Kemenangan Yosia Setiadi sebagai anggota Badan Perwakilan Mahasiswa FEB UI perwakilan Ilmu Ekonomi menimbulkan polemik. Pasalnya, Yosia berhasil memenangkan Pemilihan Raya (Pemira) FEB UI dengan perolehan suara 160 suara, dengan pemilih dummy sebanyak 148 suara, dan suara tidak sah sebesar 13 suara. Jika dilihat secara kasat mata, kemenangan Yosia merupakan hal yang wajar. Namun, jika ditilik ulang dengan menghitung suara tidak sah sebagai bagian dari suara dummy, Yosia justru akan kalah dengan selisih hanya satu suara. Ketidakjelasan mengenai terminologi “penggunaan hak pilih” pada akhirnya menimbulkan pertanyaan terkait kemenangan Yosia Setiadi.
Pihak Pemira FEB UI telah melakukan press release terkait penentuan mekanisme perhitungan surat suara dengan nomor 004/PI/PEMIRA/BPM/FEB-UI/XI/2019. Dalam press release yang dikeluarkan pada 10 Desember 2019, pihak Pemira FEB UI mencoba menjelaskan tata cara perhitungan yang sebelumnya menggunakan sistem e-vote beralih menjadi surat suara. Lebih lanjut, dalam poin ketiga, pihak Pemira FEB UI menjelaskan bahwa belum ada penjelasan lebih lanjut mengenai terminologi “menggunakan hak pilihnya” dalam UU Pemira.
Badan Otonom Economica berkesempatan untuk mengonfirmasi hal ini kepada Ketua Umum BPM FEB UI 2019 Ardiansyah Nugraha, Kepala Badan Pengawas Pemira FEB UI 2019 Muhammad Fachry Kamiel, dan Project Officer Pemira FEB UI 2019 Muhammad Rifqi Aufari. Namun hingga saat tulisan ini diterbitkan, Ardi tidak membalas permintaan wawancara yang diajukan oleh tim Economica melalui aplikasi pesan instan.
Kronologi
Usai proses perhitungan suara perwakilan mahasiswa jurusan Ilmu Ekonomi, Yosia Setiadi, menemui ‘jalan buntu.’ Berdasarkan hasil perhitungan terdapat 160 suara memilih Yosia, 148 suara memilih dummy, dan tiga belas surat suara tidak sah. Dengan demikian terdapat 321 mahasiswa Ilmu Ekonomi yang menggunakan hak suara. Akan tetapi hanya ada 308 surat suara yang sah. Polemik muncul ketika presentase perolehan suara dengan menyertakan surat suara tidak sah berbeda dengan presentase perolehan suara tanpa menyertakah suara tidak sah dalam perhitungan. Jika perhitungan tidak menyertakan surat suara tidak sah, maka suara yang diperoleh oleh Yosia mencapai 51.94% atau melebihi 50%+1. Sedangkan, jika surat tidak sah dihitung sebagai pemilih dummy maka perolehan suara Yosia hanya 49.8% yang berarti tidak mencapai batas 50%+1. Sebagaimana dipaparkan dalam Pasal 11 ayat 2 UU BPM Nomor 1 tahun 2019, yang kemudian dicantumkan dalam press release poin kedua, batas 50%+1 menjadi penentu terpilihnya Anggota BPM FEB UI apabila hanya ada calon tunggal.
“Jika hanya terdapat satu Calon Anggota BPM FEB UI dari setiap himpunan, maka Calon Anggota BPM FEB UI yang bersangkutan harus memperoleh suara lebih dari 50%+1 (lima puluh persen plus satu) suara dari jumlah mahasiswa yang menggunakan hak pilihnya untuk menjadi Anggota BPM FEB UI terpilih.”
-Pasal 11 ayat 2 UU Pemira FEB UI
Saat proses perhitungan pula, terdapat publik yang bertanya terkait keputusan apa yang diambil perihal surat suara tidak sah. Dalam wawancara dengan tim Economica Kamiel menjelaskan, Badan Pengawas yang hadir pada saat itu mencoba mengakomodasi pertanyaan publik, tetapi Badan Pengawas tidak dapat membuat keputusan sepihak dan merasa masih perlu berdiskusi lebih lanjut dengan Panitia Pemira FEB UI 2019 dan Steering Committee Pemira FEB UI.
Dasar Pengambilan Keputusan
Pertemuan antara Badan Pengawas, panitia Pemira, dan Steering Committee menjadi penentu nasib Yosia Setiadi. Pertemuan antara tiga pihak ini lebih menyoal tata cara perhitungan surat suara, ketimbang perbedaan kaidah perhitungan suara sah untuk calon tunggal dan tidak tunggal. Aufari menjelaskan kepada tim Economica pertimbangan keputusan untuk tidak menghitung surat suara tidak sah sebagai dummy.
Aufari berpendapat kurangnya penjelasan lebih lanjut mengenai terminologi “menggunakan hak pilih” dalam Pasal 11 ayat 2 UU Pemira membuatnya perlu berpikir dua kali dalam mengambil keputusan. Nihilnya penjelasan dalam UU Pemira perihal terminologi tersebut, membuat Panitia Pemira, Badan Pengawas, dan Steering Committee memutar otak dengan diskusi yang lebih panjang. Hasil keputusan dari pertemuan pun dilakukan melalui musyawarah mufakat, dan ketiga pihak setuju untuk tidak menghitung surat suara tidak sah sebagai dummy.
Lebih lanjut Aufari menjelaskan pertimbangan untuk tidak menghitung surat suara tidak sah dalam perhitungan dummy. Aufari menguraikan bahwa dalam pemilihan suara untuk calon tunggal tiap pemilih memiliki tiga opsi dalam kertas suara, yaitu memilih calon kandidat, dummy, atau tidak keduanya dengan cara merusak kertas suara sehingga dikategorikan sebagai suara tidak sah.
Senada dengan penjelasan Aufari, Kamiel berpendapat UU Pemira tahun ini belum disesuaikan dengan sistem pemilihan menggunakan kertas suara. Pasalnya, UU Pemira dibuat dengan asumsi Pemira akan menggunakan metode e-vote. Akibatnya terdapat celah aturan mengenai surat suara tidak sah, karena dalam sistem e-vote pengguna hak suara tidak dapat merusak surat suara dan hanya memiliki dua pilihan yakni memilih calon kandidat atau dummy.
Kurangnya penjelasan mengenai terminologi “menggunakan hak pilihnya” membuat pemangku kebijakan Pemira FEB UI mendefinisikan sendiri surat suara berdasarkan kesepakatan. Walaupun keputusan diambil melalui kesepakatan para pemangku kebijakan, Aufari dan Kamiel merasa hasil akhir yang disepakati sudah sesuai peraturan yang ada.
Saran untuk Pemira Selanjutnya
Aufari menegaskan perlunya penyesuaian dalam UU Pemira. Penyesuaian ini terkait mekanisme perhitungan suara yang sesuai dengan sistem pemungutan suaranya. Aufari merasa berlakunya UU Pemira tahun lalu (dengan sistem e-vote) kurang relevan jika diaplikasikan pada tahun ini (dengan sistem kertas suara).
Sepadan dengan Aufari, Kamiel pun merasa perlunya perbaikan lebih lanjut terkait regulasi Pemira FEB UI yang lebih relevan dengan sistem yang ada. “Perlu ada definisi lebih lanjut terkait seperti apa voting dan surat suara yang sah, ini merupakan masalah yang benar-benar unexpected, dan sebelumnya gak aware dengan UU Pemira FEB UI Pasal 11,” tutup Kamiel.
Terlepas dari polemik yang terjadi, penyelenggara pesta demokrasi wajib berkiblat pada peraturan yang berlaku. Tiap elemen terkait wajib menghargai demokrasi dengan kritis dan bijaksana. Sebagai pengguna suara alangkah baiknya kita menghormati dan tetap mengkritisi hasil dari keputusan pemangku kebijakan Pemira FEB UI 2019.
Editor: Harnum Yulia Sari
Discussion about this post