“Di masa lalu, bangsa kita telah mengalami berbagai cobaan, tapi sejarah berulang. Masalah-masalah lama kadang kala muncul kembali dengan baju baru. Itulah sebabnya mengapa kita perlu belajar dari pengalaman di masa lalu agar kita lebih siap dan lebih arif dalam menghadapi tantangan-tantangan yang saat ini timbul,” ujar Prof. Boediono, Wakil Presiden RI 2009-2014, dalam gelaran IEO National Seminar.
Indonesia Economic Outlook 2026 (IEO ‘26) di bawah naungan Kajian Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (Kanopi FEB UI) kembali melaksanakan IEO National Seminar pada Senin (24/11) di Balai Purnomo Prawiro, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI. Dengan mengangkat tema “The Frontier of Fragmentation: Reinforcing Indonesiaʼs Growth Through Global Turbulence”, seminar ini menjadi wadah edukasi dan diskusi melalui berbagai pembicara dan instansi mitra mengenai apa saja tantangan yang sedang dihadapi Indonesia saat ini dan bagaimana Indonesia dapat mengubah tantangan fragmentasi global, khususnya di bidang perdagangan dan politik yang terjadi saat ini, sebagai sebuah peluang untuk mendukung pertumbuhannya.
Rangkaian acara IEO National Seminar terdiri dari sesi opening remarks, keynote speaker nasional dan internasional, sesi sektoral moneter, riil, dan fiskal, kemudian ditutup dengan closing remarks, yang diisi oleh berbagai pembicara ternama, seperti Prof. Boediono (Wakil Presiden RI 2009-2014), David Knight (Lead Country Economist for Indonesia and Timor Leste World Bank), Shinta Widjaja Kamdani (Ketua Umum APINDO), Sandiaga Uno (Menteri Parekraf RI 2020-2024), dan masih banyak lagi.
Tidak hanya sekadar seminar, terdapat pula games dan bazaar UMKM. “Kita mengundang UMKM-UMKM yang bahkan sebagian besar dimiliki oleh mahasiswa UI itu sendiri. Dengan harapan bahwa seminar kita juga bisa bikin spillover positif untuk mendukung usaha dari teman-teman kami, dan juga memberikan dampak positif bagi audiens yang datang,” ujar Qintani Sinaga (Qinta), Chief Executive Officer IEO ‘26.
Ketahanan Likuiditas dan Risiko Perbankan di Tengah Fragmentasi Global
Pelaksanaan IEO National Seminar memfokuskan diskusi pada reformasi industri, strategi fiskal, dan ketahanan sektor keuangan dalam menghadapi turbulensi global. Dari perspektif sektor keuangan, Head of Banking Research and Analytics PT Bank Central Asia (BCA), Victor George Petrus, menyoroti pentingnya menjaga likuiditas di tengah ketidakpastian global. Victor menjelaskan bahwa salah satu sumber utama likuiditas nasional saat ini berasal dari surplus neraca dagang dan belanja pemerintah. Namun, ia menekankan bahwa pertumbuhan kredit memiliki peran krusial sebagai penciptaan uang (money creation), yang berdampak langsung pada likuiditas.
Victor juga memperingatkan mengenai dampak fragmentasi terhadap kinerja perbankan, khususnya terkait risiko kredit. “Di mana ada challenge, itu akan menciptakan pemenang baru dan yang kalah baru (new loser and new winners),” tegasnya. Ia menambahkan bahwa dampak kredit macet (NPL) dari momen-momen ekstrem baru terlihat berbulan-bulan hingga setahun kemudian. Risiko ini diperberat oleh skenario perlambatan Tiongkok yang dapat memicu dumping produk, membahayakan industri manufaktur domestik dan kinerja perbankan.
Tantangan dan Strategi dalam Mendorong Perekonomian Indonesia
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Widjaja Kamdani, memaparkan bahwa tantangan terbesar perekonomian nasional saat ini adalah keterbatasan lapangan pekerjaan formal atau decent work. Krisis ini tercermin dari lonjakan persaingan yang ekstrem.
“Faktanya kebutuhan lapangan kerja tidak sebanding dengan penyediaannya. Data BPS menunjukkan bahwa sebelum pandemi, satu lowongan bisa diperebutkan oleh dua pencari. Sekarang, satu (lowongan pekerjaan) itu bisa dikirakan 8 sampai 16 orang (diperebutkannya),” terang Shinta.
Sebagai respons, APINDO memprioritaskan 3 hal: pengembangan UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian dengan kontribusi 97% terhadap PDB, peningkatan investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru, serta advokasi kebijakan melalui penyusunan “Roadmap Perekonomian” yang berisi rekomendasi bagi pemerintah.
Direktur Strategi APBN Kementerian Keuangan, Wahyu Utomo, memaparkan strategi fiskal yang harus adaptif di tengah program-program pemerintah baru. Untuk memastikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berfungsi optimal, ia menyebutkan tiga pilar utama: Spend Better (belanja pemerintah yang efisien)Collect More (intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan negara), dan Pembiayaan Inovatif.
Harapan untuk Seminar ke Depan
Melalui paparan dan diskusi sepanjang seminar, dapat diambil suatu kesimpulan utama, yakni arus fragmentasi global hanya dapat dihadapi bila Indonesia memperkuat respons kebijakannya secara tepat waktu dan terkoordinasi. Seperti disampaikan Mochammad Firman Hidayat (Anggota Dewan Ekonomi Nasional) dalam sesi keynote, “Untuk mencapai visi Indonesia Maju 2045 dengan target pertumbuhan enam hingga delapan persen, lima sampai sepuluh tahun ke depan akan menjadi periode yang paling menentukan.”
Panitia IEO National Seminar berharap diskusi yang ditawarkan di tahun-tahun mendatang dapat semakin berdampak dalam menjawab tantangan perekonomian Indonesia. “Saya berharap seminar tahun depan bisa menyempurnakan evaluasi tahun ini sekaligus menetapkan benchmark baru. Yang terpenting, IEO harus tetap setia pada tujuan utamanya dalam menawarkan outlook perekonomian, mengedukasi masyarakat, dan menjembatani diskusi kebijakan yang produktif dan multiperspektif,” harap Qinta.
Editor: Linda Novilia, Nirwan Surya, Rafa Zulhaq


Discussion about this post