Melalui siaran pers No. 18/29/DKom, Bank Indonesia pada 15 April 2016 lalu mengumumkan bahwa mulai Agustus 2016 nanti, suku bunga acuan yang digunakan berubah menjadi BI 7 day Reverse Repo Rate dan tidak lagi menggunakan BI Rate. Kebijakan ini memiliki tiga tujuan antara lain: 1) Memperkuat sinyal kebijakan moneter, 2) Memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter, dan 3) Mendorong pendalaman pasar keuangan.
Secara sederhana, Bank Indonesia sebagai Bank Sentral memiliki tugas untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah – baik terhadap mata uang asing maupun terhadap harga domestik. Untuk itu, Bank Indonesia menerapkan kerangka inflation targeting framework (ITF) yang mentargetkan angka inflasi tertentu. Dalam mencapai tujuan-tujuan ini, Bank Indonesia menetapkan suku bunga acuan tertentu sebagai stance kebijakan moneter yang direfleksikan dalam BI Rate. Kemudian, Bank Indonesia mengendalikan likuiditas pasar uang (yang nantinya akan berpengaruh kepada suku bunga) melalui beragam instrumen moneter. Suku bunga pasar uang nantinya akan mempengaruhi suku bunga kredit dan deposito, yang berpengaruh pada investasi dalam negeri dan nantinya akan mempengaruhi tingkat harga.
Meski disambut baik oleh beragam kalangan (Anda bisa membaca sendiri di beragam media cetak hari ini), saya cukup heran mengapa kebijakan perubahan suku bunga acuan ini baru diambil sekarang. Pasalnya, transmisi moneter yang diharapkan Bank Indonesia dalam mempengaruhi suku bunga domestic melalui BI Rate sudah lama terbukti tidak berjalan efektif. Dalam rangka pengendalian moneter, misalnya, Bank Indonesia menetapkan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N) sebagai target operasi moneternya. Akan tetapi, seperti bisa di lihat dalam grafik, PUAB O/N justru lebih banyak bergerak di sekitar deposit facility atau FASBI. Hal ini juga diperkuat temuan Prastowo (2007) yang menemukan bahwa respon PUAB terhadap BI Rate tidak signifikan. Dalam penelitian tersebut, BI Rate hanya signifikan mempengaruhi yield obligasi serta suku bunga deposito.
Selain dari efektivitasnya, BI Rate sendiri tidak memiliki instrumen pendukung yang jelas. Dahulu, BI Rate mencerminkan suku bunga rata-rata dari SBI satu bulan. Namun, hal itu sudah tidak berlaku lagi. BI Rate saat ini hanyalah sebuah angka, yang disetujui oleh rapat para dewan gubernur, yang, menurut Bank Indonesia, “Merupakan suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik,” tanpa memiliki instrumen pendukung yang jelas.
BI 7 Days Reverse Repo Rate, di sisi lain, memiliki apa yang tidak BI Rate punya. Instrumen ini telah lama ada dan ditransaksikan setiap hari di pasar uang. Sehingga, suku bunga acuan ini dapat secara langsung mempengaruhi likuiditas perbankan serta suku bunga PUAB O/N dengan lebih baik. Dengan demikian, transmisi kebijakan moneter dapat berjalan dengan lebih efektif.
Setidaknya, setelah 9 tahun temuan Prastowo (2007) (yang merupakan laporan Bank Indonesia juga) dan setelah bertahun-tahun ke-tidak efektif-an kebijakan moneter, Bank Indonesia akhirnya bertaubat dengan mengubah suku bunga acuannya. Meski kita tidak bisa memprediksi akankah kebijakan ini membawa dampak yang diharapkan, setidaknya ada langkah konkrit dari bank sentral kita untuk mengatasi masalah transmisi moneter yang sudah lama ada. Wallahualam.
Penulis: Nabil Rizky Ryandiansyah, Staff Divisi Kajian Economica 2016/2017
Discussion about this post