Sektor informal merupakan bagian besar dari ekonomi Indonesia. Data dari BPS menunjukkan bahwa 74,04 juta orang (56,50 persen) bekerja pada kegiatan informal1Badan Pusat Statistik. 2020. Tingkat Pengangguran Terbuka Bulan Februari. https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/05/05/1672/februari-2020–tingkat-pengangguran-terbuka–tpt–sebesar-4-99-persen.html#:~:text=Sebanyak%2074%2C04%20juta%20orang,sebesar%200%2C77%20persen%20poin.”. Namun walaupun jumlah persentase yang besar, keberadaan sektor informal berdampak pada penurunan kinerja modal manusia (human capital) negara dan juga hasil akhir yang diciptakan (output).
Salah satu penyebab terjadinya hal tersebut adalah kerentanan para pekerja sektor informal terhadap dampak ketidakpastian. Selain penghasilan yang tidak tetap (dan tidak adanya upah minimum), pekerja informal tidak memiliki tunjangan dan perlindungan hukum layaknya pekerja formal, sehingga risiko dari pekerjaan sebagian besar ditanggung pekerja. Dengan cakupan yang sangat besar, produktivitas sektor ini akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pemberdayaan pada sektor informal penting bagi pemanfaatan potensi ini.
Tingginya angkatan kerja sektor informal menjadi potensi pertumbuhan ekonomi bagi Indonesia. Menurut Laporan ILO (2014), kebijakan yang dirancang dengan baik telah terbukti memfasilitasi transisi ke formalitas yang juga meningkatkan produktivitas pekerja dengan cara yang mencakup “peluang baru bagi semua pekerja dan unit ekonomi”2International Labour Office. (2014). Transition from the informal to the formal economy. Report V(1). International Labour Organization. https://www.ilo.org/ilc/ILCSessions/previous-sessions/103/on-the-agenda/informal-economy/lang–en/index.htm.
Salah satu pekerjaan sektor informal yang cukup prevalen di Indonesia adalah desain grafis. Lewat Sensus Desain ADGI 2020, Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI)3Deputi Bidang Kebijakan Strategis. (2020). Buku 1: Dasar Pengadaan & Pengelolaan Jasa Desain di Indonesia (Cetakan kedua). Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. ISBN: 978-602-5989-09-4. mencatat setidaknya 50.8% responden merupakan pekerja lepas4Asosiasi Desain Grafis Indonesia (2020). Sensus Desain ADGI. Asosiasi Desain Grafis Indonesia. http://adgi.or.id/sensusdesain/. Hal itu menunjukkan bahwa desain grafis merupakan lapangan kerja yang minim struktur formal apabila dibandingkan dengan jenis pekerjaan lainnya seperti dokter atau akuntan. Hal tersebut terjadi karena pekerja lepas desain tidak memerlukan standar untuk menghasilkan output yang dinilai layak. Selain desainer, hal tersebut juga dapat dilihat pada pekerjaan-pekerjaan industri kreatif lainnya seperti penulis, fotografer, dan videografer.
Untuk memenuhi tujuan pemerintah dalam transisi ke perekonomian yang lebih formal, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengeluarkan buku panduan seri baru yang berjudul “Proyek Desain”. Rilisan pertamanya tentang “Dasar Pengadaan & Pengelolaan Jasa Desain di Indonesia” berharap dapat memberdayakan para kreatif dengan memperkenalkan mereka pada istilah formal dan alat tawar menawar yang digunakan dalam industri.
Lika-Liku Pendidikan Desain dan Pemberdayaannya di Indonesia
Pendidikan desain grafis sendiri telah berkembang di Indonesia dimulai sejak zaman kebudayaan prasejarah pertama kali menampik peradaban, terutama pada zaman paleolitikum melalui media kapak genggam yang kala itu berfungsi sebagai senjata. Kapak genggam yang berjenis Abbeville dan Acheulean memiliki tekstur serta komposisi warna yang cukup berbeda dengan kapak genggam pada umumnya, dimana masyarakat di zaman tersebut kerap memberikan ukiran dan warna dalam rangka estetika. Adapun perkembangan paling pesat dialami ketika masa kebudayaan luar merangsek peradaban Nusantara, yang dimulai dari India, Cina, Timur Tengah, Inggris, dan tentunya Belanda. Pada masa penjajahan Belanda, beberapa sekolah kerajinan beserta balai latihan kerja mulai digalakkan yang dimana pada saat itu keikutsertaannya masih eksklusif untuk para bangsawan selayaknya pendidikan formal lainnya5Desain, P. P. (2003). Paradigma Pendidikan Desain Di Indonesia. Jurnal Cakrawala Pendidikan, 3(3). https://doi.org/10.21831/cp.v3i3.7427.
Adapun proses internalisasi subjek desain grafis pada pendidikan formal di Indonesia baru dikembangkan pascakolonial melalui penyempurnaan kurikulum di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung pada pertengahan 1960-an. Salah satu kurikulum yang diterapkan adalah sistem Bauhaus yang dikembangkan dan diadopsi di Jerman. Hal ini menjadikan ITB menjadi salah satu penggagas konsisten seni rupa modern dan produknya berhasil memperoleh predikat mazhab Bandung atau sering diasosiasikan sebagai Laboratorium Barat. Formalisasi pendidikan ini merupakan langkah awal dalam pembangunan pondasi ekonomi sektor kreatif di Indonesia, yang pada awal pemberdayaannya masih dibayang-bayangi oleh kemajuan sektor industri dan manufaktur6Desain, P. P. (2003). Paradigma Pendidikan Desain Di Indonesia. Jurnal Cakrawala Pendidikan, 3(3). https://doi.org/10.21831/cp.v3i3.7427.
Dari perkembangan tersebut, pemerintah mulai membangun standarisasi terhadap subjek desain dengan membentuk Asosiasi Desain Grafis Indonesia (ADGI) pada September 19807http://www.adgi.or.id/en/about. Pembentukan ini diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan dan peran desain grafis di Indonesia. ADGI juga berperan dalam mendukung pemerintah dalam menyelenggarakan segala macam kebijakan pemerintah terkait ekonomi kreatif. Adapun penerbitan buku “Dasar Pengadaan & Pengelolaan Jasa Desain di Indonesia” merupakan hasil kolaborasi antara pemerintah dengan beberapa asosiasi diantaranya adalah ADGI, ADPII (Asosiasi Desainer Produk Industri Indonesia), AIDIA (Asosiasi Desain Komunikasi Visual), HDII (Himpunan Desainer Interior Indonesia), dan HDMI (Himpunan Desainer Mebel Indonesia)8Deputi Bidang Kebijakan Strategis. (2020). Buku 1: Dasar Pengadaan & Pengelolaan Jasa Desain di Indonesia (Cetakan kedua). Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. ISBN: 978-602-5989-09-4..
Meskipun demikian, usaha pemerintah untuk melakukan formalisasi pekerjaan kreatif masih sulit untuk dilakukan karena sejatinya standardisasi cenderung membatasi kreativitas. Hal tersebut menyebabkan sebagian besar pekerja kreatif didominasi oleh sektor informal. Sehingga yang acap kali dilakukan oleh ikatan profesi tersebut hanya sebatas media jaringan komunikasi antar pemerintah dengan tenaga kerja sektor tersebut, belum memiliki basis yang cukup untuk membangun suatu serikat pekerja yang dapat membantu tenaga kerja kreatif memperoleh hak upah atau kebutuhan lainnya yang layak.
Meregulasi Sektor Informal
Minimnya struktur pada sektor informal telah mengubah kerangka berpikir bagi definisi pekerjaan. Sebagaimana pekerjaan pada umumnya, tenaga kerja sektor informal mengharapkan penghidupan yang layak dari penghasilan yang diperoleh serta lingkungan kerja yang berkualitas. Regulasi dapat menjadi inisiatif yang baik untuk menjamin keseimbangan hak pekerja sektor informal dengan pekerja sektor formal. Namun, perbedaan struktur memerlukan pendekatan berbeda dalam penyusunan regulasi tersebut.
Andrew Stewart dan Jin Stanford (2017) melakukan penelitian terhadap penerapan regulasi pekerja konvensional pada pekerja lepas di Australia. Regulasi pekerja yang telah ada memerlukan pengembangan kerangka kerja supaya dapat mencakup pekerjaan lepas. Secara garis besar, regulasi konvensional membatasi pekerja lepas untuk menyetarakan hak pekerja informal dengan pekerja formal9Stewart, A., & Stanford, J. (2017). Regulating work in the gig economy: What are the options? The Economic and Labour Relations Review, 3, 420–437. https://doi.org/10.1177/1035304617722461.
Stewart dan Stanford berargumen bahwa pemerintah perlu memberikan intervensi untuk mencegah eksploitasi berlebihan pada pekerja lepas. Ekspansi persediaan tenaga kerja ditengarai akan mendesak para pekerja lepas untuk tunduk pada kondisi yang merugikan akibat rendahnya daya tawar yang dimiliki masing-masing individu. Seperti halnya dijelaskan dalam sistem pasar dalam ekonomi klasik bahwa rendahnya daya tawar pada masing-masing individu akan mendorong harga keseimbangan terutama bagi pemberi kerja yang memiliki tingkat willingness to pay yang rendah sehingga para pekerja yang tidak sepenuhnya memperoleh upah yang seharusnya, sehingga berujung eksploitasi10Mankiw, N. G. (2020). Principles of economics. Cengage Learning..
Buku Panduan “Proyek Desain” oleh Kemenparekraf
Upaya Kemenparekraf menunjukkan adanya peningkatan perhatian pada produktivitas sektor ekonomi kreatif di Indonesia. Intervensi pemerintah ini menjadi tahap awal untuk memberikan upah yang layak bagi pekerja industri kreatif. Melalui Buku panduan “Dasar Pengelolaan & Pengadaan Jasa Desain”, Kemenparekraf menjabarkan sejumlah model harga untuk jasa desain. Secara garis besar, model digolongkan berdasarkan ekspektasi hasil pekerjaan dan kompensasi yang hendak diterima pemberi jasa desain. Model yang diterapkan antara lain berdasarkan harga produksi (cost to price), penyesuaian dengan harga pasar (going rate), proyeksi nilai tambah (e.g. peningkatan penjualan) yang diperoleh (value-based pricing), hingga penetapan harga rendah untuk membangun relasi jangka panjang (loss leader price).
Namun, masalah baru muncul dari model ini. Pekerjaan kreatif cenderung memiliki ekspektasi yang abstrak dan sulit digambarkan ketika seorang klien dan pekerja bertemu. Hal ini pun umum terjadi di berbagai pekerjaan jasa lainnya. Alhasil, pekerjaan akan dibanjiri permintaan revisi yang mungkin saja tidak sesuai dengan kompensasi yang telah ditentukan.
Mengatasi masalah agensi (agency problem) adalah salah satu permasalahan utama yang dapat dihasilkan dengan pembuatan buku panduan. Masalah agensi diakibatkan adanya perbedaan informasi antara klien (principal) dan pekerja lepas (agent). Pekerjaan lepas rawan asimetri informasi dikarenakan agent memiliki pengetahuan lebih mengenai kualitas output. Kondisi ini dapat menyebabkan principal tidak dapat memberikan penilaian secara optimal.
Buku panduan “Proyek Desain” ini menginformasikan baik konsumen dan produsen tentang semua faktor pemain dalam industri, dari serikat buruh hingga istilah-istilah industri. Buku panduan ini juga menekankan pentingnya pencipta dalam keseluruhan proses dalam perdagangan. Walaupun buku panduan ini tidak memihak dan memberikan keputusan terakhir kepada pencipta, pendekatan ini berubah ketika membaham bab lima tentang pekerjaan spekulatif.
Menurut American Institute of Graphic Arts (AIGA), pekerjaan spekulatif, atau lebih sering disebut sebagai speculative work atau spec work, adalah kreasi yang telah diselesaikan atau diserahkan oleh desainer sukarelawan kepada calon klien11Deputi Bidang Kebijakan Strategis. (2020). Buku 1: Dasar Pengadaan & Pengelolaan Jasa Desain di Indonesia (Cetakan kedua). Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. ISBN: 978-602-5989-09-4.. Dalam keadaan tersebut, biaya yang adil atau wajar belum disetujui secara formal dan tertulis sesaat pekerjaan dimulai. Artinya, waktu dan upaya yang dikerahkan untuk pengerjaan tidak menjamin bahwa nilainya akan dikompensasikan secara adil kepada pembuatnya. Sikap keras “no spec work”, atau menolak pekerjaan spekulatif, yang dibincang dalam buku panduan adalah salah satu dari banyak cara Kemenparekraf berusaha melindungi industri kreatif dengan memastikan lingkungan kerja yang aman dan pasti bagi para kreator di lingkungan kerja independen yang juga berisiko.
Salah satu cara institusi-institusi menarik spec work adalah melalui pengiklanan peluang promosi gratis (free pitching). Penuntutan free pitching adalah kurang profesional dan ketidakhormatan terhadap calon pencipta itu sendiri. Untuk melihat pekerjaan seseorang sebagai “gratis” berarti mengeksploitasi dan meremehkan kontribusi mereka pada sektor kreatif dan dampaknya pada dunia secara keseluruhan.
Desainer merubah budaya di sekitarnya dengan mencipta dan menambahkan nilai ke dunia. Desainer membantu manusia berinteraksi dengan lingkungan lewat bahasa yang mudah dipahami secara universal. Tidak perlu dipungkiri bahwa karya desain adalah komponen penting bagi perkembangan ekonomi suatu negara — inilah mengapa penting untuk membayar mereka dengan harga yang pantas atas kontribusi mereka, terlepas dari produk akhirnya.
Efektivitas Upah Minimum dan Alternatif Kebijakan Lainnya
Salah satu cara pemerintah dapat melindungi tenaga kerja di industri kreatif terutama di bidang desain grafis adalah dengan mengimplementasi harga dasar (price floor) ke pasar industri kreatif. Kebijakan harga dasar merupakan salah satu kebijakan pemerintah terhadap pasar untuk mematok harga minimum supaya meningkatkan kesejahteraan produsen dalam pasar tersebut. Adapun tujuan penetapan harga dasar adalah untuk mendukung kesejahteraan (welfare) produsen yang bekerja di industri yang bekerja di dalam margin kesalahan yang besar dan rentan bergejolak (volatile), seperti sektor kreatif. Contoh kebijakan yang dapat diterapkan dalam industri kreatif adalah pengadaan upah minimum. Keberadaan upah minimum akan meningkatkan bargaining power bagi tenaga kerja terutama dalam sektor informal sehingga memberikan sebuah kepastian bagi mereka terkait dengan upah. Secara teoritis, pemanfaatan upah minimum juga dapat menjadi basis dan multiplier yang baik terutama untuk pengeluaran konsumsi masyarakat terutama para tenaga kerja sektor informal, yang kemudian uang tersebut akan bergerak dan menggandakan arus ekonomi menjadi berkali lipat dibanding sebelumnya12Lopresti, J. W., & Mumford, K. J. (2016). Who benefits from a minimum wage increase?. ILR Review, 69(5), 1171-1190..
Meskipun efektif secara teoritis, tindakan ini dapat membawa lebih banyak masalah daripada solusi. Penerapan harga dasar cenderung lebih efektif terhadap produk yang tidak elastis, dan sayangnya industri kreatif masih cenderung dilihat sebagai pemain di pasar produk elastis karena volume pemain di industrinya dan volume keragaman hasil kerja akhirnya. Ada juga potensi masalah pengurasan otak (brain drain) di sektor kreatif, di mana harga yang lebih tinggi dari harga pasar membuat nilai kerja mereka kurang menarik untuk dimanfaatkan oleh konsumen sehingga memungkinkan untuk memaksa produsen untuk melanjutkan kegiatan ekonomi mereka di luar negeri. Intervensi pemerintah di pasar dapat dan telah membantu menopang berbagai sektor industri, tetapi penerapan harga dasar kedalam industri kreatif yang begitu informal dan tidak diregulasi dapat menyebabkan lebih banyak kerugian daripada kebaikan.
Adapun pemerintah tidak juga kehilangan pilihan dengan inefektivitas kebijakan upah minimum. Salah satu upaya yang dapat dicanangkan adalah dengan merubah paradigma masyarakat secara perlahan dalam berbagai macam sosialisasi program,. Perubahan paradigma tersebut dapat membawa dampak signifikan pada ekonomi kreatif. Salah satu contohnya yaitu di Inggris dengan “Creative Britain” berupaya untuk mengoptimalkan hasil keluaran ekonomi kreatif. Pemerintah Inggris mempercayai bahwa setiap orang memiliki bakat di bidang kreatif, sehingga program dibuat demi aktualisasi diri masyarakat. Program dilaksanakan sejak tahap pendidikan hingga dukungan terhadap bisnis-bisnis di sektor kreatif. Inisiatif ini dimulai akibat besarnya kontribusi industri kreatif terhadap perekonomian Inggris, sebesar 60 miliar poundsterling pada tahun 2008, atau sebesar 7.3%13UK Creative Employment. (2018). Creative Industries. https://www.thecreativeindustries.co.uk/uk-creative-overview/facts-and-figures/employment-figures.
Dampak kebijakan tersebut berbuah manis. Sebelum pandemi, industri kreatif di Inggris bertumbuh lebih cepat dari ekonomi secara keseluruhan. Sepuluh tahun kemudian, kontribusi industri kreatif mencapai pada 111.7 miliar poundsterling. Selain itu, pertumbuhan jumlah pekerjaan di industri kreatif juga meningkat lebih cepat dibandingkan industri lain. Meskipun demikian, kualitas pekerjaan tetap belum terbukti membaik pasca gebrakan ini. Banyak pekerja di industri kreatif Inggris menghadapi masalah upah rendah dan lingkungan kerja yang buruk. Adapun demikian, hal tersebut lebih diakibatkan pada kondisi pandemi di Inggris yang kian memburuk pada pertengahan 2020. Pemerintah Inggris mengharapkan bahwa pasca pandemi tersebut telah berakhir, roda ekonomi akan berjalan semestinya serta kontribusi ekonomi kreatif kian meningkat14UK’s Creative Industries contributes almost £13 million to the UK economy every hour – GOV.UK. (2020, February 6). GOV.UK; GOV.UK. http://www.gov.uk/government/news/uks-creative-industries-contributes-almost-13-million-to-the-uk-economy-every-hour.
Menuju Indonesia Kreatif
Pengembangan kualitas pekerjaan industri kreatif memerlukan upaya lebih besar dari sekadar buku panduan. Industri kreatif memerlukan dukungan menyeluruh untuk meningkatkan daya tariknya. Intervensi pemerintah belum tentu dapat diandalkan untuk menjadi ujung tombak upaya ini. Jika kita membuka situs Kemenparekraf, keraguan pada kompetensi pemerintah akan memuncak dengan gambar utama yang mengingatkan kita akan saratnya korupsi pada institusi.
Untuk saat ini, kelangsungan hidup pekerja industri kreatif masih bergantung pada inisiatif masyarakat. Pemberdayaan serikat pekerja dan asosiasi profesi tetap menjadi institusi utama yang dapat diandalkan untuk mendukung industri tersebut. Adapun kedepannya, pemerintah diharapkan mampu untuk turut memberikan kepastian bagi para pekerja informal dengan mencanangkan kebijakan strategis seperti “Creative Britain” di negara Britania Raya dan formalisasi yang telah dilakukan di Amerika Serikat
Referensi
↵1 | Badan Pusat Statistik. 2020. Tingkat Pengangguran Terbuka Bulan Februari. https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/05/05/1672/februari-2020–tingkat-pengangguran-terbuka–tpt–sebesar-4-99-persen.html#:~:text=Sebanyak%2074%2C04%20juta%20orang,sebesar%200%2C77%20persen%20poin.” |
---|---|
↵2 | International Labour Office. (2014). Transition from the informal to the formal economy. Report V(1). International Labour Organization. https://www.ilo.org/ilc/ILCSessions/previous-sessions/103/on-the-agenda/informal-economy/lang–en/index.htm |
↵3, ↵8, ↵11 | Deputi Bidang Kebijakan Strategis. (2020). Buku 1: Dasar Pengadaan & Pengelolaan Jasa Desain di Indonesia (Cetakan kedua). Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. ISBN: 978-602-5989-09-4. |
↵4 | Asosiasi Desain Grafis Indonesia (2020). Sensus Desain ADGI. Asosiasi Desain Grafis Indonesia. http://adgi.or.id/sensusdesain/ |
↵5, ↵6 | Desain, P. P. (2003). Paradigma Pendidikan Desain Di Indonesia. Jurnal Cakrawala Pendidikan, 3(3). https://doi.org/10.21831/cp.v3i3.7427 |
↵7 | http://www.adgi.or.id/en/about |
↵9 | Stewart, A., & Stanford, J. (2017). Regulating work in the gig economy: What are the options? The Economic and Labour Relations Review, 3, 420–437. https://doi.org/10.1177/1035304617722461 |
↵10 | Mankiw, N. G. (2020). Principles of economics. Cengage Learning. |
↵12 | Lopresti, J. W., & Mumford, K. J. (2016). Who benefits from a minimum wage increase?. ILR Review, 69(5), 1171-1190. |
↵13 | UK Creative Employment. (2018). Creative Industries. https://www.thecreativeindustries.co.uk/uk-creative-overview/facts-and-figures/employment-figures |
↵14 | UK’s Creative Industries contributes almost £13 million to the UK economy every hour – GOV.UK. (2020, February 6). GOV.UK; GOV.UK. http://www.gov.uk/government/news/uks-creative-industries-contributes-almost-13-million-to-the-uk-economy-every-hour |
Discussion about this post