Pandangan mataku tertancap lama pada beberapa buku di jajaran rak toko buku. Akhirnya aku meraih dan membacanya sekilas. Sempat orang-orang yang melintas memandangiku dengan tatapan yang tak bisa kutebak, sesekali menatap cover buku terbitan 40-an dan 70-an yang kupegang: “The Joy of Sex”, “Sexual Behavior in The Human Male”.
Membaca sekilas isinya membuat pandangan mataku tertancap lebih lagi. Di pendidikan menengah, aku memang sempat mendapat pelajaran mengenai anatomi tubuh dan kesehatan reproduksi manusia, tetapi tidak cukup menjawab pertanyaanku yang lain seputar seksualitas dan reproduksi. Hanya segelintir saja yang disampaikan guru atau buku teks sekolah. Berbicara dengan bapak atau ibu rasanya takut dimarahi. Membahasnya dengan teman malah bisa jadi menimbulkan kecanggungan.
Realita Pendidikan Seks
Pendidikan seksual masih dianggap sebagai hal yang tabu dan sensitif untuk dibicarakan masyarakat Indonesia. Metode penerapan pendidikan seksualnya pun belum komprehensif dan masih bersifat abstinence-only—pantangan, melarang remaja untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah—terkesan mengancam, dan tidak mencakup penggunaan kontrasepsi yang aman serta penjelasan tentang kesehatan reproduksi lainnya. Terlebih, metode abstinence-only hanya menggunakan embel-embel penyakit menular seksual dan HIV sebagai alasan untuk remaja agar tetap berperilaku abstinensi (perilaku seksual tanpa pasangan atau dengan menggunakan objek).
Di sisi lain, pendidikan seksual komprehensif adalah sebuah bentuk pembelajaran mengenai kognitif, emosional, fisik, dan sosial dari perilaku seksual manusia. Pendidikan seksual komprehensif sebenarnya juga memperkenalkan perilaku abstinensi terhadap hubungan seksual namun, berbeda dari metode abstinence-only, pendidikan seksual komprehensif diberikan karena mengakui adanya perilaku remaja yang tidak abstinensi terhadap seks, sehingga pendidikannya pun juga mencakup tata cara penggunaan alat kontrasepsi yang bertujuan mengurangi dampak negatif dari hubungan seksual seperti kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, dan HIV.
“Literatur menemukan bahwa kurangnya pendidikan seksual komprehensif memiliki hubungan erat dengan beberapa masalah sosial di Indonesia seperti kehamilan dini, HIV/AIDS, pernikahan muda, dan lain-lain. Sayangnya, masih sedikit pihak yang menyadari perihal masalah ini,” jelas Alvin Theodorus, co-founder dari Tabu.id. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penemuan kolaboratif UNFPA dengan lembaga lain melalui International Technical Guidance on Sexuality Education (ITGSE) yang mana mengatakan bahwa pendidikan seksual yang diberikan secara abstinence-only tidak efektif dalam menunda keinginan kaum muda dalam berhubungan seksual, mengurangi frekuensi seks atau mengurangi jumlah pasangan seksual.
“Ada miskonsepsi masyarakat yang menganggap pendidikan seks komprehensif itu akan memotivasi anak-anak untuk melakukan kegiatan seks lebih awal, secara empiris ini tidak benar,” sanggah Alvin. Mengutip dari ITGSE, penyampaian pendidikan seksual yang komprehensif justru menunda usia aktif seksual. Hal ini dikarenakan orang yang memiliki pengetahuan tentang hubungan seksual dan risikonya akan menjadi lebih berhati-hati ketika memutuskan untuk melakukan hal tersebut. Sehingga, mereka yang memiliki pengetahuan yang cukup, baru akan melakukan seks ketika menginjak umur yang lebih matang.
Menurut Alvin, nilai budaya Indonesia yang cenderung konservatif turut berpengaruh dalam rendahnya pendidikan seksual komprehensif. “Normanya di Indonesia, aktivitas seksual itu tabu dan tidak boleh diberitahukan kepada anak-anak, kecuali orang dewasa. Padahal pada dasarnya, gairah manusia itu sudah muncul dari pubertas, jauh dari tanda yang dianggap sebagai kedewasaan” ungkap Alvin. Ketika anak-anak atau remaja tidak tahu cara mengontrol gairah seksnya secara sehat, Alvin khawatir mereka akan jatuh ke hal negatif yang lebih berisiko yang berujung menghasilkan banyak masalah sosial.
Senada dengan Alvin, Irwan Martua Hidayana—Ketua Pascasarjana Departemen Antropologi FISIP UI—mengatakan bahwa mayoritas remaja di Indonesia merasa tabu untuk membicarakan permasalahan seks. “Problematika di Indonesia itu—orang Indonesia merasa tabu untuk membicarakan seks namun, tidak tabu untuk melakukannya. They just do it, but they don’t want to talk about it,” ungkapnya
Realita tersebut didukung oleh data Survei Demografi dan Kesehatan: Kesehatan Remaja Indonesia tahun 2017 menunjukkan bahwa kurang dari 50% remaja membicarakan permasalahan seks (menstruasi dan mimpi basah) kepada orang tua mereka. Survei ini juga menunjukkan bahwa 59% wanita dan 74% pria telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah pertama kali pada umur 15-19. Secara keseluruhan, 2% wanita dan 8% pria melaporkan telah melakukan hubungan seksual pranikah.
Transformasi Persepsi Seksualitas di Indonesia
Menurut Irwan, hampir tidak ada kajian yang bersifat historis terhadap seksualitas di Indonesia terkait transformasinya. Namun, jika dilihat dari masa sebelum Indonesia terbentuk sebagai bangsa, masyarakat Asia Tenggara (termasuk Indonesia) cukup terbuka terhadap seksualitas. “Candi peninggalan Hindu-Budha di Jawa misalnya—terlihat bentuk seksualitasnya. Pada saat itu, sebelum kolonialisme, masyarakat Indonesia justru lebih terbuka terhadap seksualitas,” tutur Irwan. Irwan pun menambahkan bahwa pada masa itu, ketabuan terhadap seks juga belum terbentuk.
Ketika kolonialisme tiba, mereka turut serta membawa nilai-nilai yang ingin disebarkan, tidak hanya ekonomi, tetapi juga membawa nilai seksualitas. Di Eropa, seksualitas seseorang sangat dikaitkan oleh moralitas sebagai akibat dari revolusi seksual yang terjadi di abad 18. Nilai ini turut dikenalkan bangsa Eropa kepada bangsa Asia Tenggara di kala itu. “Homoseksualitas dilarang waktu itu karena hal tersebut terlarang di Eropa,” ungkap Irwan.
Ditambah lagi ketika politik etis diberlakukan, nilai seksualitas kolonialisme semakin diperdalam pada masyarakat Indonesia. Alhasil, ditanamkan pula nilai bahwa seksualitas hanya dapat dibahas dalam konteks perkawinan. Di luar itu, sifatnya tabu. Ironisnya, lanjut Irwan, kolonialisme juga membawa serta budaya prostitusi ke Indonesia walaupun terlarang menurut konstitusi Belanda, nenek moyang dari undang-undang KUHP Indonesia modern.
Transformasi seksualitas juga dapat dilihat ketika bangsa Timur dulunya menganut budaya ars erotica, melihat seks sebagai sesuatu yang memberikan kenikmatan, sesuatu yang diinginkan untuk dilakukan, dan fokus kepada cara untuk meningkatkan kenikmatan tersebut (contoh: Kamasutra di India). Di Indonesia sendiri contohnya dapat ditemukan pada masyarakat Bugis yang memiliki Assikalaibineng, semacam Kama Sutra, dan Serat Centhini di Jawa. Sedangkan bangsa Barat kala itu mulai menganut konsep scientia sexualis, melihat secara faktual bahwa seks adalah bentuk manusia bereproduksi yang kemudian dipelajari secara keilmuan hingga mendorong terbentuknya profesi seksolog. Setelah kedatangan Eropa ke Asia Tenggara, pandangan masyarakat terhadap seksualitas berpindah dari ars erotica menjadi scientia sexualis seiring waktu.
“Revolusi seksual di Barat sendiri berkembang seiring pendidikan seksual yang ada, kembali lagi ke scientia sexualis,” ujar Irwan. Irwan juga mengutip dari Anthony Giddens (1933) dimana ditemukannya kontrasepsi juga menjadi pemicu berkembangnya seksualitas sebagai bentuk rekreasi di masyarakat Barat, yang disebut sebagai plastic sexuality. Menurutnya, pendidikan seksual itu sendiri terbentuk karena ketika seks menjadi sesuatu yang rekreatif, hal tersebut pasti akan membawa risiko. Adanya kesadaran akan timbulnya risiko akibat seks rekreatif inilah yang membuat pendidikan seksual itu penting.
Meskipun demikian, Irwan merasa bahwa aslinya, orang Indonesia masih menganut budaya ars erotica yang menekankan pada kesenangan seksualitas namun pada perkembangannya, ikut dibentuk moralitas berbentuk pendidikan, norma-norma, pergerakan agama, dan konstitusi negara.
Pengaruh Budaya Patriarki
Di lain sisi, persepsi tabu juga ikut dipengaruhi oleh budaya patriarki. “Saya melihat orang Indonesia itu menganggap seks sebagai hal yang sangat tabu atau sangat vulgar karena budaya patriarki,” jawab Zoya Amirin, seorang psikolog yang juga mempelajari seksologi. Menurut Zoya, budaya patriarki yang menganggap laki-laki tahu segalanya, dominan, dan memimpin urusan seksual mempersulit penerapan pendidikan seks ke dalam pemahaman dan logika, termasuk perasaan seorang individu. Budaya patriarki ini pula, lanjut Zoya, membuat pendidikan seks diramu oleh orang-orang yang munafik dan religius.
“Bukan yang religius beneran, tetapi justru yang munafik yang pemaknaan agamanya lebih ke pencitraan, bukan pada kemahakuasaan Tuhan-nya itu sendiri,” tutur Zoya. Budaya patriarki ini juga sebenarnya menempatkan laki-laki di posisi yang sulit, karena membentuk mental laki-laki yang harus tahu dan paham semuanya, apa yang mereka sudah tahu itu paling benar—termasuk pemikiran bahwa seks alamiah tanpa harus dipelajari.
Zoya pun menambahkan bahwa pendidikan seks adalah hal yang memberikan informasi dan pemahaman mengenai seksualitas, bukan asal tutorial sanggama. Dalam arti lain, mereka yang masih menganut budaya patriarki atau pemahaman religius yang salah kaprah tidak benar-benar memahami seksualitas itu seperti yang seharusnya, karena faktor ketabuan yang muncul dari ketakutan terhadap ketidakpahaman. “Justru orang-orang yang paling mentabukan seks edukasi adalah orang-orang yang kemungkinan paling butuh pendidikan seks,” tegas Zoya.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Irwan menjelaskan bahwa budaya patriarki turut terbentuk pada masa orde baru dan kemudian mempengaruhi cara pandang seksualitas. Sebelumnya, orde baru, seksualitas masih dianggap cukup terbuka. Namun pada masa orde baru, khususnya ketika terjadi G30S/PKI, orde baru mencoba untuk mengonstruksi figur wanita yang berpolitik, yang kala itu tergabung di PKI sebagai Gerwani, menjadi terlihat pemberontak dan penyiksa jenderal-jenderal. Namun, menurut antropolog Saskia Eleonora Wieringa, kenyataan pernyataan terkait Gerwani itu (pemberontak dan penyiksa jendral-jendral) adalah fitnah. Propaganda tersebut ada sebagai wadah pemerintah orde baru untuk merekonstruksi peran wanita di Indonesia yang awalnya progresif menjadi sebagai ‘pendamping suami’ yang bergerak di bidang domestik.
Proses rekonstruksi peran wanita di Indonesia tersebut adalah bentuk dari domestifikasi perempuan yang mana pergerakan ini juga turut membentuk budaya patriarki yang terbawa hingga saat ini. “Lihat aja Soeharto selalu dianggap sebagai bapak, bapak pembangunan,” tutur Irwan, “lalu ibu Siti itu di rumah dan berkebaya—segala macam yang menunjukkan bahwa perempuan itu tempatnya memang di rumah,” tambahnya.
Irwan pun menambahkan, “Jika dikaitkan dengan seksualitas, cara pandang patriarki itu sangatlah heteroseksual. Dengan konsep patriarki sebagai lelaki yang dominan di atas perempuan dan lelaki lain, patriarki menganggap heteroseksual sebagai orientasi yang benar. Di luar itu, jatuhnya pervert, penyimpangan.”
Keragaman Seksualitas
Realita ketabuan yang ada saat ini nyatanya tidak hanya sebatas pada perilaku seksual, tetapi juga orientasi seksual. “Saat berbicara soal tabu, semua orang lari ke agama—semua mengatakan bahwa faktor tabu itu disebabkan oleh agama. Nyatanya, hal ini lebih rumit daripada itu karena menyangkut aspek kebangsaan,” tutur Tom Boellstorff, Profesor Antropolog dari University of California, Irvine, yang juga seorang peneliti terkait isu seksualitas di Indonesia selama bertahun-tahun.
“Banyak orang yang menganggap kalau lesbian itu ide dari luar, berasal dari budaya Barat,” istilah gay dan lesbian sering dieratkan dengan globalisasi,” ungkap Boellstorff. Padahal, keragaman seksualitas sudah lama menjadi bagian keragaman di Indonesia. Boellstorff memaparkan bahwa sebelum Indonesia memasuki masa kolonial, keragaman seksualitas lebih dikenal dengan istilah gay dan waria di Indonesia. Terdapat pula semacam ritual yang berhubungan dengan seksualitas dan identitas gender di beberapa daerah, contohnya Warak di Ponorogo.
Memasuki pergerakan modern di sekitar tahun 1980-an, Boellstorff mengetahui beberapa komunitas bagi para komunitas LGBT di Indonesia seperti GAYa Nusantara yang dibangun oleh Dede Oetomo di 1987 dan Lambda Indonesia yang dibangun pada tahun 1982. Sehingga, menurut Boellstorff, keragaman seksualitas seperti gay, lesbian, dan waria itu merupakan budaya asli dan bagian autentik dari Indonesia. Boellstorff menyayangkan adanya pernyataan “Tolak LGBT” karena hal tersebut tidak dapat diusir dari Indonesia. “Kalian tidak bisa menolak mereka (komunitas LGBT) karena mereka adalah orang Indonesia. Kita berbicara tentang orang Indonesia di sini,” tambah Boellstorff.
Sejalan dengan pernyataan Boellstorff, Irwan menyebutkan bahwa arus globalisasi yang membawa LGBTQ+ masuk ke Indonesia seakan-akan menutupi keragaman seksualitas yang sudah ada di Indonesia karena terdapat pandangan bahwa LGBTQ+ adalah sesuatu yang identik dengan budaya Barat. Irwan merasa pandangan masyarakat Indonesia semakin tertutup karena keragaman seksualitas Indonesia akan dikaitkan dengan budaya Barat. Terlebih, dengan gencarnya pergerakan konservatisme yang berdasar agama belakangan ini, tentunya akan memicu banyak perdebatan terkait keragaman seksualitas.
“Gerakan konservatisme yang berbasis agama ini kan melihat heteroseksualitas itu sebagai orientasi seksual yang paling benar. Di luar itu akan menjadi masalah. Nah, ini yang menjadi masalah buat saya. Berbicara tentang keragaman seksualitas di Indonesia akan menjadi lebih menantang dan akan membentuk lebih banyak perdebatan,” tutur Irwan.
Zoya pun mengakui adanya keragaman seksualitas tersebut namun, ia tidak menggunakan istilah LGBT karena istilah tersebut ia anggap berbentuk politis. “Lesbian, gay, dan biseksual itu orientasi seksual; queer [di akronim LGBTQ] itu other things; transgender itu adalah masalah gender disforia sendiri,” tutur Zoya. Menurutnya, keberagaman seksualitas dan identitas gender itu masih akan ada terlepas dari tidak disetujui oleh UU Pernikahan. Pendidikan seks yang beragam bukan berarti mengajar seseorang menjadi LGBT, tetapi untuk mengajarkan tentang keanekaragaman; tentang Bhinneka Tunggal Ika.
Terkait klasifikasi seksualitas non-hetero yang dikaitkan dengan disorder, Zoya menjelaskan bahwa menurut Diagnostic Statistical Manual for Mental Disorders (DSM) 2 dari sekitar tahun 1978, klasifikasi tersebut masuk ke colloquium dunia. Sehingga, pada DSM ke-3 sudah tidak ada lagi klaim yang menyebutkan klasifikasi seksualitas non-hetero sebagai disorder, melainkan sudah termasuk sebagai orientasi seks.
Mengutip dari Alm. Prof. Sarlito Wirawan Sarwono, Zoya menyebutkan bahwa orientasi seksual non-hetero termasuk dalam kategori penyimpangan normal—bukan berarti disorder. Penyimpangan yang dimaksud lebih ke arah penyimpangan sosial, bukan penyimpangan psikologis. “Masalah ini bukan alasan penyimpangan orientasi seksual, tetapi penyimpangan sosial karena tekanan masyarakat terhadap kaum minoritas yang tidak bisa menerima keberagaman, yang homofobia,” tambah Zoya.
Tantangan Penerapan Pendidikan Seksual Komprehensif
“People want to believe what they want to believe,” ucap Zoya. Menurutnya, masalah yang mungkin akan timbul adalah dari mereka yang tidak mau diedukasi, yang belum paham dengan masalah dan ketidaknyamanan mereka mengenai penerimaan nilai-nilai baru. “Masalah juga bisa timbul bagi mereka yang tidak bisa menerima seksualitas mereka, mereka yang harus berubah dan menerima, dan perubahan itu tidak pernah enak,” tambah Zoya. Promosi menerima ilmu baru, informasi baru, pemahaman baru, berubah demi kebaikan sekalipun akan menjadi masalah bagi orang-orang yang kaku (skeptis).
Boellstorff sendiri berpendapat bahwa pendidikan seksual sebenarnya dapat diterapkan di daerah-daerah selama mendapat dukungan oleh tokoh atau kelompok lokal di daerah tersebut. Ini pun menjadi tantangan tersendiri karena kenyataannya mendapat dukungan dari tokoh atau kelompok lokal tersebut tidak semudah yang dibayangkan—tidak semua orang bersedia untuk berbicara tentang realita dan memikirkan kaitannya dengan agama. “Ini bisa dilakukan, tetapi hal ini sangat sulit,” tutur Boellstorff.
Contohnya, berdasarkan pengalaman Boellstorff mengadvokasikan pencegahan HIV/AIDS di Sulawesi Selatan, di mana terdapat beberapa orang beragama Islam yang cukup konservatif, ia bekerja sama dengan GAYa Nusantara Celebes di Makassar yang kemudian mencari cara untuk bekerja sama juga dengan tokoh atau kelompok lokal di daerah tersebut. Dari pengalaman tersebut, Boellstorff mengungkapkan bahwa ternyata terdapat beberapa pemimpin religius yang memberi respon yang cukup terbuka terhadap isu realita. “Ini adalah realita; kita bisa berbicara soal dosa, tapi kita juga harus berbicara tentang bagaimana cara agar menjaga masyarakat tetap aman,” ungkap Boellstorff.
Masalah pertentangan pendidikan seksual yang komprehensif nyatanya tidak hanya dialami oleh Indonesia. Tak ayal, negara progresif seperti Amerika Serikat pun juga mendapat pertentangan dari masyarakatnya yang beraliran konservatif. Kendati ditentang, pemerintah Amerika Serikat tetap memiliki kebijakan yg mengharuskan sekolah-sekolah publik mengajarkan pendidikan seksual sesuai kurikulum yang dibuat—pendidikan seksual yang terintegrasi di kurikulum pendidikan dan komprehensif.
Menurut Alvin, munculnya pertentangan terhadap pendidikan seksual ini bisa terjadi karena adanya disinformasi atau ketidaktahuan. “Sehingga, perlu melakukan edukasi bukan untuk anak-anak, tapi ke orang tua/orang dewasa supaya memiliki pengetahuan yang tepat tentang pendidikan seksual komprehensif, dampaknya apa, dan hal lain yang berkaitan,” tutur Alvin. (Baca selanjutnya: Miskonsepsi Perilaku Seksual Penularan IMS dan Stigma HIV)
Editor: Ruthana Bithia, Renadia Kusuma, Rani Widyaningsih
Foto: Unplash/Alexander Krivitisk
Referensi
Nurfadhilah, N., & Ariasih, R. A. (2019). Abstinensi dan Pendidikan Seks Remaja Survei Cepat di Jakarta dan Sekitarnya. Jurnal Ilmiah Pendidikan Lingkungan Dan Pembangunan, 20(01), 17 – 27. htts://doi.org/10.21009/PLPB.201.02
Collins, C. (2002). Abstinence only vs. comprehensive sex education: What are the arguments? What is the Evidence? AIDS Research Institute, University of California, San Francisco.
International technical guidance on sexuality education: An evidence-informed approach. (2018). UNESCO.
Survei Demograsi dan Kesehatan Indonesia 2017. Kesehatan Reproduksi Remaja. https://e-koren.bkkbn.go.id/wp-content/uploads/2018/10/Laporan-SDKI-2017-Remaja.pdf
Discussion about this post