“Sebetulnya musuh terbesar kita saat ini adalah bukan virus itu sendiri, tapi rasa cemas, rasa panik, rasa ketakutan, dan berita-berita hoaks serta rumor,” ujar Jokowi di Istana Kepresidenan pada Kamis (5/3/2020) lalu.
Sejak tanggal 2 Maret 2020 lalu, pasca Presiden Joko Widodo mengumumkan masuknya virus Covid-19 ke Indonesia, telah ada dua pasien positif corona di Indonesia, yaitu pasien nomor 01 dan 02. Pengumuman tersebut sontak menghebohkan banyak pihak, terlebih lagi, semakin hari, kasus positif Covid-19 kian bertambah, sehingga membuat Pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ketakutan yang berlebihan pun muncul mengiringi bertambahnya jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia. Ketakutan yang berlebihan ini disebut dengan istilah coronaphobia.
Seperti yang kita ketahui, kata ‘fobia’ sering digunakan untuk menyebut ketakutan yang sangat berlebihan terhadap benda atau keadaan tertentu yang dapat menghambat kehidupan penderitanya. Coronaphobia sendiri merupakan terminologi yang digunakan untuk menggambarkan ketakutan dan kecemasan berlebihan terhadap penularan virus corona. Bentuk ketakutan yang ditimbulkan oleh coronaphobia itu bermacam-macam mulai dari adanya gangguan psikis individu (Wheaton et al, 2012), penumpukan
The Psychology of Fear
Menurut Profesor bidang psikologi dari Northeastern University, David DeSteno, coronaphobia disebabkan oleh campuran antara emosi karena salah perhitungan dan pengetahuan yang terbatas. Ia juga berpendapat bahwa ketika berita tentang korban virus di Tiongkok menyulut ketakutan kita, itu membuat kita khawatir melebihi kekhawatiran yang seharusnya kita butuhkan untuk mencegah penularan Covid-19. Kita juga menjadi lebih rentan untuk menerima klaim palsu yang berpotensi menimbulkan masalah, permusuhan, atau sikap takut terhadap orang-orang di sekitar kita, sehingga memperkuat rasa takut tersebut.
David berpendapat adanya ketakutan ini juga disebabkan oleh adanya fenomena yang disebut availability bias. Availability bias adalah kecenderungan untuk menilai suatu peristiwa yang lebih mudah diingat atau digambarkan secara mental (Kahneman dan Tversky 1972). Ekspos media yang non-stop terhadap perkembangan virus Covid-19 membuat orang semakin mengingat berita tersebut dan meresponnya sebagai ancaman utama. Akibatnya, ia mengabaikan fakta bahwa terdapat bahaya-bahaya penyakit lain yang risikonya lebih tinggi dari penyebaran virus tersebut.
Muncul Setiap Adanya Pandemi
Ketakutan berlebihan seperti ini sebenarnya tidak hanya terjadi pada fenomena mewabahnya Covid-19 ini saja. Sejak dulu, kecemasan lazim muncul ketika pandemi benar-benar datang. Contohnya ketika pandemi Virus H1N1 mewabah pada tahun 2009 lalu, sekitar 24% sampel penduduk Inggris Raya dilaporkan mengalami kecemasan yang signifikan terhadap kemunculan pandemi ini (Rubin, Amlot, Page & Wessely, 2009). Sedangkan di Amerika Serikat sendiri, dalam survei yang dilakukan pada kalangan mahasiswa, sekitar 83% responden mengalami beberapa tingkat kecemasan tertular penyakit ini (Kanadiya & Sallar, 2011).
Ketakutan berlebihan terhadap penyebaran suatu wabah penyakit sejatinya bukanlah barang baru. Namun, dengan adanya perkembangan saluran media komunikasi saat ini, terkadang malah mempermudah penyebaran informasi yang salah, ditambah lagi dengan adanya berita-berita sensasional mengenai pandemi semakin memicu ketakutan dan fobia terhadap penyakit tersebut(Taylor & Asmundson, 2004). Hal ini membuat penyebaran ‘virus ketakutan’ ini menjadi lebih cepat, bahkan melebihi kecepatan penyebaran ‘virus penyakit’ itu sendiri (Asmundson & Taylor, 2020).
Penumpukan Pasien “Worried Well”
Coronaphobia dapat menyebabkan gangguan psikis seperti level of distress, penghindaran yang berlebihan, hingga gangguan fungsional yang signifikan secara klinis ke tingkat yang mungkin memerlukan perawatan untuk gangguan emosional mereka (Wheaton et al, 2012). Selain itu, di tingkat yang lebih lanjut, dapat muncul gangguan mental yang berupa gangguan mood, gangguan kecemasan, hingga PTSD (post-traumatic stress disorder) (Schultz et al,2015).
Orang-orang dengan gangguan mental karena pandemi seperti ini nantinya akan melakukan pemeriksaan dan pencarian jaminan asuransi yang secara medis tidak diperlukan. Orang-orang seperti ini disebut sebagai pasien ‘worried-well’ (Taylor & Asmundson, 2019). Pasien worried well sendiri terjadi pada pasien yang sebenarnya baik-baik saja, namun merasa tidak percaya terhadap diagnosa dokter atau bahkan hasil laboratorium yang menyatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Hal ini karena pikiran dan asumsi pasien yang memiliki ketakutan berlebihan terhadap suatu virus.
Tentunya hal ini akan sangat merugikan bagi penderita yang benar-benar positif mengidap penyakit COVID-19. Sebab yang seharusnya mereka mendapat penanganan medis secepatnya, malah terabaikan karena petugas medis sibuk mengurusi pasien worried-well yang membludak.
Fenomena Xenophobia
Seperti kita ketahui, Covid-19 teridentifikasi pertama kali di kota Wuhan, Tiongkok. Setelah bertambahnya kasus secara signifikan, Pemerintah memutuskan untuk melakukan karantina wilayah disusul dengan larangan kedatangan dari Cina oleh berbagai negara di dunia. Karena virus ini berasal dari Wuhan, Tiongkok, maka tidak dapat dipungkiri lagi, fenomena xenophobia terhadap ras Cina akan muncul (Aguilera, 2020).
Dalam berbagai laporan, terdapat salah satu restoran Tiongkok di sebuah negara yang harus menutup atau memberhentikan stafnya karena pelanggan menghindari tempat itu. Selain itu, warga negara Tiongkok juga telah dilarang datang ke beberapa restoran, serta operator kapal pesiar yang telah mengumumkan larangan warga negara Tiongkok untuk bepergian dengan kapal pesiar mereka (Evelyn, 2020; Lowen, 2020).
Brain Hack Sebagai Solusi
Menurut Judson A. Brewer, Associate Professor di Brown University, cara untuk mengatasi coronaphobia adalah dengan melakukan ‘brain hack’. Ia mengatakan bahwa manusia perlu meretas otaknya untuk memutus siklus kecemasan. Untuk itu, perlu disadari dua hal, pertama, menyadari bahwa kita telah menjadi cemas atau panik dan yang kedua, menganalisis apa hasil dari kepanikan itu. Hal ini sangat membantu kita untuk melihat apakah perilaku kita benar-benar membantu kita dalam bertahan hidup, atau malah menggerakkan kita ke arah yang keliru.
Ia menambahkan, hanya dengan mengambil waktu sejenak untuk berhenti dan menganalisis yang terjadi pada kita, kita akan memberikan korteks prefrontal kita —bagian otak yang mengatur perilaku, kesempatan untuk kembali ‘online’ dan melakukan proses berpikir. Ketika korteks prefrontal kita kembali online, kita dapat mengatur kecemasan dan mulai berpikir dengan tenang.
Kini, Covid-19 telah menjadi masalah yang cukup berat bagi masyarakat di seluruh dunia, tetapi jangan sampai fobia yang ditimbulkan oleh virus itu menambah pelik masalah yang ada. Dibutuhkan penanganan yang tepat untuk mengatasi permasalahan kecemasan atau coronaphobia ini. Namun, kembali lagi, karena kepanikan ini berasal dari diri kita sendiri, maka hanya diri kita sendirilah yang bisa menjadi obat untuk ‘virus ketakutan’ ini.
Editor: Rani Widyaningsih
Ilustrasi: Batrisyia Izzati
Daftar Pustaka
A Brain Hack to Break the Coronavirus Anxiety Cycle. (2020, March 13). The New York Times. https://www.nytimes.com/2020/03/13/well/mind/a-brain-hack-to-break-the-coronavirus-anxiety-cycle.html
Aguilera, J. (2020). Xenophobia “is a pre-existing condition.” how harmful stereotypes and racism are spreading around the coronavirus. Timehttps://time.com/5775716/xenophobia-racism-stereotypes-coronavirus/.
Aguilera, J. (2020). Xenophobia “is a pre-existing condition.” how harmful stereotypes and racism are spreading around the coronavirus. Time https://time.com/5775716/xenophobia-racism-stereotypes-coronavirus/.
Angus Reid Institute (2020). Half of Canadians taking extra precautions as coronavirus continues to spread around the globe. retrieved February 6, 2020 http://angusreid.org/wpcontent/uploads/ 2020/02/2020.02.04_Coronavirus.pdf.
Asmundson, G. J. G., & Taylor, S. (2020). Coronaphobia: Fear and the 2019-nCoV outbreak. Journal of Anxiety Disorders, 70, 102196. https://doi.org/10.1016/j.janxdis.2020.102196
Centers for Disease Control and Prevention (2020). Weekly U.S. influenza surveillance report. (2020, March 18). Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) in the U.S. Centers for Disease Control and Prevention. https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/cases-updates/cases-in-us.html
Choane, M., Shulika, L. S., & Mthombeni, M. (2011). An Analysis of the Causes, Effects and Ramifications of Xenophobia in South Africa. Insight on Africa, 3(2), 129–142. https://doi.org/10.1177/0975087814411138
Evelyn, K. (2020). Coronavirus: Royal Caribbean bans all Chinese nationals from its cruise ships. The Guardian. retrieved February 8, 2020 https://www.theguardian.com/ world/2020/feb/07/ coronavirus-royal-caribbean-cruise-bans-chinese-nationals.
Jokowi: Musuh Terbesar Kita Bukan Virus Corona, tapi… (n.d.). KOMPAS.tv. Retrieved March 19, 2020, from https://www.kompas.tv/article/69994/jokowi-musuh-terbesar-kita-bukan-virus-corona-tapi
Kahneman, D., & Tversky, A. (1972). Subjective probability: A judgment of representativeness. Cognitive Psychology, 3(3), 430–454. https://doi.org/10.1016/0010-0285(72)90016-3
Kanadiya, M. K., & Sallar, A. M. (2010). Preventive behaviors, beliefs, and anxieties in relation to the swine flu outbreak among college students aged 18–24 years. Journal of Public Health. https://doi.org/10.1007/s10389-010-0373-3
Lowen, M. (2020). Coronavirus: Chinese targeted as Italians panic. BBC News. Retrieved February 8, 2020 https://www.bbc.com/news/world-europe-51370822.
Morning Consult (2020). National tracking poll #200164. retrieved February 6, 2020 https:// morningconsult.com/wp-content/uploads/2020/01/200164_crosstabs_ CORONAVIRUS _Adults_v1.pdf.
Rubin, G. J., Amlôt, R., Page, L., & Wessely, S. (2009). Public perceptions, anxiety, and behaviour change in relation to the swine flu outbreak: Cross sectional telephone survey. The BMJ, 339. https://doi.org/10.1136/bmj.b2651
Schultz, Carolin & Powell, Kate & Crossley, Alison & Jurkschat, Kerstin & Kille, Peter & Morgan, A. & Read, Daniel & Tyne, Bill & Lahive, Elma & Svendsen, Claus & Spurgeon, David. (2015). Schultz et al 2015 Ecotoxicology review.
Taylor, J. (2009). Swine flu: Lessons from the first wave of a pandemic. The Health Service Journal, 119(6172), 20–21.
Taylor, S. (2019). The Psychocology of Pandemics: Preparing for the Next Global Outbreak of Infectious Disease. Cambridge Scholar Publishing.
Taylor, S., & Asmundson, G. J. G. (2004). Treating Health Anxiety: A Cognitive-behavioral Approach. New York: Guilford Press.
The psychology of coronavirus fear—And how to manage it. (n.d.). Quartz. Retrieved March 19, 2020, from https://qz.com/1812664/the-psychology-of-coronavirus-fear-and-how-to-overcome-it/
Tyrer, P., & Tyrer, H. (2018). Health anxiety: Detection and treatment. BJPsych Advances, 24, 66–72. https://doi.org/10.1192/bja.2017.5
Wheaton, M. G., Deacon, B. J., McGrath, P. B., Berman, N. C., & Abramowitz, J. S. (2012). Dimensions of anxiety sensitivity in the anxiety disorders: Evaluation of the ASI-3. Journal of Anxiety Disorders, 26(3), 401–408. https://doi.org/10.1016/j.janxdis.2012.01.002
Discussion about this post