaki semakin mendesak. Lalu, bagaimana cara merancang kota yang ramah pejalan kaki?
Jeff Speck, dalam bukunya yang berjudul “Walkable Cities : How Downtown Can Save America. One Step At A Time” menyatakan bahwa The General Theory of Walkability memiliki 4 kondisi yang harus dipenuhi untuk memenuhi walkability suatu lingkungan, yaitu Useful, Safe, Comfortable, dan Interesting. Useful berarti sebagian besar dari aspek kehidupan seperti sekolah, bekerja, belanja, dan sebagainya harus dekat dari tempat tinggal dan bisa dijangkau dengan jarak yang masuk akal jika berjalan kaki. Safe berarti jalanan harus didesain dengan memberi rasa aman kepada pejalan kaki. Comfortable berarti ruang publik harus dirancang untuk memberikan lingkungan yang menarik bagi orang untuk bersosialisasi, bersantai, dan melakukan berbagai kegiatan, seperti halnya orang menggunakan ruang tamu di dalam rumah. Interesting berarti trotoar dikelilingi oleh tanda-tanda kehidupan manusia yang melimpah. Berikut akan penulis paparkan beberapa saran kebijakan yang dapat membuat suatu kota lebih walkable dengan memperhatikan 4 aspek tadi.
Hunian tuh Tumbuh ke Atas, Bukan ke Samping
Kondisi di berbagai kota yang umum ditemui di Amerika Serikat adalah terpisahnya antara downtown (pusat kota. tempatnya perkantoran, toko-toko, dsb) & suburbs (pinggiran kota. perumahan masyarakat). Agak mirip dengan kondisi yang ada di AS, di sekitar downtownnya Jakarta sebenarnya sudah ada pemukiman warga. Namun, karena tingginya pertumbuhan penduduk dan masyarakat yang masih suka membangun rumah tapak, akhirnya terjadilah urban sprawl (perluasan kota yang tidak terkontrol), sehingga memunculkan kondisi yang sama seperti di Amerika Serikat, yaitu jauhnya akses pemukiman warga dari pusat kota. Kondisi ini membuat masyarakat perlu untuk berkendara kemana-mana. Ketika warga dari seluruh penjuru Jakarta menuju ke pusat kota, timbullah kemacetan. Maka, langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah kota adalah mendekatkan antara hunian masyarakat dengan tempat-tempat publik di tengah kota dengan membangun berbagai hunian vertikal yang harganya terjangkau di tengah kota. Hunian di tengah kota ini bermanfaat dalam meminimalisir jarak mobilitas warga dari tempat tinggal ke tempat-tempat publik.
Selain sebagai hunian, apartemen-apartemen tersebut juga harus diisi oleh berbagai fasilitas pelayanan dasar seperti klinik kesehatan, toko-toko makanan, dan pos keamanan agar warga hunian tersebut bisa semakin meminimalisir kebutuhan mobilitas mereka. Saat hampir seluruh kebutuhan warga sudah ada relatif dekat dari tempat tinggal mereka, maka warga hanya akan perlu berjalan kaki setiap harinya demi memenuhi kebutuhannya.
Hunian vertikal juga bermanfaat bagi lahan hijau di sekitar kota. Selama ini, kebutuhan manusia akan tempat tinggal terus membuat lahan hijau tergerus untuk dijadikan perumahan tapak. Pemerintah perlu meregulasi batasan area hijau yang tidak boleh dibangun. Dengan memusatkan aktivitas manusia di titik-titik tertentu, lahan hijau di luar titik-titik tersebut bisa tetap terjaga.
1 Kendaraan 1 Orang ❌. 1 Kendaraan 50 Orang ✔️
“Lalu bagaimana jika masyarakat mendapatkan tempat kerja/sekolah yang relatif jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki? Bukankah pada akhirnya masyarakat perlu mobil yang katanya jadi penyebab kemacetan?” Nah, disinilah peran transportasi umum berada.
Transportasi umum adalah fasilitas mobilitas orang di dalam wilayah perkotaan dengan menggunakan kendaraan berkapasitas besar seperti bus atau kereta api. Fungsi penting dari transportasi umum adalah bisa membawa banyak orang untuk diangkut dengan 1 kendaraan yang sama atau kumpulan beberapa kendaraan yang terangkai dalam 1 rangkaian. Dengan transportasi umum, masyarakat dalam jumlah besar bisa terakomodir mobilitasnya tanpa menyebabkan kepadatan di jalanan sehingga tidak ada kemacetan. Transportasi umum harus memiliki jarak waktu kedatangan antar kendaraan yang rapat demi mencegah penumpukan penumpang sehingga membuat transportasi umum semakin diminati.
Pemerintah perlu menyediakan banyak rute transportasi umum yang menghubungkan antara apartemen-apartemen dengan sekolah, area perkantoran, bandara, pelabuhan, dan lain-lain. Selanjutnya, demi lebih mempersingkat mobilitas dan memberi kenyamanan pergerakan manusia dari transportasi umum ke tempat tujuannya, pemerintah kota juga bisa mengintegrasikan stasiun/halte dengan gedung-gedung publik. Contohnya adalah Stasiun KRL Pondok Cina & Tanjung Barat yang terintegrasi dengan apartemen (hunian) dan Stasiun MRT Blok M yang terintegrasi dengan Mall Blok M Plaza (tempat publik).
“Kenapa bawaannya was-was mulu dah tiap gua nyetir ini”
Kota-kota besar pada umumnya memiliki ukuran jalan yang lebar-lebar yang bisa membuat mereka berkendara dengan leluasa. Menurut sebuah studi yang diterbitkan di Journal of Transportation Engineering, para peneliti dari Texas A&M mengobservasi jalan raya saat traffic sedang lengang di Dallas, Houston, dan San Antonio, Amerika Serikat. Berdasarkan lebih dari 650.000 pengamatan, para peneliti menemukan bahwa pengendara melakukan perjalanan dengan kecepatan rata-rata 3,6 km/h lebih cepat di jalur dengan lebar 3,7 meter dibandingkan dengan jalur yang sama dengan lebar 3,4 meter. Melihat keadaan ini, penulis teringat dengan salah satu kalimat dari Jeff Speck di dalam bukunya
“Why the deadliest intersections in America are typically the ones you can navigate with one finger on the steering wheel and a cellphone at your ear”.
Keleluasaan dalam berkendara ini memungkinkan para pengendara mobil untuk “menyetir dengan 1 tangan sambil memegang hp di samping telinganya untuk menelpon” dan membuat seseorang kurang memperhatikan lingkungan sekitar dan kurang berhati-hati.
Kondisi tersebut tentu membahayakan sekitarnya, termasuk pejalan kaki. Maka, kecepatan dari mobil-mobil ini harus diturunkan dengan memaksa para pengendara ini ekstra aware dengan sekitarnya. Jika jalan yang super lebar membuat pengendara merasa bisa leluasa menyetir, maka kurangilah lebarnya. Buat para pengendara lebih aware dengan kehidupan-kehidupan di pinggir jalan. Buat persimpangan jalan dengan sudut yang tajam agar mobil yang ingin berbelok arah harus memperlambat mobilnya. Ijinkan penulis mengutip 1 kalimat lagi dari Jeff Speck : “The safest roads are those that feel the least safe, demanding more attention from driver”.
“Eh, nongkrongnya di Taman Suropati aja yuk”
Ruang publik adalah tempat di mana setiap orang dapat mengakses dan menggunakannya tanpa diskriminasi. Ruang publik merupakan tempat yang sangat penting bagi masyarakat karena di dalamnya mereka dapat melakukan berbagai kegiatan seperti berkumpul, berolahraga, atau sekadar bersantai. Salah satu manfaat dari ruang publik berikut dikutip dari Jonathan Massimi, seorang profesor dari Martin Luther University College, Waterloo.
“It provides an opportunity to share and talk and check in on how others are doing in life. Public spaces can open the opportunity to connect with neighbours and to see ways that I can potentially invest in their lives. Public space offers those physical health benefits, but also encourages being around others.”
Hal yang bisa dilakukan pemerintah terkait ruang publik adalah dengan membangun berbagai ruang terbuka hijau (RTH) di sekitar apartemen warga. Lalu pemerintah juga bisa menyediakan space-space komersial di lantai paling bawah dari sebuah mixed used building yang menghadap langsung ke jalanan. Hal ini tentu akan membuat suasana di jalanan menjadi lebih hidup dan lebih cantik. Coba lihat salah satu jalanan di Zurich, Swiss berikut ini, bukankah rasanya nyaman jika masyarakat bisa bersosialisasi di tempat yang estetik ini?
Kesimpulan
Dengan memprioritaskan infrastruktur pejalan kaki, mengurangi ketergantungan dengan mobil, dan membangun mixed used building, pemerintah kota dapat menciptakan ruang yang tidak hanya lebih nyaman untuk pejalan kaki tetapi juga lebih adil dan inklusif. Penting bagi planolog, pembuat kebijakan, dan warga untuk bekerja sama mewujudkan kota yang lebih walkable, menyadari bahwa menciptakan kota yang memprioritaskan berjalan kaki tidak hanya baik untuk lingkungan dan kesehatan masyarakat tetapi juga untuk kesejahteraan sosial dan ekonomi. Pada akhirnya, dengan menjadikan kota yang dapat dilalui dengan berjalan kaki sebagai prioritas, kita dapat menciptakan ruang kota yang lebih hidup, terhubung, dan menyenangkan untuk dinikmati semua orang.
Referensi
Evergreen. (2022, July 12). The benefits of public spaces in cities. Evergreen. https://www.evergreen.ca/blog/entry/the-benefits-of-public-spaces-in-livable-cities/ Indonesia, C. (2022, September 26). Jakarta Kerap Juara Udara Terburuk Dunia, dari Mana Polusinya? Cnnindonesia.Com.
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20220922144723-199-851308/jakarta-kerap-jua ra-udara-terburuk-dunia-dari-mana-polusinya
McCahill, C. (2016, October 31). More evidence that wider roads encourage speeding. State Smart Transportation Initiative.
https://ssti.us/2016/10/31/more-evidence-that-wider-roads-encourage-speeding/ Rafferty, J. P. (2009, September 1). Urban sprawl. Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/topic/urban-sprawl
Redaksi, T. (2023, February 15). Kok neraka macet jakarta makin parah ya? Bekasi-Jaksel 2 jam! Cnbcindonesia.Com.
https://www.cnbcindonesia.com/news/20230214100456-4-413589/kok-neraka-macet-jak arta-makin-parah-ya-bekasi-jaksel-2-jam
Schofer, J. L. (1998, September 8). Mass transit. Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/topic/mass-transit
Speck, J. (2012). Walkable city: How downtown can save America, one step at a time. Farrar, Straus and Giroux
Discussion about this post