Di era teknologi yang semakin berkembang ini, dinamika pekerjaan telah mengalami banyak perubahan. Perkembangan teknologi memicu banyaknya pekerja yang lebih memilih untuk menjadi pekerja lepas atau freelancer. Tren ini sering kali digambarkan dengan istilah gig economy. Dengan kata lain, gig economy dapat diartikan sebagai suatu kondisi perekonomian di mana terjadi pergeseran status tenaga kerja dari yang umumnya adalah pekerja tetap menjadi pekerja kontrak sementara (short-term contract), pekerja independen, maupun pekerja tidak tetap (temporary workers).
Fenomena gig economy sendiri bukanlah sebuah konsep yang baru. Dikutip dari tirto, istilah “gig” berarti proyek kerja sementara, yang biasanya digunakan dalam industri hiburan. Kemudian, dalam perkembangannya, istilah ini kemudian digunakan untuk menggambarkan fenomena maraknya pekerja lepas atau freelance seiring dengan meningkatnya pertumbuhan perusahaan rintisan (start-up) dan penyedia layanan berbasis aplikasi.
Berbagai peluang dan tantangan mewarnai perkembangan gig economy. Di satu sisi, perusahaan diuntungkan dengan efisiensi pegawai dimana mereka dapat mempekerjakan pekerja hanya pada saat yang dibutuhkan. Selain itu, kemudahan dan fleksibilitas yang ditawarkan pekerja lepas membuat seseorang dapat bekerja kapanpun dan dimanapun. Akan tetapi, terdapat kerancuan dalam sisi ketenagakerjaan dimana pekerja tidak memiliki jaminan yang jelas akan keamanan dalam melakukan pekerjaannya.
Efisiensi Tenaga Kerja
Dalam wawancara kami dengan seorang narasumber berinisial YC, pegawai divisi sumber daya manusia salah satu perusahaan rintisan di Jakarta, salah satu alasan mengapa perusahaan memilih mempekerjakan pekerja lepas adalah untuk memperoleh pekerja dengan keterampilan spesifik yang tidak dibutuhkan setiap saat di dalam perusahaan. Ia menilai bahwa pekerja lepas harus mengandalkan kompetensi dan keterampilan pribadi yang baik serta kemampuan untuk bekerja secara fleksibel.
YC mengatakan bahwa diperlukan pertimbangan yang matang ketika memilih untuk mempekerjakan pekerja lepas atau pekerja tetap. Salah satu alasannya adalah perbedaan kultur pekerja lepas dan pekerja tetap, di mana pekerja tetap akan lebih berdedikasi terhadap pekerjaannya di dalam perusahaan dibanding pekerja lepas. Oleh sebab itu, perusahaan harus bersikap kritis dalam mengidentifikasi manfaat dan biaya yang tepat dalam proses keputusannya untuk mempekerjakan karyawan agar bisnisnya tetap efisien dan produktif.
Bayang Gelap Gig Economy
Kebangkitan dari gig economy tentu telah memberi banyak kesempatan kerja di Indonesia. Namun, gig economy seringkali menciptakan kerancuan dalam sisi ketenagakerjaan. Mengutip perkataan Riani, dosen Pendidikan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, “Banyak dari mitra-mitra dari platform digital—baik itu supir, kurir, dan lainnya—tidak memiliki kontrak kerja yang dapat membuktikan bahwa mereka adalah tenaga kerja dari platform tersebut. Padahal, perilaku dan pekerjaan mereka diawasi dan dikontrol oleh pihak manajemen platform,” ungkapnya.
Ketiadaan status ketenagakerjaan yang jelas membuat tidak adanya jaminan keamanan terhadap pekerjaan yang mereka lakukan. Selain itu, kebijakan yang ada saat ini juga belum dapat menyentuh pekerja lepas yang tidak memiliki kontrak kerja sehingga tidak ada kewajiban dari perusahaan untuk memberikan mereka pesangon maupun asuransi ketenagakerjaan. Tidak ada keamanan dari sisi pendapatan jika seorang mitra secara tiba-tiba ditangguhkan dari platform karena keluhan dari konsumen. Ditambah lagi, terdapat ketidakjelasan mengenai siapa yang harus bertanggung jawab jika ada kecelakaan yang mungkin terjadi dalam pekerjaan.
Riani menambahkan bahwa keberlanjutan dari ketenagakerjaan di dalam gig economy masih mengkhawatirkan. Hingga saat ini, belum ada kebijakan yang melindungi tenaga kerja lepas dari sebuah platform. “Seperti halnya aplikasi kendaraan daring, jika suatu ketika salah satu platform memutuskan untuk tiba-tiba memberhentikan usahanya, tidak terdapat kejelasan pada status tenaga kerja lepas yang menjadi mitranya,” tutur Riani.
Maka dari itu, menurutnya, hukum ketenagakerjaan memiliki peran penting sebagai jaring pengaman untuk memastikan adanya pekerjaan yang layak dan terpenuhinya hak-hak dasar tenaga kerja, khususnya di negara yang sedang mengalami surplus tenaga kerja seperti Indonesia.
Proteksi sebagai Tindakan Preventif
Riani menuturkan bahwa terdapat beberapa langkah utama yang harus dilakukan untuk memastikan keberlanjutan tenaga kerja lepas. Pertama, perlu adanya redefinisi dari sisi tenaga kerja. Definisi tersebut tidak hanya mengacu pada adanya kontrak dengan perusahaan, tetapi juga pada orang-orang yang pekerjaannya dikontrol dan diawasi oleh pihak perusahaan. Hal ini sangat penting agar pekerja lepas dapat dilindungi dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan sehingga hak-haknya dapat terpenuhi.
Kedua, pemerintah dapat memberikan intervensi aktif untuk proteksi tenaga kerja, misalnya dengan memberi insentif bagi perusahaan rintisan untuk mengikuti standar ketenagakerjaan. Salah satunya adalah dengan memberikan asuransi ketenagakerjaan dan juga melatih pengembangan keterampilan pekerja. Dengan begitu, maka dapat tercipta hubungan yang baik antara pekerja, pemberi kerja, dan Pemerintah dengan regulasinya.
Editor: Rani Widyaningsih, Philipus Susanto, Yosia Manurung
Ilustrasi: Freepik
Discussion about this post