Oleh: Lussy Albayinnah
Aku tidak tahu akan melakukan apalagi. Ia selalu saja tidak mengerti kalau aku tidak mampu menuruti semua permintaanya yang tidak masuk akal itu. Kalau sudah begini, ia akan meracau panjang lebar tentang ketidakadilan sikap Tuhan kepadanya. Kenapa harus dia yang menjadi bagian dari keluarga ini dan hal hal yang membuat telingaku panas dan ulu hatiku nyeri bagai dicucuk tombak besi berulang-ulang kali.
Kemarin, Doni pulang cepat sekali. Hal ini tidak sering terjadi karena biasanya dia akan pulang saat adzan Maghrib menggema. Aku tidak mengerti apa yang ia perbuat hingga harus pulang berbarengan dengan segerombolan warga sekitar yang telah selesai melakukan ibadah sholat Maghrib di masjid. Hal ini tentu menjadi pertanyaan yang rutin dikirimkan padaku tanpa basa basi setiap kali berbelanja di warung tetangga yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Tetapi sekarang, mereka mungkin sudah pegal rahangnya menanyakan perkara itu karena seminggu belakangan ini aku tidak diinterogasi. Lega bukan main rasanya, sepasang kupingku tidak perlu lagi dijejali kata kata yang tidak patut diucapkan oleh manusia-manusia yang sudah peyot itu. Bagai tidak boleh aku membekukan perasaan lega itu didalam sanubariku lama-lama, kepalaku rasanya seperti dihantam bola besi raksasa ketika Doni menghambur kearahku yang sedang sibuk di dapur dan mengutarakan maksud hatinya. Kebinasaan yang lain lagi. Doni minta dibelikan motor.
“Aku tidak mau jalan kaki lagi, aku capek.” matanya menghunus kearahku dengan kening dilipat-lipat, bertingkah seperti aku telah melakukan dosa besar. Dasar edan!
“Kau pikir kita punya warisan bermilyar-milyar? Belilah kalau kau mau, jangan minta padaku. Aku tidak punya uang. Kiriman Ibu tidak sebanyak itu,” aku mendengar hembusan nafas yang dipaksa keluar pertanda ia tidak menyukai jawabanku barusan. Kami sama-sama berdiri dengan aku yang membelakanginya. Kepalaku benar-benar terasa berat sekarang lalu ditambah dengan rasa pedas yang mendera mataku akibat dari mengiris bawang merah yang masih aku kerjakan. Doni masih dibelakangku, dengan hembusan nafas yang sungguh aku benci. Tidak ada yang berkata-kata lagi, satu-satunya sumber suara datang dari tumburan pisau dengan alas kayu.
Aku yakin di dalam dadanya sedang berkecamuk amarah yang tak dapat aku kisar kengeriannya. “Praangg!” ia membanting gelas yang terlungkup di atas meja. Benarlah apa yang aku bayangkan. Ia pasti akan menghancurkan sesuatu sama seperti yang selalu ia lakukan saat Ibu kami masih ada bersama kami dulu. Meski sudah aku persiapkan posisi jantungku untuk bereaksi biasa saja, masih jantungku tidak kuasa melompat di dalam kungkungan rongga dada. Jadilah urat urat disekitarnya mengencang dan lagi, membikin ngilu seluruh badanku. Ia beringsut dari dapur. Tak lama berselang, ku dengar suara debum keras dari pintu depan. Ia tidak akan tidur dirumah malam ini.
Tidak kupermasalahkan tentang kelakuannya yang tidak mencerminkan rasa patuh dan mencintai anggota keluarganya itu. Hanya saja kalau ia sudah bertingkah seperti barusan, yang kupikirkan adalah pertanyaan pertanyaan mengganggu dari tetangga sekitar. Maklum, kami tidak tinggal di sebuah rumah dalam komplek yang bangunan betonnya mampu meredam suara gelas pecah. Tidak bisa tidak, apapun yang terjadi di rumah ini, semua orang akan mengetahui. Terkadang, berita yang aku dengar lebih dahsyat dari apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidak mengerti bagaimana kata kata yang keluar dari mulut orang orang peyot itu dapat beranak pinak. Seringkali aku menyumpahi mereka untuk cepat tersuruk ke dalam tanah. Aku ucapkan itu dalam hati saja saat kenyataannya aku cuma ketawa tidak enak.
***
Saat kami masih kecil, keadaan aku dan Doni memang sudah seperti ini. Digolongkan kedalam kaum marjinal walau sebenarnya kami menduduki kelas paling atas dalam kelas sosial marjinal. Maksudnya, kami sedikit berada dan bukan kaum marjinal tulen. Ibu bekerja apa saja untuk memenuhi kebutuhan kami mulai dari mencuci pakaian sampai membuka warung kecil-kecilan. Saat itu aku masih duduk di kelas tiga sekolah dasar, aku menanyakan keberadaan ayah pada ibu. Hal ini dipicu oleh kejengkelan yang membuncah saat aku melihat teman sekelasku, Rani, selalu diantar sepeda motor oleh ayahnya. Ibu hanya diam saja dan kalau aku tanyakan lebih dari tiga kali, matanya akan melotot dan mencubiti pinggangku sampai aku menjerit. “Diam, jangan nangis!” titahnya membuat aku tersedu-sedu menahan raungan agar tidak menjadi-jadi. Padahal ia yang mencubitku, tetapi ia juga yang menyuruhku diam. Kadang kadang aku merasa aku tidak beruntung memiliki ibu yang selalu marah marah dan memukuli aku dengan selang air kalau aku tidak bersikap manis, tetapi kadang kadang aku juga merasa beruntung menjadi keturunanya saat ia suatu hari menyetrikakan seragam sekolahku karena aku akan menghadapi Ujian Nasional. Aku tidak tahu harus memiliki rasa seperti apa terhadap ibuku itu.
Suatu malam, setelah aku selesai makan dengan menu yang sangat sederhana, aku melihat ibu sedang sibuk memasukkan semua pakaiannya kedalam tas jinjing yang berlubang sedikit di ujungnya. Ibu melihat bayanganku yang berdiri di depan pintu lalu dengan sigap memintaku mengambilkan beberapa helai baju yang tersangkut di dinding tidak jauh dari tempat aku terperangah tadi.
“Ibu mau kemana?” aku tidak melihat Doni di kamar Ibu.
“Ke Malaysia, Ibu akan jadi TKW bersama Mba Sumi. Besok berangkat. Kamu sudah SMA sekarang, sebentar lagi lulus.–”
“Doni?” aku potong perkataanya dengan bertanya yang lain.
“Tidak, dia tidak boleh ikut. Sebentar lagi dia Ujian Nasional, lagipula tidak boleh membawa anak kesana,” aku melongo lama sekali.
“Kenapa tidak memberitahu dari dulu? Apa-apaanlah Ibu ini!” aku berkata sambil menangis. Bagaimana bisa aku harus tinggal sendirian disini. Tinggal berdua dengan Doni sama saja denga tinggal bersama orang mati. Kami adalah saudara yang tidak akur, padahal saat masih kecil kami sering menghabiskan waktu bersama. Sebabnya, Doni sekarang telah berubah perangainya. Kata Ibu itu akibat permainan yang ia mainkan di warung internet atau rental Play Station. Ia menjadi seseorang yang mudah marah dan emosinya tidak stabil. Keberadaannya tidak menguntungkan aku. Aku semakin benci kepadanya saat ia pernah mengatakan kalau aku adalah seorang sundal gara-gara aku meminjam sendal jepitnya. Padahal, dialah manusia yang tidak bermoral sesungguhnya karena ia pernah mengambil uang tabunganku. Saat aku pergoki, dia tidak memunculkan rasa bersalah sedikit pun di wajahnya. Dasar tidak tahu malu.
***
Aku merebahkan badanku ke atas kasur yang reyot, suara per besi yang sudah tua membuat telinga ngilu. Walau sudah satu tahun berlalu, Ibu belum memunculkan batang hidungnya. Kiriman uang untuk bulan ini belum sampai ke tanganku. Ibu mengatakan akan pulang bulan Ramadhan tahun ini, begitu yang disampaikan Mba Sumi. Menurutku, Ibu belum akan pulang pada saat itu. Entah kapan.
Saat aku buka laci tempat aku menyimpan uang sisa kiriman bulan lalu, aku tidak menyentuh lembaran uang kertas. Tidak mungkin sekali! Aku membongkar semua pakaian yang berkantong dan lemari yang ada dikamar. Aku coba mencari di segala sudut rumah kecil ini, tetapi nihil. Sosok Doni berputar-putar dengan cepat dikepalaku. Ya, pasti dia… Rasa sakit di kepalaku muncul lagi. Mungkin aku sudah mencapai klimaks kesakitan yang diberikan oleh takdir kepadaku. Aku tidak mau meraung-raung seperti saat itu yang menyebabkan para tetangga berkumpul di depan rumah. Saat itu aku kesakitan karena Doni menerjangi badanku ketika aku enggan memberikan uang kepadanya. Aku mengigit bibir bawahku sekuatnya sampai mengoyak dagingnya, lalu aku benturkan kepalaku sekuat tenaga juga agar pusing di kepalaku menghilang. Aku sudah tidak kuat lagi menjalani hidup seperti ini sendirian. Ku bawa gontai tubuhku menuju dapur dan tatapanku berhenti saat aku lihat sebilah pisau di atas meja. Seharusnya telah aku lakukan ini sedari dulu.
Discussion about this post