Penulis: Nabil Rizky Ryandiansyah | Editor: Prisca Lidya Patty
Milenium ketiga penanggalan kalender Gregorian memang menakjubkan. Banyak inovasi luar biasa yang secara cepat mengubah tatanan dunia. Masa-masa berakhirnya perang dingin, bersamaan dengan revolusi teknologi, menyediakan lingkungan yang sangat tepat bagi perkembangan instrumen finansial seperti derivative untuk berkembang biak secara cepat, sebagai salah satu contoh revolusionernya. Didukung oleh regulasi yang begitu longgar serta globalisasi luar biasa di pasar uang, dekade pertama millennium ini diisi oleh optimisme luar biasa dari segala kalangan untuk membanjiri pasar uang– mulai dari mahasiswa yang baru dapat kerja hingga orang tua yang akan segera pensiun. Pesta investasi dan keuntungan ini berlanjut tidak karuan di hampir seluruh belahan dunia. Hingga akhirnya, mulai pada tahun 2007 ketika Lehman Brothers jatuh, musik berhenti, pesta bubar, dunia berubah, dan orang-orang mulai bunuh diri.
Krisis finansial global (GFC) 2008 memang cerita lama. Akan tetapi, dampak dari kejatuhan ekonomi tersebut masih terasa hingga sekarang. Dikarenakan revolusi finansial yang terlalu cepat, fenomena pasca-krisis saat ini memaksa para ekonom untuk meninggalkan model-model lama dan memikirkan alternatif-alternatif kebijakan baru yang tidak konvensional. Amerika Serikat, contohnya, melakukan kebijakan Quantitative Easing (QE) di mana bank sentral membeli obligasi-obligasi jangka panjang untuk menekan yield dan menggenjot investasi. Selain itu, regulasi-regulasi pun mulai diperbaharui untuk mencegah terjadinya krisis serupa.
Diantara kebijakan-kebijakan “unik” ekonomi kontemporer, terdapat beberapa kebijakan ekonomi yang saya tidak paham dalil-dalil dan dasar berpikirnya. Yang pertama adalah kebijakan suku bunga negatif. Kebijakan ini diambil oleh Bank of Japan pada awal tahun 2016 lalu dalam rangka meningkatkan konsumsi domestik dan investasi lokal (mengenai penjelasan baik dan menarik mengenai cara kebijakan ini bekerja bisa membaca tulisan teman saya Fandy di sini). Sepakat dengan Fandy (serta Krugman, namun sayang Paul Krugman bukan teman saya), secara teoritis, kebijakan ini seharusnya mampu menekan nilai tukar Jepang terdepresiasi sehingga ekspornya dapat menguat. Selain itu, semestinya dengan menekan suku bunga hingga di bawah 0%, bank-bank akan meminjamkan uangnya ke sektor-sektor produktif sehingga investasi meningkat. Namun, apakah hal tersebut yang terjadi?
Sumber: finance.yahoo.com
Yap, tidak terjadi apa-apa. Seperti yang dapat dilihat di grafik di atas, bukannya melemah, mata uang Jepang terhadap US dollar justru terapresiasi sejak Februari lalu dimana Bank of Japan mengumumkan suku bunga negatifnya. Selain itu, konsumsi domestik pun tidak mengalami perubahan signifikan. Hingga saat ini tidak ada bukti bahwa kebijakan ini telah mendorong konsumsi serta optimisme pasar. Dikutip dari Financial Times, permintaan obligasi pemerintah justru meningkat (menandakan perilaku risk averse). Lebih lagi, pihak kementrian keuangan Jepang bahkan mengakui meningkatnya stigma deflasi di masyarakat.
Sumber: Bloomberg.com
Tak hanya Jepang, kebijakan suku bunga negatif juga dilakukan European Central Bank (ECB) sejak sekiranya dua tahun yang lalu. Akan tetapi, belum ada bukti yang menunjukkan bahwa kebijakan ini mampu secara efektif memperbaiki masalah yang ada. Suku bunga negatif nampaknya masih belum bisa meningkatkan aggregate demand yang sedang begitu lesu di negara-negara ini.
Lalu, apa yang salah? Logika berpikir dari kebijakan ini adalah ketika suku bunga acuan ditetapkan negatif, maka suku bunga deposit dan suku bunga kredit pun akan turun. Akan tetapi, apakah dengan bank-bank tersebut akan menerapkan suku bunga deposito di area negatif? Pada nyatanya, hampir tidak ada bank di Uni Eropa yang menetapkan suku bunga deposito negatif. Bagaimana tidak, menerapkan suku bunga deposito negatif dapat membuat konsumen pindah ke bank lain sehingga profitabilitas serta likuiditas bank tersebut menurun. Alhasil, bank-bank tersebutlah yang menanggung biaya dari suku bunga negatif. Lebih lagi, dengan biaya yang meningkat, banyak bank yang pada akhirnya justru meningkatkan suku bunga kredit agar profitabilitas tetap terjaga. Kalau pun seandainya suku bunga kredit turun, belum tentu investasi akan meningkat. Ketika suku bunga sudah sedemikian rendahnya namun investasi tetap lesu, bisa jadi permasalahan investasi tidak terletak di suku bunganya. Dengan demikian, merendahkan suku bunga ke area negatif sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Bahkan, telah banyak teori yang membuktikan sifat investasi yang backward-bending. Chetty (2004) menyatakan bahwa pada tingkat suku bunga rendah, peningkatan suku bunga justru akan meningkatkan investasi sampai titik tertentu. Sanwasi (2015) juga membuktikan teori ini di Indonesia dan mendapatkan kesimpulan serupa.
Hal kedua yang menjadi perhatian saya soal kebijakan ekonomi yang membingungkan saya adalah kebijakan austerity (dalam bahasa Indonesia mungkin ekuivalen dengan kebijakan ikat pinggang). Permasalahan ini sempat menjadi topik perdebatan hangat di pertengahan 2015 lalu antara ekonom-ekonom berkelas dunia. Bagaimana tidak, kebijakan ini justru muncul di negara-negara Eropa ketika aggregate demand mereka sedang lesu. Para ekonom yang pro pada saat itu (hingga saat ini) berargumen bahwa kebijakan tersebut dapat menjaga agar public debt tidak terlalu menumpuk. Kebijakan ini pun maenad kebijakan yang populer dikarenakan ketakutan masyarakat atas dampak negatif dari penumpukkan public debt, krisis Yunani menjadi contoh utamanya. Kebijakan ini sangat tidak biasa terutama bagi kita yang mungkin baru selesai membaca Mankiw atau Scarth dan dijejali dengan Keynesian Economics. Bagaimana tidak, ketika aggregate demand sedang lesu, pemerintah di negara-negara Eropa (terutama Inggris) justru menekan government spending. Argumen bahwa public debt perlu dikendalikan agar kemampuan negara membayar hutang tetap baik pun sangat masuk akal. Akan tetapi, bukan berarti pengendalian tersebut harus dilakukan dengan austerity measures. Yang paling menjadi masalah dalam public debt bukanlah jumlahnya melainkan kemampuan negara membayar hutang tersebut – bisa dilihat dari rentang jatuh temponya, sebagai contoh. Oleh karena itu, bagi negara-negara yang struktur hutangnya tidak bermasalah seperti Inggris, austerity measures merupakan langkah konkrit yang dilakukan negara tersebut untuk membuat ekonom-ekonom gatal kebingungan dan menambah cita rasa kolom opini ekonom dunia.
Barangkali memang revolusi-revolusi yang terjadi di era informasi ini telah membawa kita ke zaman keabu-abuan, di mana model-model lama tidak lagi bisa menjelaskan fenomena yang ada dan kebijakan-kebijakan lama tidak lagi relevan. Perekonomian dunia seakan sedang menjalani sebuah trial and error untuk menemukan obat mujarab dari penyakit yang ada. Kreatifitas para ekonom pun tertantang dan seringkali membuahkan hasil yang membingungkan. Terdapat ruang yang sangat luas untuk mengkritisi dan berinovasi. Tinggal bagaimana kita sebagai orang-orang (masih) kecil di negara berkembang untuk memetik pelajaran darinya.
Referensi:
Chetty, Raj. (2004). Interest Rate and Backward-Bending Investment. Cambridge: National Bureau of Economic Research.
Randow, J; Kennedy, S. (2016, March 18). Negative Interest Rates: Less than Zero. Bloomberg. Retrieved from http://www.bloomberg.com
Sanwasi, Jalu D (2015). Perilaku Investasi Perusahaan dan Ketidakpastian Pendekatan Real Options. (Skripsi). Retrieved from http://lib.ui.ac.id
Sender, Henry. (2016, April 26). Japan’s negative rate experiment is an alarm bell for the US. Financial Times. Retrieved from http://www.ft.com
Nabil Rizky Ryandiansyah is currently a Senior Analyst at B.O. Economica. His interests cover a broad range of science, politic, law, and economic issues. Though many people may consider him as a liberal, he is not inclined to any ideology and is open to almost any rational academic debate.
Discussion about this post